• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Sejarah

SEABAD NU

Kementrian Agama, Sukamanah dan NU

Kementrian Agama, Sukamanah dan NU
Pertemuan Hadratus Syaikh dan Gunseikan Letjend Moichiro Yamamoto di Jakarta (Foto: Koleksi Perpusnas RI)
Pertemuan Hadratus Syaikh dan Gunseikan Letjend Moichiro Yamamoto di Jakarta (Foto: Koleksi Perpusnas RI)

Oleh Iip Yahya
Malam hari, 25 Oktober 1944, di bawah pohon besar di kawasan Ancol Jakarta, 18 orang kiai dan santri Sukamanah menjalani eksekusi. Eksekusi itu berdasarkan vonis hukuman mati di pengadilan militer. Mereka telah menjalani hukuman penjara yang penuh siksaan selama delapan bulan. Dari penjara Tasikmalaya, mereka dibawa ke penjara Sukamiskin, penjara Kenpeitai, lalu ke penjara Cipinang di Jakarta. Dan malam itu, tembakan senjata tentara Jepang mengakhiri hidup mereka. 

Seusai eksekusi, mereka dikuburkan begitu saja di bawah pohon yang tak jauh dari pantai. Mereka adalah Djenal Mustapha (KH Zainal Musthafa), Asikin, Achmad, Endeng (Endin), Hadori, Ie-Ie (Ii Sahroni), Oemaroe (Umar), Hadijoto (Kiai Achmad Hidajat), Hambari (Kiai Hambali, adik Zainal Musthafa), Amah (Ama), Mohammad Hoesein Soelei (Mohammad Hoesein Soeleiman/Husen), Sapoedeng (Kiai Saifuddin), Saroekoes (Sarkosih), Hapit (Kiai Hafid), Hakimoemoeti Ajiboe Aboedora (Kiai Aip Abdul Hakim), Aboedoro (Abdul Rajak), Karimoe Adong Adijas Aboedoro (Adung Abdul Karim), dan Domon (Kiai Domon).

18 orang itu ditangkap pada hari Jumat, 18 Februari 1944 di halaman Pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya. Sumber lain menyebutkan, 25 Februari 1944. Mereka melakukan perlawanan rakyat atas kekejaman bala tentara pendudukan Jepang. Perlawanan mereka dikenal sebagai Perlawanan Kiai dan Santri, karena mereka terdiri dari para kiai dan santri berbagai pesantren di Singaparna dan sekitarnya. Disebut juga sebagai Perlawanan Sukamanah. Dan Kenpeitai menyebutnya sebagai perlawanan sipil terbesar di Jawa.Monumen Ereveld Ancol Jakarta

Sejarawan Harri J Benda mencatat peristiwa ini dalam disertasinya The Crescent and te Rising Sun, Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945. Menurutnya, perlawanan Sukamanah itu berdampak besar pada kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang.

Pada 9-10 Maret 1944, pemerintah Bala Tentara Jepang menugaskan pejabat Syumubu dan pengurus Masyumi untuk mengadakan pertemuan dengan para ulama di seputar Tasikmalaya. Harian Asia Raja (15/3/’44) melaporkan demikian:

“Beberapa hari yang lalu telah berangkat dari Jakarta, tuan-tuan dari Syuumubu dan Masyumi untuk mengadakan pertemuan dengan para alim ulama di Tasikmalaya dan sekitarnya. Pada tanggal 9 Maret diadakan pertemuan di Masjid Jami, Tasikmalaya, tanggal 10 di Masjid Jami’ Ciamis, Singaparna, dan Mangunreja. Akhirnya pada hari Jumat di masjid Rajapolah. Pertemuan itu rata-rata dikunjungi lebih kurang 300 alim ulama.”

Seusai pertemuan dengan sekitar 1.500 ulama se-Priangan Timur itu, pengurus Masyumi secara aktif menyebarkan edaran untuk menjawab rasa penasaran masyarakat dan meredam kemarahan kelompok pesantren yang terafiliasi kepada Ajengan Sukmanah. Masyumi dan pejabat Jepang juga mengadakan pertemuan serupa di seluruh Jawa. Hal itu sebagai upaya meredam para ulama dan umat Islam agar perlawanan Sukamanah tidak menyebar dan para ulama serta umat dapat memaklumi tindakan keras pemerintah. 

Kantor Berita Domei juga secara khusus mewawancarai KH. Hasyim Asy’ari di Jombang yang hasilnya dimuat dalam Asia Raja. Tanggapan Jepang dengan mengadakan sejumlah pertemuan masif ini, menunjukkan keterkejutan mereka atas terjadinya perlawanan Sukamanah. Apalagi perlawanan semacam ini, dalam skala yang lebih kecil, kemudian terjadi pula di Indramayu.

