• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Pesantren

Bulan Gus Dur

Asal-usul Tradisi Keilmuan di Pesantren (1)

Asal-usul Tradisi Keilmuan di Pesantren (1)
Ilustrasi Santri Mengaji bersama Guru di Pondok Pesantren. (Foto: SantriGusDur.com).
Ilustrasi Santri Mengaji bersama Guru di Pondok Pesantren. (Foto: SantriGusDur.com).

Oleh: KH Abdurahman Wahid
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri-cirinya sendiri, pesantren memiliki tradisi keilmuannya yang berbeda dari tradisi keilmuan lembaga-lembaga lain. Walaupun hal ini tidak begitu disadari selama ini, bagaimanapun juga memang terdapat perbedaan yang mendasar antara manifestasi lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya di seluruh dunia Islam. Pesantren pada dasarnya adalah sebuah lembaga pendidikan Islam, walaupun ia mempunyai fungsi tambahan yang tidak kalah pentingnya dengan fungsi pendidikan tersebut. Ia merupakan sarana informasi, sarana komunikasi timbal balik secara kultural dengan masyarakat, dan juga merupakan tempat pemupukan solidaritas masyarakat.

 

Karena watak utamanya sebagai lembaga pendidikan Islam, dengan sendirinya ia memiliki tradisi keilmuannya sendiri. Akan tetapi, tradisi ini mengalami perkembanagn dari masa ke masa dan menampilkan manifestasi yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Walau demikian, masih dapat ditelusuri beberapa hal inti yang tetap merupakan tradisi merupakan tradisi keilmuan pesantren sejak datangnya Islam ke Indonesia hingga saat ini. Kesemuanya itu merujuk ke sebuah asal-usul yang bersifat historis, yang merupakan pendorong utama bagi berkembangnya pesantren itu sendiri.

 

Pesantren dalam wujudnya yang sekarang memiliki sistem pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning. Selain itu, dia juga mampu menyerap  sejumlah inovasi secara berangsur-angsur selama beberapa abad. Atas dasar kemampuan yang kenyal seperti itu untuk tetap hidup maka pesantren memiliki keunggulannya sendiri yang tidak ada di tempat lain. Bagian ini akan memeriksa asal-usul tradisi keilmuan di pesantren dan sekaligus melihat kekenyalan yang merupakan inti dari fungsi tradisi tersebut dalam kehidupan pesantren.

 

Awal Tradisi dan Pengaruh
Asal-usul tradisi keilmuan di pesantren dapat dilihat pada perkembangan ilmu-ilmu keislaman sejak ia ada dalam masyarakat Islam yang pertama. Salah satu watak utama dari Islam adalah tekanan yang berat sekali pada aspek pendidikan, sebagaimana dapat dilihat pada sejumlah sumber  motivatif, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menggambarkanpentingnya arti ilmu bagi Islam dalam pandangan Allah dan dalam pandangan Nabi Muhammad.

 

Atas dasar itulah maka Islam telah mengembangkan sebah perangkat keilmuannya sendiri sejak masa dini dari sejarahnya yang panjang, terbukti dengan ada kelompk-kelompok yang telah melakukan spesialisasi. Bahkan sejak masa pertama madinah, kita kenal adanya orang yang ahli dalam penafsiran Al-Qur’an, seperti sahabat Abdullah bin ‘Abbas; orang yang menjadi ahli dalam hukum agama, seperti Abdullah ibn Mas’ud; ada juga yang seperti penghafal Al-Qur’an dan pencatatnya, seperti Zaid ibn Tsabit, dan demikian seterusnya.

 

Mereka adalah orang-orang yang memperlakukan Al-Qur’an dan hadist sebagai objek ilmu, bukannya sekedar sebagai wadah pengalaman, seperti yang dilakukan oleh Khilafah III, ‘Ustman ibn ‘Affan, yang dikenal sebagai orang saleh yang senantiasa berhasil membaca habis (khatam) Al-Qur’an dalam waktu yang pendek secara periodik. Kesalehan seperti itu pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ilmiah, tetapi merupakan pengalaman pada waktunya. Justru di tangan para ilmuan agama pemulalah, seperti pada saat adanya para penghafal Al-Qur’an dan juga para penjaga hukum agama –terbentuk suatu tradisi keilmuan pada tarafnya yang dini.

 

Kita lihat umpamanya saja belum satu abad setelah nabi wafat, telah muncul sebuah kelompok yang dikenal sebagai al-fuqoha as-sab’ah (para ahli fiqh yang tujuh) yang merupakan para ahli terkemuka dalam bidang hukum agama (fiqh) di Mekah dan Madinah,  termasuk diantaranya adalah Rabi’ah dan Anas. Mereka merupakan peletak dasar ilmu-ilmu agama yang akhirnya berujung pada tradisi madzhab fiqh.

