• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Kota Bandung

Ilmu Kebijakan Pendidikan Islam Sebagai Teologi Praksis Pendidikan Islam

Ilmu Kebijakan Pendidikan Islam Sebagai Teologi Praksis Pendidikan Islam
Prof.Dr. Bambang Qomaruzzaman, M. Ag. Guru Besar Fakultas Ushuluddin, UIN SGD Bandung
Prof.Dr. Bambang Qomaruzzaman, M. Ag. Guru Besar Fakultas Ushuluddin, UIN SGD Bandung

Pidato Prof.Dr. Bambang Qomaruzzaman, M. Ag saat dikukuhkan sebagai guru besar ILMU kebijakan Pendidikan, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Kamis (8/12/22)

 

Saya berdiri di sini untuk menerima satu tanggung jawab akademik baru yang cukup berat, yakni sebagai Guru Besar di kampus ini. Guru Besar itu penjamin idealisme keilmuan. Apa yang diajarkan, bagaimana cara mengajarkannya, Untuk apa diajarkan, mau jadi apa mahasiswa yang kuliah di kampus ini menjadi tanggung jawab Guru Besar. Mungkinkah saya menanggung tanggung jawab baru ini?


Memikirkannya membuat saya cukup berkerut. Untungnya tanggung jawab itu tidak ditanggung sendiri, tanggung jawab itu dipikul bersama-sama Dewan Guru Besar yang hari ini akan mengukuhkan saya. 


Daripada terus berkerut saya memilih untuk mensyukuri momen pencapaian ini. Bersyukur karena Ibunda saya masih sempat menyaksikan momen ini, terima kasih Ibunda Hajah Yayah Rubaiyah. Beliau pejuang dan pendoa untuk kebahagiaan anak lelakinya yang satu ini. Padanya saya berhutang teramat banyak, panjang kesabarannya belum terbayar sepeser pun. Allah sajalah pemberi balasan segela kebaikannya. 


Saat saya mengambil kuliah S3 di Administrasi Pendidikan, saya memang meniatkan untuk melengkapi Ilmu Teologi Islam. Bagi saya Ilmu Teologi Islam membutuhkan ruang praksisnya, ruang aplikasinya. Hanya belajar teori Kalam, Filsafat Islam, dan Tauhid saja akan membuat saya tertawan pada teori qua teori. Lagipula, seluruh Pemikir Islam pada akhirnya merumuskan pola dan metode pendidikan tertentu. Sebut saja Sayyid Ahmad Khan mendirikan Aligharh, Muhammad Abduh mereformasi Al-Azhar, KH Hasyim Asyari membangkitkan spirit ulama untuk membangkitkan pesantren melalui Nahdlatul Ulama. Pendidikan dalam sejarah pemikiran Islam telah menjadi ujung tombak bagi perjuangan Islam, maka tak ada salahnya saya melengkapi Ilmu Teologi Islam dengan Administrasi Pendidikan.


Kenapa Administrasi atau Manajemen Pendidikan?
Semangat Pendidikan telah merasuk pada semua darah umat Islam, setiap gang dan jalanan sempit berdiri papan nama yayasan Pendidikan Islam ini dan itu.Namun semuanya berkembang pada batas rata-rata, bahkan di bawah rata-rata. Kenapa? Kurang manajemen, dan abai administrasi. 


Peradaban Islam Modern memang “gagal” di dua bidang itu, bandingkan saja Mesir memodernisasi diri pada tahun 1803 di bawah kepemimpinan Muhammad Ali. Jepang melakukan modernisasi via Restorasi Meiji pada tahun 1868. Beda waktu 60 tahunan, Mesir lebih dahulu. Tapi lihatlah hasilnya sekarang, Jepang jadi Negara Teknologi yang supporter bolanya memiliki adab membersihkan stadion; sementara Mesir seperti yang kita lihat sekarang. Jepang sadar manajemen, dari Edward Deming mereka kembangkan Kaizen. Sementara dunia Islam sibuk meributkan tanda-tanda akhir zaman. Keduanya melahirkan hasil yang memukau, yang satu teknologi ….. yang satu lagi para mujtahid yang tak tertandingi. Bayangkanlah jika keduanya digabungkan: mujtahid, ahli agama, yang termenej dan terampil IT. Untuk itulah, Teologi Islam harus memiliki ujung tombak Ilmu Pendidikan.


