• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 6 Mei 2024

Opini

Membaca Posisi NU di Jawa Barat

Membaca Posisi NU di Jawa Barat
(NU Online Jabar/Foto: FB Imam Mudopar)
(NU Online Jabar/Foto: FB Imam Mudopar)

Oleh: Imam Mudofar

Tulisan ini mencoba menguraikan rasa kegelisahan dan rasa penasaran soal eksistensi NU di Jawa Barat. Diakui atau tidak, posisi NU di Jawa Barat belum sekuat di Jawa Tengah atau bahkan mungkin di Jawa Timur. Tidak kuat pada wilayah mana? Fikroh (pemikiran) dan Harokah (gerakan). Kenapa demikian dan apa faktor penyebabnya? Apakah karena memang NU tidak lahir di Jawa Barat melainkan di Jawa Timur?

Bisa jadi itu salah satu alasannya. Tapi tunggu dulu, tentu alasannya tidak sesederhana itu. 
Kita sedikit flashback ke belakang. Konstalasi politik Pilkada DKI Jakarta tahun 2016-2017 lalu di mana politik identitas di Indonesia seolah mencapai titik puncak, di mana saat itu orang beranggapan berangkat ke Jakarta adalah bagian dari jihad membela agama Allah SWT. 

Saat itu, Jawa Barat menjadi salah satu penyumbang massa terbanyak ke aksi baik dari 411 maupun 212. Ada banyak catatan menarik yang saya rangkum sebagai bagian dari penguatan data ini. 

Pertama, massa yang bergerak dari Jawa Barat saat itu tidak sedikit berasal dari pesantren yang prinsip-prinsip keilmuannya itu sejalan dengan NU, bahkan cenderung memiliki kedekatan dengan NU. Tapi tetap berangkat, bahkan sampai ada yang menginstruksikan santri-santrinya secara langsung untuk berangkat.

Kedua, massa yang bergerak dari Jawa Barat itu kebanyakan massa yang memiliki faham dan amaliah ahlussunah wal jamaah, tapi tetap berangkat ke Jakarta. Padahal NU secara organisasi (jam’iyah) saat itu menyampaikan dengan tegas bahkan mengintruksikan agar warga NU tidak terlibat dan ikut-ikutan dalam aksi tersebut. Intruksi yang disampaikan langsung oleh Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj kala itu seolah bukan kalimat sakti yang harus diikuti. 

Kenapa bisa demikian? Begini, membaca NU di Jawa Barat itu terbilang unik. Betul-betul harus komperhensif dengan menggunakan berbagai pendekatan, mulai dari pendekatan keilmuan, kultur bahkan sampai pendekatan sejarah dan politik. Jika pendekatannya pendekatan keilmuan atau pesantren yang mana sejauh ini menjadi domain NU, terdapat banyak persamaan. Kitab yang diajarkannya pun sama (contoh: safinah, tijan dan jurumiyah). Tradisi keilmuannya juga sama (ngalogat dan maknani). Kultur takdzim kepada kyai kepada ulama juga sama. Lantas apa perbedaannya?

Bisa jadi trauma politik terhadap NU adalah jawaban kenapa secara fikrah dan harokah NU di Jawa Barat terbilang lemah. Trauma politik yang bagaimana? Tentang mimpi sebuah bentuk negara yang ideal berdasarkan nilai-nilai Islam. 

Ada data sejarah menarik yang perlu diketahui. Pada Pemilu 1955 di mana saat itu NU masih menjadi partai yang ikut dalam konstalasi politik kala itu, NU berada di urutan ke empat, jauh di bawah Masyumi yang menempati urutan pertama. Masyumi menempati urutan pertama di Jawa Barat dengan raihan suara 1.833.897. Posisi ke dua disusul oleh PNI 1.513.540, dan diposisi ke tiga ada PKI dengan raihan suara 739.551. Terakhir baru NU dengan raihan suara 645.433.

Diakui atau tidak, data itu menjadi bukti sejarah tentang kekuatan Masyumi yang luar biasa di Jawa Barat. Di mana Masyumi yang kala itu menjadi representasi pan Islamisme dalam kancah perpolitikan nasiomal mampu menjadikan Jawa Barat sebagai daerah basis mereka. 