 

Orang semacam Qadhi Abdurrahman ibn Abi Laila di daerah Mesopotamia (Irak) mengambil pendapat-pendapat para ahli fiqh yang tujuh itu sebagai sumber bandingan bagi pengambilan hukum agama. Demikian juga kita mengenal orang-orang semacam para ahli membaca Al-Qur’an yang tujuh (al-qurra’ as-sab’ah), seperti Imam ‘Ashim adalah kelompok yang memajukan bacaan Al-Qur’an sedemikian jauh mengikuti sendi-sendi fonetik dan sendi-sendi  linguistik yang luas, yang diambilkan dari perbandingan dengan ilmu-ilmu linguistik dari peradaban bangsa-bangsa lain di Timur Tengah waktu itu.

 

Pada dasarnya Islam menampung dan menyerap tradisi Helenisme  yang bermula pada penjarahan daerah-daerah Timur Tengah oleh Iskandar Agung dari Makedonia beberapa abad sebelum Masehi. Hellenisme ini telah berkembang dengan menyebarkan filsafat Yunani ke seantero kawasan Timur Tengah. Hellenisme itu pula yang akhirnya membawakan mistik Dyonisis yang ada di Yunani kuno bercampur dengan Semenanjung Asia Kecil (Asia Minor) yang akhirnya membentuk apa yang dikenal di dalam agama Kristen sebagai sekte-sekte bidat, seperti sekte Nestoria.

 

Islam mengambil dari itu semua, bahkan pada akhir abad ke-13 telah mampu menyerap  juga tradisi mistik dari Kabbalah Yahudi. Dilihat dari itu semua maka besar sekali adanya proses penyerapan yang dilakukan peradaban Islam dalam masa-masa mula ketika terjadi benturan budaya antara peradaban Islam dengan peradaban lain. Perbenturan itu terjadi pada lingkup yang sangat luas, namun yang paling terasa hanya beberapa bidang saja. Pertama, di bidang-bidang ilmu agama yang dibatasi ketauhidan (teologia) yang sempit, lebih jelas lagi pada skolatisisme. Perbenturan itu terjadi ketika para ahli baca Al-Qur’an menekankan pentingnya arti pengambilan harfi dari sumber-sumber pertama Al-Qur’an dan hadist.

 

Dengan demikian mereka memperlakukan sumber itu sebagai sesuatu yang mutlak, tidak bisa diganggu lagi keberadaannya. Paling jauh manusia hanya boleh melakukan penafsiran kembali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist, tidak lebih dari itu. Keabsahan kedua sumber itu tidak dapat diganggu gugat. Ini adalah jasa dari para ahli hadist dan para ahli Al-Qur’an , para ulama’ yang saleh dan pejabat pemerintah yang masih murni pandangan-pandangannya atas agama. Pada akhirnya nanti akan terjadi pergulatan yang sengit antara paham yang memandang Al-Qur’an dan hadist sebagai sumber otentik yang tidak dapat diganggu gugat melawan mereka yang berani melakukan penolakan terhadap sebagian hadist, walaupun penolakan itu tidak pada letter atau bentuk harfiahnya, tetapi pada kandungan artinya.

 

Jadi pergulatannya adalah ketika sampai pada masalah apakah ayat-ayat Al-Qur’an atau hadist-hadist nabi harus diartikan secara harfi atau boleh diartikan secara alegoris (kiasan). Kalau boleh dilakukan penafsiran secara alegoris, dengan sendirinya penafsiran akan jauh lebih bebas dan lebih merdeka lagi. Sebaliknya, kalau pengertiannya hanya boleh secara harfi maka penafsiran terhadap arti tersebut juga sedikit banyak akan mengalami keterbatasan. Pergulatan ini berjalan selama dua abad dan akhirnya menghasilkan kelompok Mu’tazilah melawan kelompok Sunni, atau yang lebih dikenal dengan Ahlu as-sunnah Wa al-jama’ah. Akan tetapi, yang dilupakan orang adalah suatu fase lain dari pergumulan tersebut.