Lalu, kenapa bidang Ilmu saya Ilmu Kebijakan Pendidikan Islam? Apa Hubungannya?
Kebijakan itu jika disederhanakan seperti seperangkat aturan main. Aturan ini akan mengikat orang-orang yang ada di suatu negeri. Jika aturannya baik, nasib orang-orang di suatu negeri akan baik; demikian sebaliknya. Kebijakan Pendidikan adalah aturan main mengenai bagaimana pendidikan di negeri ini dijalankan. Apa yang boleh dan tidak boleh dalam pendidikan, untuk apa pendidikan dilakukan, nilai penting apa yang harus diajarkan dan tak harus diajarkan. Semuanya itu produk dari Kebijakan Pendidikan.

 

Negara ini telah menghasilkan sejumlah Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional, dari tahun 1950-an, sampai yang akan diputuskan tahun depan Sisdiknas 2022. Pertanyaanya:   Apakah selama ini umat Islam terlibat merumuskan aturan main pendidikan itu? Jika tidak terlibat, umat Islam menjadi obyek dari aturan yang dibuat orang lain, akan terpaksa berimajinasi dari mimpi orang lain, akan secara tak sadar menyanyi dengan nada dari mulut orang lain, akan menuju pada tujuan yang tak pernah sesuai dengan ideal tauhid. Kabar buruknya, selama ini kita absen dalam perumusan Kebijakan Sistem Pendidikan Nasional. 


Jika pun ada yang terlibat, kesertaannya tak didasarkan Tauhid, tak didasarkan Teologi Islam. Padahal bibit mangga akan berbuah mangga, telur ular akan menetaskan ular beludak. Rumusan kebijakan Sistem Pendidikan Nasional tanpa dasar teologi Islam, tak mungkin melahirkan Pendidikan Islam. Itu sama saja bibit mangga berdaun sirih dan berbuah semangka. Itulah nasib Sistem Pendidikan Islam di bawah Sistem Pendidikan Nasional kita selama ini.

 

Kalau bagitu apakah yang harus dilakukan? 
Kebijakan menurut salah satu teorinya adalah whatever government do or not to do, apapun yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah.  Jika pemerintah membuat aturan bahwa Madrasah adalah sekolah dengan ciri khas Islam, itulah yang dilakukan Pemerintah. Itulah kebijakan. Jika pemerintah menetapkan pendanaan terbatas pada madrasah, atau menutup mata pada peran pesantren, itu juga kebijakan. Selama ini arah kebijakan pendidikan Islam didasarkan whatever government do or not to do, pada “apa maunya pemerintah”. 

 

Padahal praktek pendidikan Islam dari zaman ke zaman berdasarkan otoritas ulama: whatever authority religion do or not to do. Mari kita lihat contohnya. Pada pasca Perang Diponegoro 1935-an, umat Islam kehilangan arah. Kraton dan para priyai yang sebelumnya menjadi pusat pengajaran Islam runtuh, porak-poranda, di bawah penjajahan Belanda. 

 

Salim Ibnu Sumayr Al-Hadramy dari Yaman sana berkunjung ke Nusantara ini merasa resah pada kualitas praktek keberagamaan Islam orang Nusantara.  Maka Salim Ibn Sumayr mengarang Kitab Safinatunn Najah, Buku Pintar Peribadatan yang berisi How To beribadah. Tanpa Dalil, tanpa rujukan al-Quran dan Hadits. Kitab ini dikembangkan untuk memberikan pengetahuan dan skill dasar ummat Islam di Nusantara. Ada juga Habib Abdullah bin Umar bin Yahya yang juga datang atas undangan para saudagar Hadrami di Indonesia yang mengenalkan kitab Sullam al-Tawfiq kitab yang merangkum bab keimanan (tentang ilmu akidah) secara sederhana. Ibn Sumayr dan Habib Abdullah yahya saat itu seperti mengatakan: “Sudahlah dari pada pusing menggunakan rujukan kitab Tuhfah al- Mursalah (yang digunakan oleh Pangeran Diponegoro), pakai kitab ini saja sudah cukup terutama untuk orang-orang di zaman ini yang
awam agama.”

