• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Nasional

Pajak dalam Perspektif Islam dan Ancaman Buya Said Tolak Bayar Pajak Jika DJP Tidak Transparan

Pajak dalam Perspektif Islam dan Ancaman Buya Said Tolak Bayar Pajak Jika DJP Tidak Transparan
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj (Foto: NU Online)
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj (Foto: NU Online)

Bandung, NU Online Jabar
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj mengancam Direktorat Jenderal Pajak (DJP) jika adanya penyelewengan dalam penggunaan dana pajak yang ditarik dari masyarakat.


Buya Said sapaan akrabnya mengancam tidak akan membayar pajak, dan mengajak warga NU untuk ikut tidak membayar pajak semisal terbukti adanya penyelewangan dalam penggunaan dana pajak.


Ancaman Buya Said tersebut merespon perihal transaksi kekayaan yang aneh milik pejabat eselon II DJP Rafael Alun Trisambodo terbukti dari hasil penyelewengan pajak. 


Said menyebut hal serupa pernah dia serukan saat menjabat sebagai Ketum PBNU pada 2012 dan telah disepakati dalam Munas NU. Kala itu, seruan dikeluarkan Said lantaran Gayus terbukti melakukan penyelewengan dana.


"Kalau memang pajak uang diselewengkan, ulama ini akan mengajak warga tak usah membayar pajak," kata Buya Said usai membesuk David di RS Mayapada, Setiabudi, Jakarta Selatan, dikutip dari suara.com, Selasa (28/2/2023).


Ancaman itu bukan kali pertama disampaikan Said Aqil. Ancaman serupa pernah ia lontarkan saat kasus mafia pajak Gayus Tambunan muncul.


"Tahun 2012 bulan September, Munas ulama di pesantren Cirebon, waktu itu baru ada kejadian Gayus Tambunan, keputusan para kiai bahwa kalau uang pajak selalu diselewengkan NU akan mengambil sikap tegas warga NU tidak usah bayar pajak," katanya


"Saya ungkit keputusan munas tadi. Kalau memang pajak uang diselewengkan, ulama ini akan mengajak warga tak usah membayar pajak," imbuhnya.


Buya Said mengungkapkan keputusan itu mengacu pada kitab kuning dan para imam serta ulama. Dia menjelaskan dana pajak harus dipakai untuk keperluan masyarakat umum.


"Saya bilang kalau memang itu, itu berdasarkan referensi kitab kuning, para imam, para ulama referensi, kalau pajak masih diselewengkan warga NU akan diajak oleh para kiai-kiai tidak usah bayar pajak," ujarnya.


Perlu diketahui kasus tersebut bermula dari penganiayaan sadis terhadap David Ozora Latumahina anak dari pengurus Pimpinan Pusat (PP) Ansor yang dianiaya oleh Mario Dandy Satriyo, anak eks pejabat pajak hingga terkapar koma. 


Buntut dari kasus tersebut Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Kanwil Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo melainkan ayah dari Mario Dandy Satriyo menjadi sorotan, sebab ditemukan banyak kejanggalan.


Pajak dalam Perpektif Islam Hasil Bahtsul Masail pada Munas dan Konbes NU tahun 2012

Salah satu wujud dari kewajiban taat kepada ulil amri, se- bagaimana diperintahkan dalam al-Quran, adalah kewajiban rakyat untuk membayar pajak (dlaribah) kepada pemerintah. Harta pajak yang dikumpulkan merupakan milik rakyat yang diamanatkan kepada pemerintah. Sebagai pemegang ama- nah, pemerintah wajib mengelola pajak secara profesional, transparan dan akuntabel serta menggunakannya untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat. Sayyidina Umar Ibn al-Khaththab Ra berkata:


إِنِّي أَنزَلْتُ نَفْسِي مِنْ مَالِ اللَّهِ بِمَنْزِلَةِ وَلِي الْيَتِيمِ إِنْ احْتَجْتُ أَخَذْتُ مِنْهُ فَإِذا أَيْسَرْتُ رَدَدْتُهُ وَإِنِ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَغْفَفْتُ.
 

"Sungguh aku menempatkan diriku mengenai harta Allah (harta ummat) dalam posisi seorang wali anak yatim. Jika aku membutuhkan, maka aku menggunakan sebagian hartanya. Oleh karena itu, apabila aku telah berkelapangan rezeki, maka aku mengembalikannya. Dan jika aku berkecukupan rezeki, maka aku menahan diri untuk tidak menggunakannya". (Ab- durrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha'ir, Bairut-Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1403 H, h. 121).