 

Ketika ilmu-ilmu Islam berkembang di tangan para ahli agama yang mengkhususkan diri pada Al-Qur’an dan hadist itu maka terasa adanya suatu kebutuhan untuk mengembangkan tradisi keilmuan yang tidak hanya bertumpu pada Al-Qur’an dan hadist, yaitu apa yang dikatakan kajian bahasa  (dirosah lughawiyah). Kajian dan penelitian di bidang bahasa dilakukan oleh para ulama muslim yang agung, bahkan para ahli hukum agama seperti Imam Syafi’i justru dikenal sebagai ahli bahsa yang mampu menegakkan timbangan bahasa yang benar untuk bahasa Arab. Pendalaman pengetahuan tentang bahasa dan kajian linguistik seperti itu atas bahasa Arab, akhirnya menampilkan kebutuhan akan penguasaan kategori ilmu oleh filusuf Yunani dan masa-masa setelah itu hingga ke masa abad pertengahan, di mana para sarjana muslim hidup.

 

Atas dasar pemekaran dan pendalaman seperti itu maka banyak sekali para ulama Islam yang saleh pada pada masa abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, bahkan seterusnya sampai beberapa abad kemudian, merupakan humanis, dalam arti mampu mengusai ilmu-ilmu utama yang dikenal oleh peradaban Hellenis yang berada di Timur Tengah pada waktu itu. Mereka mengambil dari luar dan mendudukkan apa yang mereka ambil dan serap itu pada tolak ukur pengertian harfiah atas ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist nabi. Kombinasi dari humanisme seperti itu dan kecenderungan normatif untuk tetap memperlakukan kitab Al-Qur’an dan hadist sebagai sumber formal, dengan sendirinya lalu memunculkan adanya suatu sikap yang unik.

 

Di satu pihak mereka merupakan sarjana (scholars) yang mempunyai reputasi ilmu yang hebat, namun dari segi lain mereka tetap merupakan manusia-manusia yang taat beribadah kepada Allah dan tidak luntur keimanan mereka di hadapan penyerapan yang begitu massif dari peradaban-peradaban lain. Inilah sebenarnya yang merupakan asal-usul dari tradisi keilmuan di pesantren. Nama-nama besar seperti Al-Khalil ibn Ahmad Al-Farahidi sebagai penulis kamus Arab yang pertama, yaitu Qamus Al-Ain yang terdiri dari dua jilid itu, merupakan cikal bakal dari perkembangan ilmu tata bahasa Arab yang begitu massif , yang akhirnya melahirkan manusia seperti Imam Sibawaih. Selain itu, ahli-ahli bahasa dan para sastrawan seperti Abdul Abbas al-Mubarrid, telah mampu menghasilkan karya-karya raksasa, seperti al-Kamil (empat jilid), yang merupakan buku pengolahan pertama dalam bahasa Arab tentang kritik sastra, yang sebagian dari timbangan-timbangan yang digunakannya masih juga berlaku hingga hari ini dalam sastra arab modern.

 

Demikian juga terdapat para ensiklopedis yang tidak tanggung-tanggung kelasnya, seperti Ibn Qutaibah ad-Dinawari yang menulis karya agung Kitab Al-Ma’arif (empat jilid), yang tidak lain merupakan ensiklopedi pertama dalam bahasa Arab. Demikian juga ada Ibn Khallikan yang membuat kondepenium, apa dan siapa (who’s who) yang berjudul Wafayat al-A’yan dalam abad ke-6 Hijriah, termasuk juga Yaqut al-Humawi yang membuat Mu’jam al-Buldan, ensiklopedi negara-negara.

 

Jadi, ini semua menunjukkan mekarnya humanisme dalam artian yang luas, yang sanggup mengemban kehausan manusia akan ilmu pengetahuan, kemempuan untuk menyerap ilmu secara massif, mampu menggunakan ilmu itu untuk meluaskan wawasan dan pandangan hidup mereka, namun pada saat yang sama berpegang pada norma-norma semula yang mereka yakini. Keseimbangan yang seperti inilah yang merupakan humanisme yang sebenarnya, yang pernah menjadi sendi peradaban Islam yang agung.

 

Akan tetapi semua itu berangsur-angsur menjadi kendur, ketika kendala normatif menjadi terlalu besar fungsinya, sedangkan kendala penyerapan semakin mengecil fungsinya. Penyerapan akhirnya dikalahkan oleh pengawasan dari dalam. Sedangkan yang ada hanyalah tinggal ilmu-ilmu yang sangat normatif, yang tidak memberikan tempat dan perhatian pada kebutuhan penciptaan rasionalitas ilmiah yang tersendiri dan independen dari pengendalian oleh skolastisisme. Inilah yang merupakan asal-usul tradisi keilmuan Islam di pesantren.

Tulisan ini diolah dari buku Menggerakkan Tradisi (LKiS, hal 213-231)


Pesantren Terbaru