 

Pada tengah abad ke-19 perubahan pergerakan Islam dari yang tadinya terpusat di keraton berubah menjadi menyebar ke kampung-kampung dan desa-desa baik di pesisir maupun di pendalaman melahirkan banyak langgar yang berkembang menjadi pesantren. Di tempat-tempat inilah kita melihat munculnya kurikulum baru yang akhirnya dianggap sebagai kurikulum ahl sunnah wal jamaah yang dipahami sekarang ini. Lebih dari itu, kurikulum di pesantren ini terdiri dari kitab-kitab tidak berbahasa Jawa, akan tetapi berbahasa Arab. Pada akhirnya, Islam menjadi sebuah agama dengan jumlah massa yang besar melalui aktivisme habaib dan para kiai melalui pondok pesantren dan kitab popular yang dikarang yang menjadi kurikulum dasar studi keislaman di Nusantara.

 

Orientasi Islam untuk Awam juga dapat menjadi dasar pemahaman yang menjelaskan alasan Syaikh Nawawi Al-Bantani memberikan syarah terhadap Safinah al-Najah, Risalah al-Jami’ah, dan Sullam al-Tawfiq. Ini menunjukkan bahwa Syekh Nawawi memiliki kesamaan visi untuk menguatkan dakwah kepada masyarakat awam. Penulisan syarah tiga kitab di atas dapat dianggap sebagai sumbangan Syekh Nawawi terhadap buku ajar Pendidikan Islam di Nusantara. Syekh Nawawi al-Bantani menyarahi kitab kitab tersebut untuk membantu para ulama dan para pendidik di Nusantara agar bisa mengajarkan kitab kitab tersebut kepada masyarakat secara luas. Tujuannya agar kitab-kitab tersebut bisa dibaca di langgar dan pondok pesantren sebagai kurikulum ibtidaiyyah. Tidak semua orang mau dan mampu belajar sampai ke Minhaj al-Talibin atau Fath al-Mu’in karena kedua kitab tersebut hanya untuk kelas khusus. Jika berbicara kitab yang bisa digunakan untuk masyarakat umum ialah Safinah al-Najah, Risalah al-Jami’ah, dan Sullam al-Tawfiq. Ini sudah cukup. Ini menjadi embrio dari apa yang kita sebut sebagai ahli sunnah wal jamaah masa ini.

 

Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah satu mazhab pemikiran dan pembelajaran Islam yang membangun Jemaah atau ummat melalui pelaksanaan dan pemeliharaan Tradisi (Sunnah). Sunnah dan syariat menjadi pusat dalam pengajaran Islam mazhab Ahl Sunnah Wal- Jamaah ini. Dari sunnah (tidak hanya Hadits) dalam arti yang lebih luas sebagai tradisi keagamaan Isalam yang terpelihara dari guru ke murid dan tersambung sampai Rasulullah ini jamaah disatukan. Berdasarkan sunnah ini juga otoritas dibangun, bahwa seorang ulama atau Kyai yang dapat menjadi rujukan keislaman adalah mereka yang melaksanakan sunnah (tradisi keagamaan) secara baik.

 

Itulah yang menjadi “kebijakan pendidikan Islam” di Indonesia, asalnya bukan dari pemerintah, namun dari pemegang otoritas keagamaan. Itu juga yang terus-menerus menjadi sumber praksis pendidikan Islam di Indonesia sampai saat ini, paling tidak di pesantren. Maka kebijakan pendidikan bukanlah hanya “whatever governments choose to do or not to do” sebagaimana dikemukakan Thomas R. Dye (2014), namun Tarik-menarik dengan pemegang otoritas keagamaan. Pada titik ini pemikiran Easton (1965:21)  dapat menjadi pertimbangan bahwa kebijakan merupakan “the authoritative allocation of values for the whole society”. Jadi Kebijakan publik terkait dengan pengalokasian nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat tanpa harus terkait dengan pemerintahan. Peran pemerintah sebagai produser kebijakan dapat diganti dengan pemilik autoritas, seperti kyai, orang tua, atau masyarakat.