Persoalan Pajak
Bahwa bagi umat Islam, pungutan yang wajib dibayar berdasar- kan perintah langsung dari Al-Quran dan Hadits secara eksplisit adalah zakat. Sedangkan kewajiban membayar pajak hanya ber- dasarkan pada perintah yang tidak langsung (implicit) dalam kon- teks mematuhi penguasa (ulil 'amr). Penguasa di dalam membelanjakan uang negara yang diperoleh dari pajak, berdasarkan kaidah fikih "tasharruful imam 'alal ra'iyyah manuutun bil mash- lahah", mesti mengacu pada tujuan kemaslahatan warga negara (terutama kaum fakir miskin).


Dalam kenyataannya, pemerintah RI belum optimal dalam mengelola pajak secara profesional, transparan dan akuntabel, sehingga banyak terjadi penyimpangan dalam pemungutan, pengelolaan dan pemanfaatan dana pajak. Pajak yang se- harusnya untuk kemaslahatan rakyat, beralih menjadi sarana/ media memperkaya oknum-oknum tertentu.


Ketika ternyata bahwa uang negara yang berasal dari pajak tidak dikelola dengan baik atau tidak dibelanjakan sebagaimana mesti- nya bahkan terbukti banyak dikorupsi, maka muncul pertanyaan: Apakah kewajiban membayar pajak oleh warga negara itu masih punya landasan hukum keagamaan yang kuat?


Penegakan hukum/law enforcement/iqamatul-hukmi wal-qa- nun wajib dilakukan tanpa tebang pilih, baik terhadap aparat perpajakan maupun terhadap wajib pajak yang melakukan ke- jahatan perpajakan.


إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا. (رواه البخاري عن عائشة)


"Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah melakukan kerusakan, bahwa ketika orang kuat mencuri, mereka mem- biarkannya. Dan ketika orang lemah mencuri, mereka mem- berikan hukuman kepadanya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya". (H.R. Bukhari dari Aisyah ra.)


Ketika pajak tidak dikelola dengan amanah dan/atau tidak di- gunakan untuk kemaslahatan rakyat, maka pemerintah telah kehilangan legitimasi keagamaan dalam memungut pajak dari rakyatnya.


Rekomendasi:

  1. Pemerintah harus segera mengurangi di antara berbagai jenis wajib pajak, dan menurunkan tinginya nilai pembayaran yang memberatkan rakyat.
  2. Jika pemerintah tidak sungguh-sungguh memberantas penggelapan dan penyelewengan dana pajak, maka ke- wajiban pembayaran pajak oleh pemerintah wajib ditinjau ulang.
  3. Pemerintah harus lebih transparan dan bertanggungjawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta memastikan tidak ada kebocoran.
  4. Pemerintah harus mengutamakan kemaslahatan warga negara, terutama fakir miskin dalam penggunaan uang pajak.
  5. PBNU perlu mengkaji dan mempertimbangkan mengenai ke- mungkinan hilangnya kewajiban warga negara membayar pajak ketika pemerintah tidak dapat melaksanakan rekomendasi poin 1 dan 2.


Ditetapkan di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat Pada tanggal 30 Syawwal 1433 H./ 16 September 2012


Tim Perumus:
1. Prof. Dr. KH. Artani Hasbi (Rais Syuriyah PBNU/Ketua Komisi)
2. Dr. H.A. Malik Madaniy, MA (Katib 'Aam PBNU) 3. KH. Afifuddin Muhajir (Katib PBNU)
4. Sholahuddin al-Aiyubi, M.Si (Katib PBNU)
5. HM. Mujib Qulyubi, MH (Katib PBNU/Sekretaris Komisi) 6. Drs. KH. Eep Nuruddin, M.Pd.I. (A'wan PBNU)
7. H. Ahmad Asyhar Shofwan (PWNU Jawa Timur) 8. Tgk. H. Syarqawi Abdus Shamad (PWNU Aceh)
9. Muhammad Jadul Maula (PWNU DIY) 10. Dr. Abdul Jalil, M.E.I (PWNU Jawa Tengah)
11. H. Bachrudin Nasori, S.Si,. M.M. (Lembaga Wakaf PBNU)


Editor: Abdul Manap
 


Nasional Terbaru