RUU Minerba dan Potensi Erosi Otonomi Kampus
Jumat, 31 Januari 2025 | 08:53 WIB
Asep Muhamad Iqbal
Kolomnis
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) melalui Baleg (Badan Legislatif) diberitakan tengah mengebut revisi ketiga Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara atau Revisi III UU Minerba.
Salah satu poin revisi terbaru yang menjadi kontroversi adalah Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk lembaga pendidikan tinggi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau UMKM (CNN Indonesia, 2o Januari 2025). RUU ini katanya diusulkan oleh tim dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) yang terdiri atas salah satunya anggota dewan pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 lalu (Kompas.com, 22 Januari 2025).
Pembahasan RUU ini terkesan tergesa-gesa sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, terutama dampak jangka panjang terhadap dunia akademik. RUU ini sebaiknya tidak tergesa-gesa disahkan karena berpotensi lebih mengakomodasi kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek daripada mempertimbangkan kepentingan jangka panjang seperti aspek kelestarian lingkungan dan independensi kampus. Karena itu, regulasi ini harus dikaji lebih dalam dengan melibatkan publik, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya guna memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kelompok tertentu.
Potensi Erosi Independensi
Pemberian Izin Usaha Pertambangan kepada universitas dapat menciptakan konflik kepentingan yang serius. Dalam sistem akademik yang sehat, universitas berfungsi sebagai lembaga independen yang dapat melakukan penelitian objektif untuk kepentingan publik, termasuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Jika universitas mulai mengelola tambang dengan izin dari pemerintah, ada potensi tekanan politik dan ekonomi yang dapat mempengaruhi netralitas akademik dosen dan mahasiswa.
Altbach (2001) menegaskan bahwa kebebasan akademik (academic freedom) adalah nilai utama pendidikan tinggi. Artinya, universitas harus tetap otonom dalam manajemennya dan bebas dari intervensi politik dan ekonomi demi menjaga independensi dalam produksi dan diseminasi ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, jika universitas mulai terlibat dalam bisnis pertambangan, hal ini dapat menggeser orientasi mereka dari pusat keilmuan menjadi aktor ekonomi yang lebih tunduk pada kebijakan pemerintah dan kepentingan industri.
Potensi Erosi Otonomi
Otonomi universitas adalah pilar penting dalam sistem pendidikan tinggi yang berkualitas. UNESCO (1998) dalam World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action menegaskan bahwa universitas harus memiliki kebebasan akademik dan otonomi kelembagaan untuk menjalankan fungsinya sebagai penghasil pengetahuan yang objektif dan inovatif.
Namun, jika perguruan tinggi terlibat dalam bisnis pertambangan dan bergantung pada izin pemerintah, maka ada risiko besar bahwa kebebasan akademik akan tergerus. Ketergantungan finansial universitas pada sektor pertambangan juga dapat menyebabkan subordinasi kampus terhadap kepentingan ekonomi dan politik pemerintah, yang pada akhirnya dapat melemahkan peran universitas sebagai pengawas kebijakan publik..
Potensi Pelemahan Universitas sebagai Rujukan
Dalam sistem demokrasi yang sehat, universitas berperan sebagai pusat keilmuan yang menghasilkan riset berkualitas sebagai rujukan untuk mendukung pembuatan kebijakan publik berbasis data.
Namun, jika universitas mulai beroperasi sebagai entitas bisnis, terutama dalam sektor yang sarat kepentingan politik dan ekonomi seperti pertambangan, independensi penelitian mereka bisa terancam. Universitas yang memiliki konflik kepentingan cenderung kehilangan legitimasi sebagai sumber pengetahuan yang objektif. Jika kebijakan publik disusun tanpa merujuk pada kajian akademik yang independen, maka keputusan yang dihasilkan bisa bias dan lebih menguntungkan kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat luas.
Potensi Erosi Sistem Check and Balances dan Kebebasan Akademik
Ketika universitas menjadi bagian dari ekosistem bisnis yang dikendalikan oleh pemerintah, peran mereka sebagai salah satu pilar check and balances dalam demokrasi dapat melemah. Akademisi dan mahasiswa yang ingin mengkritisi kebijakan pemerintah terkait pertambangan mungkin menghadapi tekanan atau pembatasan dalam menyampaikan pandangan mereka.
Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan akademik yang dijamin dalam berbagai standar internasional, termasuk Magna Charta Universitatum (1988), yang menyatakan bahwa universitas harus tetap independen dari otoritas politik dan ekonomi untuk menjamin kebebasan berpikir dan berekspresi dalam ranah akademik. Jika kebebasan ini tergerus, maka perguruan tinggi akan kehilangan fungsinya sebagai ruang intelektual yang terbuka dan kritis terhadap kebijakan publik.
Mencegah Dampak Lebih Buruk
Jika memang hendak dilanjutkan, untuk menghindari dampak negatif dari kebijakan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba), maka perlu dilakukan beberapa langkah berikut.
Pertama, perlu adanya kajian yang lebih mendalam. Sebelum mengesahkan revisi UU Minerba, DPR perlu melakukan kajian komprehensif dan public hearing dengan melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan ahli lingkungan agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak.
Kedua, menjamin independensi universitas. Regulasi yang jelas harus dibuat untuk memastikan bahwa keterlibatan universitas dalam kegiatan ekonomi seperti pertambangan tidak mengganggu otonomi pendidikan tinggi dan kebebasan akademik.
Ketiga, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Jika universitas diberikan izin usaha pertambangan, maka mekanisme pengawasan yang ketat harus diterapkan untuk menghindari konflik kepentingan dan korupsi.
Keempat, menjaga peran universitas dalam advokasi kebijakan publik. Universitas harus tetap menjadi sumber rujukan dalam pembuatan kebijakan publik. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang memperkuat peran akademisi dalam memberikan masukan terhadap kebijakan tanpa adanya tekanan politik atau ekonomi.
Terakhir, alternatif pendanaan bagi pendidikan tinggi. Daripada membuka peluang universitas untuk masuk ke bisnis pertambangan, pemerintah sebaiknya memperkuat skema alternatif pendanaan pendidikan tinggi yang berbasis riset dan inovasi agar universitas tidak perlu bergantung pada sektor ekstraktif.
Penutup
Pembahasan revisi UU Minerba yang dikebut tanpa pertimbangan yang matang berpotensi menimbulkan banyak masalah, terutama dalam aspek independensi akademik dan peran universitas dalam demokrasi. Pemberian Izin Usaha Pertambangan kepada pendidikan tinggi dapat menciptakan konflik kepentingan, mengancam otonomi universitas, serta melemahkan peran mereka dalam sistem check and balances. Oleh karena itu, revisi UU ini sebaiknya tidak disahkan secara terburu-buru tanpa kajian akademik yang mendalam dan keterlibatan publik yang luas.
Universitas seharusnya tetap menjadi lembaga independen yang berorientasi pada pengembangan ilmu dan kebijakan berbasis data, bukan aktor bisnis yang rentan terhadap tekanan politik dan ekonomi. Jika prinsip ini diabaikan, maka kita akan kehilangan institusi yang selama ini menjadi pilar utama dalam pengawasan kebijakan publik dan advokasi kepentingan masyarakat.
Asep Muhamad Iqbal, Ph.D., Direktur CASSR (Centre for Asian Social Science Research), FISIP, UIN Bandung
Terpopuler
1
Pelunasan Haji Khusus 2025 Memasuki Hari Keempat, Kuota Terisi Hampir 50%, Masih Dibuka hingga 7 Februari
2
LAZISNU Depok Resmi Jadi Percontohan dalam Program Koin Digital NU
3
3 Peristiwa Penting di Bulan Syaban, Bulan Pengampunan dan Rekapitulasi Amal
4
IPNU-IPPNU Kabupaten Tasikmalaya Gelar Diklat Aswaja, Perkuat Pemahaman Keaswajaan Pelajar NU
5
Menjaga Warisan Gus Dur: Alisa Wahid dan Tantangan Toleransi di Indonesia
6
Hasil Bahtsul Masail Kubro Putri se-Jabar di Pesantren Sunanulhuda 2025 terkait Hukum Sungkem dan Mushofahah kepada Guru, Download di Sini
Terkini
Lihat Semua