 

Di sini “whatever governments choose to do or not to do” berhadapan dengan “whatever religious authority choose to do or not to do”. Pemerintah boleh memilih satu aturan main tertentu untuk praktek pendidikan Islam, namun mayorita masyarakat lebih besar merujuk pada “kebijakan pemegang otoritas”. Jika pemerintah memaksakan kebijakannya tanpa konsultasi atau negosiasi dengan kebijakan Kyai, akan teradi konflik berkepanjangan. Mungkin takada perlawanan terbuka, hanya pengingkaran diam-diam, namun itu artinya kebijakan yang diterapkan pemerintah tidak efektif. Pada sisi lain, pemerintah dapat menyebut pengingkaran ini sebagai pembangkangan, namun argument pengingkaran ini cukup rasional bahwa yang memahami agama adalah kyai, bukan pemerintah. 

 

Lalu apakah kebijakan pendidikan Islam harus merujuk pada otoritas Kyai saja dan mengabaikan keputusan Pemerintah? Tentu saja tidak. Keduanya harus saling bersinergi, berkolaborasi. Pemerintah memiliki kepentingan menata Warga Negaranya, Otoritas Kyai harus menata ummatnya agar tetap berada dalam Ahlu Sunnah Wal-Jamaah. Maka organisasi Keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Wasliyah, Mathlaul Anwar, dan sejenisnya harus menjadi sumber rujukan pada penetapan kebijakan pendidikan Islam di Indonesia.

 

Bukankah itu sudah terjadi? Mari kita lihat dari contoh sederhana, kebijakan penulisan buku ajar Pendidikan Agama Islam. 


Kalau kita membaca dengan cermat buku Pendidikan Agama Katolik, pada lembar- lembar awal buku itu terlihat pencantuman kalimat Nihil obstat dan imprimatur. Dua istilah ini (Nihil obstat dan Imprimatur) merupakan dua konsep yang terkait dengan magisterium, yakni wewenang mengajar Gereja untuk “melindungi umat terhadap kekeliruan dan kelemahan iman dan menjamin baginya kemungkinan obyektif, untuk mengakui iman asli, bebas dari kekeliruan” (Katekismus Gereja Katolik, no 890).  Berdasarkan tanggung jawab ini, Magisterium akan memeriksa alat-alat komunikasi sosial, dan khususnya buku-buku, mengenai iman dan moral, serta memaklumatkankan mengenai bersihnya karya-karya tersebut bebas dari kesalahan doktrin. Kerangka kerja Magisterium ini melahirkan istilah nihil obstat, yang berarti “tidak ada kesesatan”, satu pernyataan resmi dari pihak tertentu bahwa naskah tersebut aman untuk diserahkan kepada Uskup agar diperiksa supaya Uskup dapat memberikan keputusan. Sementara imprimatur (berarti “silakan dicetak”) merupakan pernyataan resmi Uskup bahwa buku tersebut bebas dari kesalahan doktrin dan telah disetujui untuk dipublikasikan setelah melewati suatu pemeriksaan tertentu.   

 

Ada kebijakan sedemikian ketat dalam penulisan Buku Agama Katolik yang memastikan semua materi ajar untuk pembelajaran agama sehingga dapat “melindungi umat terhadap kekeliruan dan kelemahan iman dan menjamin baginya kemungkinan obyektif, untuk mengakui iman asli, bebas dari kekeliruan”. Pemerintah memberi ruang untuk keterlibatan pihak gereje Katolik untuk menentukan mana yang boleh dan tidak boleh diajarkan. Bagaimana dengan buku Pendidikan Agama Islam? Sungguh mengecewakan, kebijakan seperti itu tidak ditemukan. Semua orang bisa menulis, bisa menentukan, bisa memutuskan apa yang dapat diajarkan dan tidak diajarkan di lembaga Pendidikan Islam. 

 

Pada kebijakan penulisan buku PAK berlangsung negosiasi antara “whatever governments choose to do or not to do” dengan “whatever religious authority choose to do or not to do”. Sementara pada buku PAI, aturannya tidak jelas.

 

Maka lihatlah materi aja buku PAI. Sebut saja beberapa. Pertama, tidak ada perbedaan bahasa penyampaian antara buku PAI untuk SD dengan untuk SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Padahal ketercapaian materi ajar ditentukan oleh bahasa. Kedua, tidak ada pembedaan logika penyampaian pada jenjang pendidikan tersebut. Semua menggunakan logika saintifik (aturan- argument-efek pragmatis-paham) seraya mengabaikan logika naratif (kisah-nilai-perubahan laku). Akibatnya muncul SDM yang mahir berdebat atas nama agama namun kehilangan rahsa beragama. Ketiga, materi ajar terlepas dari pemilik otoritas agama. 

