• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 3 Mei 2024

Nasional

Muslimat NU: Tingginya Perceraian di Jabar Terkait Erat dengan Ketahanan Keluarga

Muslimat NU: Tingginya Perceraian di Jabar Terkait Erat dengan Ketahanan Keluarga
Sekretaris PW Muslimat NU Jabar Ustadzah Hj. Nani Muharomah (foto: dokumentasi pribadi)
Sekretaris PW Muslimat NU Jabar Ustadzah Hj. Nani Muharomah (foto: dokumentasi pribadi)

Bandung, NU Online Jabar
Pimpinan Wilayah Muslimat NU sangat prihatin atas tingginya angka percerian di Jawa Barat. Dari Januari sampai September tahun ini, terdapat sekitar 50 ribu gugat cerai dan 17 ribu cerai talak. Menurut data dari Kepala Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat yang menjadi pemicu terbesar saat ini adalah masalah komunikasi di samping faktor ekonomi.

Baca: Angka Perceraian di Jabar Tinggi, Suami Istri Disarankan Bangun Komunikasi Empatik

Sekretaris PW Muslimat NU Jabar Ustadzah Hj. Nani Muharomah kepada NU Online Jabar, Kamis (10/9) mengatakan, tingginya angka perceraian itu harus menjadi perhatian serius dari pemerintah maupun masyarakat. 

“Terkait tingginya angka perceraian di Jawa Barat, Muslimat NU memandang bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan kondisi ketahanan keluarga,” ungkap ustadzah dari Pondok Pesantren Sirnamiskin, Kota Bandung ini. 

Artinya, kata Ustadzah Nani, semakin tinggi angka perceraian, maka semakin lemah kondisi ketahanan keluarga di Jawa Barat. Karena itu penting sekali menyiapkan pasangan yang akan menikah, karena salah satu kunci ketahanan keluarga dari kesiapan setiap pasangan. 

Menurut dia, sebenarnya pemerintah sudah menyiapkan Undang-Undang Pernikahan. Dalam undang-undang itu disebutkan batas minimal usia pasangan 21 tahun, tapi dalam pelaksanaannya masih banyak yang tidak memenuhi itu.

Oleh karena itu, lanjutnya. mesti ada upaya penegakan aturan tersebut di samping harus ada upaya mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan.

“Nah, di sinilah pentingnya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat agar mensosialisasikan pentingnya pendewasaan usia perkawinan karena sangat erat hubungannya dengan masalah ketahanan keluarga. Yang sudah cukup usia saja belum tentu secara mental siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga, apalagi yang belum cukup umur. Dalam Pendewasaan usia perkawinan setiap pasangan dipersiapkan secara usia dan psikologis untuk menjalani kehidupan pernikahan,” jelasnya.

Kedua, ketika usia pasangan telah sesuai dengan batasan UU, maka harus ada upaya bimbingan sebelum nikah atau pendidikan pranikah secara maksimal. 

“Sebenarnya di KUA hal ini sudah digulirkan dan sudah berjalan, hanya jangkauannya belum merata dan belum maksimal. Masih ada pasangan yang tidak mengikuti pendidikan pranikah ternyata masih bisa melangasungkan pernikahan,” katanya.

Ustadzah Nani mengingatkan setiap pasangan sangat penting melakukan bimbingan pranikah agar mampu bekerja sama, berkomunikasi, berkompromi, menerima satu sama lain; baik kelebihan masing-masing, maupun kekurangannya saat dan menjalani komitmen dalam pernikahan. 

“Bagaimana setiap pasangan menyelesaikan persoalan dalam pernikahan termasuk masalah ekonomi. Karena itu, program bimbingan perkawinan yang digulirkan Kementerian Agama melalui KUA diharapkan bisa lebih luas jangkauannya dan lebih merata sampai ke pelosok daerah, dan secara otomatis anggaran untuk bimpingan perkawinan bisa diperbesar,” pungkasnya. 

Pewarta: Abdullah Alawi


 


Nasional Terbaru