• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Ngalogat

Media NU dan Belantara Google

Media NU dan Belantara Google
Ilustrasi: FB Mahbib Khoiron)
Ilustrasi: FB Mahbib Khoiron)

Melihat belantara Google hari ini akan terasa sangat berbeda dari pemandangan 5 tahunan yang lalu. Jika sebelumnya topik keislaman dimonopoli oleh situs-situs keislaman, kini nyaris semua portal berita nasional beramai-ramai ikut memproduksinya. Mereka secara terbuka mengulas hal-hal yang mungkin dulu dianggap remeh, privat, bahkan sektarian: seputar doa jima', cara cebok yang benar, doa memikat pujaan hati, hukum nikah beda agama, tutorial mandi junub, jadwal shalat, dll.


Kuantitas produksinya pun fantastis. Untuk satu tema saja mereka bisa mengulang-ulangnya sampai berulang kali hanya dalam hitungan hari, bak mualaf yang frekuensi ibadahnya lebih intensif 5-7 kali lipat dibanding anak kiai 😃.


Ini adalah kepentingan SEO (search engine optimislzation). Sederhananya, semakin sering sebuah media memuat konten keislaman, semakin tinggi pula ia direkomendasikan Google kepada siapa saja yang mengetik kata kunci bertopik keislaman di mesin pencarian. Dan ternyata sukses, hampir selalu mereka berada di page one Google, menenggelamkan situs-situs keislaman yang memang spesialis dan lebih dulu concern di topik ini. Kesenjangan teknologi dan modal jadi faktor utama.


Pasar pembaca muslim memang sedang naik, terutama pasca-pilkada DKI tahun 2017. Saat itu polarisasi menguat. Dikotomi media Islam dan media umum semakin tajam. Dalam gambar di bawah ini tampak jelas betapa hampir tidak ada irisan pembaca antara media Islam dan media umum. Dengan bahasa lain, pengunjung media-media Islam tidak membaca media umum. Juga sebaliknya, pengunjung media-media umum tidak berkunjung ke media Islam.


Polarisasi pembaca tersebut tidak berlangsung lama. Naluri bisnis perusahaan-perusahaan besar media telah mengubah peta. Segera saja media-media umum ini beradaptasi dengan kondisi pasar yang baru. Sebagian semakin giat mengambil segmen pembaca Islam dan memasukannya di kanal-kanal lama, seperti yang dilakukan Pikiran Rakyat, Tirto, Kompas, Tempo, Bolanet, dst. Namun, sebagian lain bahkan membuat kanal-kanal khusus seperti Kalam (Sindonews), Oke Muslim (Okezone), Hikmah (Detik), dll. Batas-batas media umum-media Islam pun semakin kabur.


Jika ini adalah dakwah maka tugas media-media Islam hari ini bisa dibilang lebih ringan. Mereka sekarang punya makin banyak "teman". Masalahnya, apakah perusahaan-perusahaan media itu betul-betul sedang berdakwah, atau sekadar memanfaatkan peluang pasar muslim yang membesar belakangan ini?


Jawabannya bisa cukup kompleks. Tidak hitam putih. Namun, kita bisa melihat indikasinya secara kasat mata dengan membaca tulisan-tulisan yang dimuat. Kadang nemu kasus lucu-lucu di sebagian media-media ini. Misalnya, ketika redaktur tidak bisa membedakan antara qaul ulama dan hadits, khatib dan katib; memberi rambu-rambu larangan ziarah kubur tapi di tulisan lain menyediakan "Doa Ziarah Kubur", menulis "Syarat Hijab Syar'i" tapi juga memuat "Seksinya Shandy Aulia Gunakan Lingerie saat Karantina", dan lain-lain. 😃


Seperti yang kita lihat, selain kebanyakan fokus mereka adalah pada hal-hal teknis keseharian dan "remeh" seputar Islam, keberpihakan mereka pada Islam juga tidak jelas. Ya ini wajar karena perusahaan media umumnya memang tidak berangkat dari ideologi Islam, apalagi ideologi NU atau Muhammadiyah. Jangan pula heran bila kelak ditemukan konten pada satu momen sangat NU dan Muhammadiyah tapi di momen lain bernuansa Wahabi dan anti-ulama.


Kasus-kasus unik di atas sejauh ini tidak begitu dominan, dan masih bisa dibenahi di kemudian hari. Juga tidak terjadi di semua media umum. Kuncinya adalah di sumber kredibel. Orang akan fokus pada kualitas konten yang disajikan meski ia diproduksi dengan motivasi bisnis sekalipun. SDM yang bertugas mesti benar-benar menguasai topik, dan kalaupun ngambil dari situs keislaman lain, mbok yaho cantumkan sumber yang jelas dan backlink ke artikel asli-nya. Ini bagian dari ciri konten berkualitas dan menghargai mereka yang sudah mengeluarkan tenaga dan biaya tetek bengek untuk produksi itu semua. "Sudah cuma nyomot, masih males pula berkontribusi balik. Sebagian malah cuma memodifikasi tulisan, seolah-olah produksi sendiri. Bajigur!" curhat seorang pengelola media Islam sebatang kara yang trafik websitenya menurun tapi THR-nya diprediksi justru ga bakalan turun.


​​​​​​​Mahbib Khoiron, Redaktur NU Online


Ngalogat Terbaru