 

Dulu saat saya SD-SMP-SMA, saya mendapat materi Aqidah Sifat 20 pada buku PAI. Ini jelas-jelas Asyariah, karena Aqidah umumnya ummat Islam Indonesia (entah Muhammadiyah, Persis, Al-Wasliyah, PUI, MA, apalagi NU) adalah Asyariyah Maturidiyah. Namun sejak awal tahun 90-an berubah menjadi Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah, Tauhid Asma wa al-Sifat. Ini berarti berubah dari Aqidah Asyariyah Maturisiyah pada Aqidah Ibn Taymiyah, berubah dari Aqidah yang mengandalkan pengetahuan logis pada Aqidah tanpa keterbukaan logis. Keempat, materi ajar Sejarah Pendidikan Islam pada buku PAI menampilkan lebih banyak sejarah perang dan pendirian kerajaan Islam, sehingga akan memantik imajinasi bahwa Islam adalah perang jihad dan Negara. 


Akhirnya, muncullah hasil seperti ini. Pendidikan Agama Islam, menurut Survey PPIM (PPIM, Api dalam Sekam: Keberagamaan gen Z: Survei Nasional tentang Sikap Keberagamaan di Sekolah dan Universitas di Indonesia” November 2017)., dianggap berkontribusi pada maraknya sikap intoleransi di kalangan remaja Muslim Indonesia. Tak hanya mata pelajarannnya, gurunya pun menunjukkan pengaruh yang besar pada kemunculan sikap intoleransi. 


Inilah kira-kira efek tak langsung dari absennya pemegang otoritas keagamaan dalam perumusan kebijakan Pendidikan Islam di negeri ini. Padahal jauh-jauh hari, pada tahun 1926-an, Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari telah mewanti-wanti bahwa urusan Agama tak bisa diserahkan pada sembarang orang. Urusan agama harus diserahkan pada Ulama, karena itu Hadratusy Syaikh menolak Syarekat Islam (SI) yang tidak dipimpin oleh Ulama (lihat kitab Kaff al-‘Awwam ‘an al-Khaudi fi Syirkat al-Islam, 1913). Lalu pada Muqaddimah Qanun Asasi menegaskan perlunya persatuan para Ulama untuk memastikan keberlangsungan ajaran Islam yang aman dari para “pencuri” (pengajar Ilmu Agama tanpa terkait pada tradisi keilmuan Islam). 


Wahai ulama dan para pemimpin yang bertaqwa di kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah dan keluarga madzhab imam empat; Anda sekalian telah menimba ilmu-ilmu dari orang-orang sebelum anda, orang-orang sebelum anda menimba dari orang-orang sebelum mereka, dengan jalan sanad yang bersambung sampai kepada anda sekalian, dan anda sekalian selalu meneliti dari siapa anda menimba ilmu agama anda itu.Maka dengan demikian, anda sekalian adalah penjaga-penjaga ilmu dan pintu gerbang ilmu-ilmu itu. Rumah-rumah tidak dimasuki kecuali dari pintu-pintu. Siapa yang memasukinya tidak melalui pintunya, disebut pencuri (Muqaddimah Qanun Asasi)

 

Tetapi lihatlah Kebijakan Pendidikan Islam di Indonesia saat ini masih lebih besar didasarkan hanya pada keputusan Pemerintah dan kurang melibatkan otoritas Ulama. Apakah artinya kita membiarkan pengajaran agama dilakukan oleh para Saariq?

 

Pada titik inilah Ilmu Kebijakan Pendidikan diperlukan dan harus mulai menjadi salah satu fokus dari umat Islam. Kita tak bisa membiarkan “aturan main pembelajaran Islam” sebagai cek kosong, kita harus mengisinya dengan spirit Islam di Indonesia: teologi Ahlusunnah Waljamaah. Tentu saja orientasinya bukan Islamisasi atau syariatisasi, jika ini yang dilakukan berarti dominasi religious authority choose daripada government choose.  Yang dilakukan adalah upaya menjadikan teologi Ahlusunnah Waljamaah sebagai “hal yang objektif” atau yang “ma’ruf” yang kebaikannya diterima dan menguatkan NKRI. Yang diperlukan adalah dialog kreatif antara religious authority choose dengan government choose.


