• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Sejarah

Catatan Sejarah Muktamar NU dari Masa ke Masa

Catatan Sejarah Muktamar NU dari Masa ke Masa
(Sumber Ilustrasi: NUO).
(Sumber Ilustrasi: NUO).

Muktamar NU ke-34 di Provinsi Lampung merupakan muktamar menjelang satu abad usia organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia. Dari gelaran muktamar ke muktamar, NU telah melewati peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.

 

Pergantian kepengurusan merupakan suatu hal yang wajar dalam suatu organisasi. Namun menjadi sesuatu yang tidak wajar jika dalam suatu organisasi tersebut tidak pernah terjadi pergantian strukturnya. Waktu berjalan demikian cepat, tenaga, pikiran, kemampuan, maupun usia, yang tentunya akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Hal tersebut merupakan wujud dari dinamika organisasi yang terjadi secara berkelanjutan dalam rangka optimalisasi kinerja.

 

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) merupakan forum permusyawaratan tertinggi NU, ajang evaluasi kepengurusan dan ajang pergantian kepengurusan, sebagaimana organisasi pada umumnya. Namun ada sedikit perbedaan dalam Muktamar NU, tidak hanya di isi dengan acara persidangan, laporan pertanggung jawaban, serta ajang evalusi, tetapi dalam Muktamar ini dilengkapi dengan acara Bathsul Masail membahas masalah keagamaan, forum bahtsul masa’il dibagi menjadi sejumlah komisi seperti Komisi Waqi’iyah, Qanuniyah, dan Maudluiyyah sesuai temanya, serta selalu dimeriahkan oleh kehadiran ribuan massa.

 

Kehadiran ribuan massa tersebut bukan tanpa sebab, karena pelaksanaan muktamar selalu di laksanakan di pondok pesantren atau masjid besar di suatu daerah. Biasanya, kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat dengan tabligh akbar, dai-dai populer yang dihormati masyarakat tampil. Makanya tidak heran jikalau pelaksanaan Muktamar selalu di hadiri oleh ribuan warga.

 

Muktamar NU diikuti oleh kepengurusan pusat yakni Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), kepengurusan tingkat provinsi yakni Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), dan kepengurusan tingkat kabupaten yakni Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU).
Berikut catatan sejarah Muktamar NU dari Masa ke Massa

 

Pra Kemerdekaan
Sejak di dirikan pada tanggal 31 Januari 1926, NU telah menggelar Muktamar sebanyak 15 kali, pada saat itu Muktamar di gelar setiap setahun sekali, Muktamar pertama sampai muktamar ketiga (1926,1927 dan 1928) di gelar di Surabaya, Jawa Timur. Pada periode itu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di pimpin oleh Rais Akbar yaitu Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan Ketua Tanfidziyah KH Hasan Gipo.

 

Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama: Sejarah, Tokoh, dan Khazanah Pesantren yang ditulis oleh M. Imam Aziz disebutkan bahwa Muktamar NU pertama diselenggarakan di Surabaya pada 21 Oktober 1926, tak lama setelah NU berdiri dan tetap terselenggara di kota tersebut sampai muktamar ketiga.
 

 

Pada tahun-tahun berikutnya, muktamar secara berurutan semakin ke barat, Muktamar ke empat di Semarang (1929), ke lima di Pekalongan (1930), ke eman di Cirebon (1931), ke tujuh di Bandung (1932), dan ke delapan di Jakarta (1933) yang kemudian pindah ke Banyuwangi (1934) muktamar ke sembilan, dan muktamar ke sepuluh di Surakarta (1935) Selanjutnya terselenggara secara acak.

 

Muktamar ke sebelas merupakan muktamar pertama yang dilaksanakan di luar Jawa yaitu di Banjarmasin (1936). Muktamar ke dua belas kembali ke pulau jawa, yaitu di Malang (1937), ke tiga belas di Banten (1938), ke empat belas di Magelang (1939), ke lima belas di Surabaya (1940).

 

Pada periode muktamar ke empat sampai ke sebelas PBNU dipimpin Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan Ketua Tanfidziyah KH Ahcmad Nor. Dan periode ke duabelas sampai ke limabelas PBNU di pimpin Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan Ketua Tanfidziyah KH Machfudz Sidiq.

 

Pasca Kemerdekaan
Menjelang kemerdekaan, pelaksanaan muktamar ke enam belas (1941) rencananya akan digelar kembali di luar Pulau Jawa yang ke dua kalinya, yaitu di Palembang. Namun pelaksanaan muktamar tersebut gagal, karena situasi pada saat itu sedang perang Asia Pasifik. Dari semenjak itu, selama enam tahun (1941-1946) masa kependudukan Jepang, muktamar NU vakum tidak terlaksana.

 

Pada tahun 1946 NU kembali menggelar muktamar yaitu muktamar ke enam belas di Purwekerto, ke tujuh belas di Madiun (1947), dan ke delapan belas di DKI Jakarta (1948).

 

Selang tiga tahun (1948-1951), pada tahun 1951 NU menggelar muktamar ke Sembilan belas di Palembang, ke dua puluh di Surabaya (1954), ke dua puluh satu di Medan (1956), ke dua puluh dua di Jakarta (1959), ke dua puluh tiga di Surakarta (1962), ke dua puluh empat di Bandung (1967) dan ke dua puluh lima di Surabaya (1971).

 

Selanjutnya muktamar ke dua puluh enam dilaksanakan di Semarang (1979), dari semenjak itu muktamar digelar setiap lima tahun sekali mengikuti jadwal pemilu. 

 

Sebenarnya semenjak 1967 muktamar mulai disesuaikan dengan suksesi kepemimpinan nasional. Pada tahun 1973 pemerintah Presiden Soeharto memberlakukan fusi partai politik menjadi dua, dan ditambah menjadi satu golongan karya. NU yang waktu itu sebagai partai politik melebar ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), situasi yang tidak menguntungkan bagi NU. Maka pada muktamar ke dua puluh tujuh di Situbondo (1984) NU memutuskan kembali kepada Khittah 1926, NU meninggalkan dunia politik praktis. 

 

Periode Khittah 1926
Muktamar NU ke dua puluh tujuh di Situbondo merupakan fase sejarah penting bagi perjalanan NU, setidaknya memutuskan tiga keputusan penting, kembali ke khittah menerima asset tunggal pancasila dan terpilihnya duet KH Achmad Siddiq sebagai Rais Aam dan KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur sebagai Ketua Tanfidziyah. NU semakin kuat dengan dukungan para ulama senior NU diantaranya, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Machrus Ali, KH Ali Makshum, dan KH Masykur. 

 

Selanjutnya muktamar ke dua puluh delapan di Yogyakarta (1989), ke dua puluh sembilan di Tasikmalaya (1994), ke tiga puluh di Kediri (1999). Ketika muktamar ke tiga puluh, Ketua PBNU KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur terpilih menjadi Presiden RI.

 

Muktamar ke tiga puluh satu dilaksanakan di Surakarta (2004) KH Hasyim Muzadi terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah, dan Rais Aam KH Sahal Machfud. Muktamar ke tiga puluh dua di Makassar (2010) KH Said Aqil Sirodj terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah dan Muktamar ke tiga puluh tiga di Jombang (2015) KH Said Aqil Sirodj terpilih kembali menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU.

 

Kini melalui Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Konbes NU), Muktamar ke 34 akan berlangsung di Provinsi Lampung.

 

Editor: Abdul Manap (Diolah dari berbagai sumber)


Sejarah Terbaru