Lantas traumatik politik bagaimana yang dimaksud? Dinamika sengit antara NU dan Masyumi sudah terjadi sejak pasca kemerdekaan di tahun 1949. Di tahun itu Masyumi menggelar kongres. Dalam kongres itu pula NU merasa kian tersisihkan. Fungsi Majelis Syuro, yang berisi para kiai atau ulama, dipreteli dan menjadi hanya sebagai dewan konsultatif yang tak mempengaruhi kebijakan partai.

Kongres juga menolak usulan NU untuk mengubah struktur Masyumi. NU menuntut perubahan Masyumi menjadi suatu federasi dengan alasan hal itu akan menjamin pembagian kekuasaan yang lebih proporsional. Kemarahan yang meluas di kalangan NU terhadap keputusan-keputusan kongres mendorong kelompok-kelompok di dalamnya mulai berkampanye tentang penarikan diri dari Masyumi.

Puncaknya PBNU menggelar rapat di Jagalan, Jombang, pada 5-6 April 1952 untuk membicarakan masalah hubungan dengan Masyumi. Sebagian utusan setuju penarikan diri. Ketika ada yang mengusulkan menyerahkan keputusan pada Muktamar, Kyai Wahab menentang dan mendesak PBNU ambil keputusan.

Dia pula yang akan mengambil tanggungjawab keputusan itu di depan Muktamar.

“Kami [PBNU] kemudian akan mengambil tanggung jawab atas keputusan ini di depan Muktamar. Jika Muktamar menerimanya, berarti kita mendapatkan dukungan kuat. Kalau tidak, kami akan mundur. Selanjutnya, terserah Muktamar memilih kepengurusan baru,” ujar KH Muchith Muzadi, yang menjadi peninjau dalam konferensi itu, dikutip Fealy.

Rapat akhirnya memutuskan NU keluar dari Masyumi dan ditetapkan dalam Surat Keputusan PBNU tanggal 5/6 April 1952. Keputusan ini dibawa ke Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 28 April-1 Mei 1952.

Dalam Mukmatar, kebanyakan tokoh NU setuju bila NU menjadi partai. Namun ada sekelompok kecil utusan yang memberikan perlawanan sengit. KH Wahid Hasyim mencoba menjadi perantara untuk mencapai kompromi. Namun Kiai Wahab tak mau mengalah.

“Kalau tuan-tuan ragu kepada kebenaran sikap yang kita ambil, nah silakan saja tuan-tuan tetap duduk dalam Masyumi. Biarlah saya sendiri pimpin NU sebagai partai politik yang memisahkan diri dari Masyumi. Saya cuma minta ditemani satu orang pemuda, cukup satu orang, sebagai sekretaris saya. Tuan-tuan boleh lihat nanti,” ujar Kiai Wahab seperti dikutip Saifuddin Zuhri dalam otobiografinya Berangkat dari Pesantren.

Pemungutan suara pun dilakukan. Hasilnya, 61 setuju NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik, 9 kontra, dan 7 abstain. Muktamar juga mengamanatkan untuk tetap mendorong Masyumi agar menjadi badan federasi.

Trauma politik ini yang kemudian muncul pada dinamika politik yang terjadi saat Pilkada DKI 2016 kemarin. Pilkada DKI yang mencatatkan Anis Baswedan sebagai pemenang ini menumbuhkan kembali heroisme dan mimpi tentang gerakan politik untuk mewujudkan tatanan negara yang ideal berdasarkan Islam. Terlebih di Jawa Barat, NU sama sekali tidak memiliki representasi strategis di wilayah kekuasaan tertinggi di Jawa Barat (Gubernur). 

Sampai detik ini belum ada kader organik NU di Jawa Barat yang muncul sebagai penguasa sebagaimana yang terjadi di Jawa Timur. Kalau toh pun ada, sifatnya hanya klaim sepihak untuk mendulang suara Nahdliyin di Jawa Barat. Dan traumatik politik yang berkepanjangan itu harus dijawab dengan munculnya kader organik NU di kancah perpolitikan Jawa Barat ke depan. Sebab sepertinya itu bisa menjadi solusi yang dapat memperkuat fikrah dan harokah NU di Jawa Barat di masa yang akan datang.

Penulis adalah Kasatkorcab Banser Kabupaten Tasikmalaya
 


Editor:

Opini Terbaru