Jika tidak segera dilakukan, ummat Islam akan semakin tersingkir dari peran kehidupan. Seperti yang dibayangkan Muhammad Iqbal pada puisi Shikwa (puisi gugatan pada Tuhan). Pada Shikwa Muhammad Iqbal merajuk dan kesal pada Tuhan karena ummat Islam mengalami kekalahan dan kemunduran, sementara para penjajah yang tak menjalankan ajaran Islam justru menang dan berperadaban. Iqbal menulis:

 

Mengapa aku harus memilih peran pecundang? 
Terus bersabar, lalu apa keuntungan apa yang kudapat?
Mengapa aku terjebak tak memikirkan apa yang terjadi esok hari, 
tapi selalu memikirkan kesengsaraan kemarin?
Mengapa telingaku terpesona mendengar nada sedih bulbul?
Mawar, apakah aku akan kehilangan diriku dalam alunan musik yang manis?
Apakah aku akan mekar dalam diam?
Sementara aku memiliki karunia lagu yang memberiku keberanian 
untuk mengeluh dan mengutuk
Walau lalu mulutku tersumpal lumpur


Tapi ah! 
ini tidak lain tersebab Tuhan 
biar aku kutuk Dia dengan sedih!

Lalu Iqbal menghujat bahwa umat Islamlah yang menyebabkan ajaran Islam dan nama Allah tegak dan tersebar di muka bumi.


Before us your world had become an anomaly,
Stones were worshiped, the trees Godly.
Understanding was a reflection of only the senses,
Then how could man believe in an Almighty beyond mortal lenses?
Name us those who took your name…?
Had it not been for us who would have spread your flame?

 ….
Our unsettled hearts, perhaps,
no longer home in on the Qiblah,
nor have we kept the faith
with due diligence. But then,
haven’t You been compassionate
betimes, yet more than often
showered benefaction upon strangers?
We shouldn’t say this, but Y ou too
have been less than loyal

 

Iqbal menggugat Tuhan, kenapa para pengingkar Tuhan Berjaya sementara para pembelanya justru tersingkir di luar peradaban? Lalu pada puisi jawab-i shikwa, Tuhan memberikan jawaban:

 

Aku selalu siap untuk memberi, tetapi tidak ada penerima yang bersedia,
Aku sangat ingin membimbing, tetapi tidak ada yang mencari bimbingan.
Kesialanmu karena ketidakmampuanmu, bukan kurangnya ajaran,
Milikmu bukanlah tanah liat yang dapat menjadi mahkota ciptaan.
Hanya kepada yang pantas, aku anugerahkan kemuliaan Kaisar,
Untuk pada penjelajah, aku bahkan mengungkap benua baru


Katakan padaku siapa yang menutup paganisme di halaman sejarah?
Katakan padaku siapa yang membuang belenggu yang memberatkan
perbudakan dan membebaskan umat manusia?
Katakan padaku siapa yang dahinya ditandai
sujud dan menjadikan Ka'bah tempat tuju kesalehan?
Katakan padaku siapa yang berkomitmen untuk hati Wahyu Suci?
Kebanggaan atas tindakan-tindakan nenek moyangmu itu  tidak membuatmu lantas layak dapat pujian,
Karena yang kau lakukan hanyalah diamm melipat tangan, hanya menunggu keselamatan.

….
Jika kau Muslim sejati 
Takdirmu adalah meraih apa yang kauinginkan
Jika tak kau lepaskan keimananmu pada Muhammad
Aku akan selalu bersamamu
Apa arti dunia yang menyedhkan ini?
Aku menawarimu untuk menulisnya dengan pena dan buku sejarah!

Atas semua kondisi kita sebagai ummat Islam di tengah peradaban ini, kita tak bisa menggugat Tuhan. Kitalah yang harus memperbaiki cara kita terkait dengan spirit Muhammad diantaranya dengan mengaitkan segala perilaku kita pada teologi Islam, terutama pendidikan Islam harus terkait dengan teologi Ahlusunnah Waljamaah.


Kota Bandung Terbaru