Jepang sangat berkepentingan agar perlawanan serupa tidak terjadi lagi. Satu-satunya cara adalah mengakomodasi kepentingan umat Islam. Kantor jawatan agama yang tadinya hanya berada di tingkat pusat (Syuumubu), sejak 5 Maret diperluas dengan membuka kantor di tingkat karesidenan (Syumuka). Kantor ini resmi berlaku pada 1 April 1944, dipimpin oleh kepala yang disebut Shumukacho dan dibantu oleh dua orang dari ulama setempat. Melalui kantor Syuumuka inilah para kiai, khususnya yang berasal dari NU, tampil sebagai pejabat urusan agama. Kiranya dari sinilah bermula asal-usul identifikasi NU dengan Kementrian Agama. 

Peristiwa Sukamanah, secara tidak langsung, telah menempatkan elit-elit NU pada posisi menentukan di pemerintahan, khususnya dalam urusan keagamaan. Pada 1 Agustus 1944, KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Syuumubucho (Kepala Jawatan Agama) menggantikan Dr. Hoesein Djajadiningrat yang mengundurkan diri. Dalam pelaksanaannya sehari-hari, Kiai Hasyim diwakili oleh putranya KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdul Kahar Muzakkir. Beliau sendiri tetap tinggal di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren, mencatat peristiwa ini dengan baik dalam sebuah dialog.

SZ (Saifuddin Zuhri): Bagaimana kabar Hadratus Syaikh setelah keluar dari tahanan Nippon?
WH (KH Wachid Hasyim): Alhamdulillah, kesehatannya justru membaik. Selama dalam penjara Hadratus Syaikh bisa mengkhatamkan Al-Quran dan kitab hadits Al-Bukhori berkali-kali. Nippon kini melakukan politik kompensasi terhadap Hadratus Syaikh ...
SZ: Bagaimana bentuk kompensasinya?
WA: Hadratus Syaikh diangkat menjadi Syumubucho, Kepala Jawatan Agama.

Dalam konteks inilah bisa dipahami ungkapan bahwa kementrian agama adalah ‘hadiah untuk NU’. Sebelumnya pada 18 Maret 1944, Hadratus Syaikh bersua Gunseikan, Letjend Moichiro Yamamoto untuk menerima pengangkatannya sebagai Komon (Penasehat) Djawa Hooko Kai. Pertemuan langsung dengan Komandan Angkatan Darat Pemerintahan Bala Tentara Jepang di Jawa ini, menunjukkan pengakuan pada posisi beliau dan sebagai permintaan maaf atas penahanannya di penjara Surabaya dan Mojokerto sebelumnya. Djawa Hooko Kai ini oleh Kiai Wahab Chasbullah diplesetkan menjadi ‘Djawa Haqqu Kiai”, Jawa dalah haknya para kiai.

Keterlibatan para kiai NU dalam jawatan agama, merupakan fakta sejarah. Setelah berganti menjadi departemen agama pasca kemerdekaan RI, kalangan pesantren ikut berbenah. Pesantren Cipasung misalnya, sejak 1949 sudah mulai membuka Sekolah Pendidikan Islam yang kemudian berganti menjadi SMP Islam Cipasung. Pembukaan sekolah formal ini terus berlangsung hingga pendirian IAIC pada 1965, tiga tahun lebih awal dari pendirian IAIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Pembukaan sekolah formal ini diakui langsung oleh Ajengan Ruhiat sebagai upaya mengisi jabatan di Departemen Agama (Depag). Sebab menurutnya, berbahaya jika pegawai dan pejabat Depag yang mengelola urusan agama umat, tidak paham agama.

Masa pendudukan Jepang berhasil dimanfaatkan oleh elit NU untuk bergerak ke tengah, ikut terlibat langsung ‘mengurus’ negara. Sementara pada masa penjajahan Hindia Belanda, NU bersikap non-kooperatif dan tidak pernah menerima subsidi dari pemerintah.

Kembali ke malam eksekusi di Ancol. Diam-diam, seorang penjaga malam di Klenteng Ancol menyaksikan peristiwa eksekusi itu. Mpek Gagu namanya. Dua tahun kemudian, pendekar yang piawai memainkan toya itu melaporkan adanya lokasi eksekusi itu kepada otoritas Belanda yang kembali ingin menjajah Indonesia dengan membonceng NICA. Lokasi eksekusi itu kemudian ‘disulap’ menjadi Taman Makam (Ereveld) Ancol yang tetap dipertahankan hingga sekarang. Pohon besar yang jadi lokasi eksekusi ditebang dan di atasnya dibangun monumen Ereveld. Pada 25 Agustus 1973, atas permintaan keluarga, makam 18 syuhada itu dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Sukamanah. 

Hari ini, 25 Oktober 2021, kita mengenang kembali pengorbanan KH Zainal Musthafa Asy-Syahid bersama para kiai dan santrinya 77 tahun yang lalu. Perlawanan mereka telah ikut menentukan sejarah negeri ini, termasuk Kementrian Agama.

Untuk para syuhada Sukamanah, Alfatihah.

Penulis adalah peneliti dan penulis buku Ajengan Sukamanah Biografi KH Zainal Musthafa Asy-Syahid.


Editor:

Sejarah Terbaru