Kabupaten Cirebon

Haul KH Muhammad Sa'id: KH Wawan Arwani Tegaskan Barokah Pesantren Gedongan Terus Hidup

Selasa, 18 Februari 2025 | 10:41 WIB

Haul KH Muhammad Sa'id: KH Wawan Arwani Tegaskan Barokah Pesantren Gedongan Terus Hidup

Pondok Pesantren Gedongan kembali menggelar tahlil umum dan doa bersama dalam rangka memperingati Haul KH Muhammad Sa'id ke-94, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan pada Sabtu (15/2/2025). (Foto: NU Online Jabar)

Cirebon, NU Online Jabar
Pondok Pesantren Gedongan kembali menggelar tahlil umum dan doa bersama dalam rangka memperingati Haul KH Muhammad Sa'id ke-94, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan pada Sabtu (15/2/2025).


KH Wawan Arwani, salah satu pengasuh Pondok Buntet Pesantren yang juga dzuriyah Mbah Kiai Sa'id dari jalur Kiai Amin bin Kiai Siroj mengatakan bahwa Mbah Kiai Sa'id mendirikan Pesantren Gedongan lebih dari satu abad.


"Mbah Kiai Sa'id mendirikan Pesantren Gedongan berdasarkan satu riwayat, kurang lebih 1800-an." ungkap Kiai Wawan dalam Kalimatut Tarhib di Maqbaroh KH. Muhammad Sa'id.


Ia menambahkan, Pesantren Gedongan yang berdiri lebih dari satu abad bisa dilihat pada saat memperoleh penghargaan dari resepsi Harlah Satu Abad NU.


"Tahun lalu, ketika NU melaksanakan peringatan Harlah Satu Abad, kemudian memberikan award kepada pesantren-pesantren yang umurnya di atas 100 tahun. Di antara yang menerima adalah Pondok Pesantren Gedongan," jelas Kiai Wawan yang juga merupakan salah satu Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Cirebon.


Selain itu, Kiai Wawan menegaskan bahwa Mbah Kiai Sa'id aslinya bukan dari Gedongan melainkan dari Tuk Lemahabang.


"Secara singkat, Mbah Kiai Sa'id bukan asli Pondok Pesantren Gedongan, jadi ke sini itu sebagai pendatang. Sebagai pendatang. Maka, penduduk pertama Gedongan yakni Mbah Kiai Sa'id dengan santri-santrinya," katanya.


Dalam kesempatan itu, Kiai Wawan mengungkapkan bahwa warga yang sekarang sudah bersatu padu dengan pesantren merupakan komunitas atau masyarakat pesantren yang dinikahkan oleh Mbah Kiai Sa'id di awal-awal pasca menempati tanah Gedongan.


"Jadi, Pesantren Gedongan ini jika dibandingkan dengan pesantren lain. Salah satu yang membedakan Pesantren Gedongan, lainnya itu pesantren masyarakat adalah masyarakat pesantren. Karena masyarakat Gedongan itu keturunan awal-awal santri Mbah Kiai Sa'id Pondok Pesantren Gedongan." ujarnya.


Sementara itu, Kiai Wawan menjelaskan bahwa barokah itu mutlak datang dari Allah, sebagaimana kaum muslimin menghadiri Haul Mbah Kiai Sa'id.


"Hari ini, kita semua tabarrukan (ngalap berkah) Mbah Kiai Sa'id dan para masyayikh almarhumin Pondok Pesantren Gedongan. Kita semua yakin bahwa Allah menurunkan barokah," tegas Kiai Wawan.


Di sisi lain, Kiai Wawan kembali menceritakan bahwa Mbah Kiai Sa'id bukan asli warga Gedongan, namun berasal dari Tuk Lemahabang yang sekarang berubah nama daerahnya menjadi Tuk Karangsuwung.


"Dulu ternyata, Tuk ini merupakan santri pengembangan keilmuan dan juga pertahanan masyarakat Cirebon dalam menghadapi Belanda. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa pesantren dan dunia keilmuan pesantren sesudahnya berkembang di  antaranya di daerah Tuk," ungkap Kiai Wawan.


Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa dapat dibuktikan pesantren Tuk merupakan daerah yang melahirkan pesantren-pesantren berikutnya.


"Sering kita dengar, bahwa Pesantren Benda Kerep, Pesantren Buntet dan Pesantren Gedongan itu kakak adik yang asalnya dari Tuk Lemahabang yakni Mbah Muqoyyim," tegas Kiai Wawan.


Berikutnya, Kiai Wawan menceritakan silsilah keluarga Kiai Sa'id dari garis keturunan Kiai Muta'ad. "Mbah Kiai Muta'ad bin Kiai Muridin bin Kiai Nurudin, kemudian ke Pangeren Munjul dan nyambung ke Sunan Gunung Jati." kata Kiai Wawan sambil berkelakar, Sunan Gunung Jati bukan Habib.


Mbah Kiai Sa'id memiliki dua istri, pertama Nyai Hj. Maemunah tinggal bersama dengan Mbah Kiai Sa'id di Gedongan. Kedua Nyai Bunut yang tinggal di Gebang.


Nyai. Hj. Maemunah bintu Kiai Muta'ad. memiliki kakak bernama KH. Soleh Zam-zam, orang yang pertama mendirikan Pesantren Benda Kerep.


Nyai Hj. Maemunah memiliki adik laki-laki bernama KH. Abdul Jamil Buntet yang meneruskan Pondok Buntet Pesantren. Kenapa dikatakan meneruskan, karena pada waktu itu, Buntet sudah lebih dulu ada jauh sebelum adanya KH. Abdul Jamil. Buntet sendiri didirikan oleh Mbah Muqoyyim.


Dari jalur Ny. Hj. Maemunah, Mbah Kiai Sa'id memiliki anak pertama KH. Nachrowi, diambil menantu oleh KH. Soleh Zam-zam. Sedangkan dari jalur Ny. Bunut memiliki putra K. Murtadho diambil menantu oleh Mbah Abdul Jamil.


Perkembangan keturunan Mbah Kiai Sa'id sekarang tersebar di beberapa pesantren. Ada yang di PP. Lirboyo, Kediri, PP Kempek, Gempol, Mertapada, Gedongan, Demak dan Lampung.


Salah satu penyebab keturunan Mbah Kiai Sa'id tersebar di beberapa pesantren, karena berawal dari mesantren kemudian diambil menantu oleh pengasuh pesantren.


Sebagai contoh, KH. Mahrus Ali, diambil menantu oleh Mbah Kiai Abdul Karim, Lirboyo. KH. Aqil diambil menantu oleh KH. Harun, Kempek. Di sisi lain, Kiai Wawan meyakini bahwa Haul yang diperingati setiap tahun dapat mendatangkan barokah dan karomah. 


"Barokah datang dari Allah dan Allah menempelkan barokah pada tiga perkara. Pertama, barokatul azman yakni barokah yang datang dari Allah melalui waktu-waktu tertentu yang tidak terdapat pada waktu lain. Kedua, barokatul amkan yakni barokah yang datang dari Allah melalui tempat-tempat tertentu seperti Haromain (Makkah Al-Mukarramah dan Madinah Al Munawwarah). Ketiga, barokatul a'yad barokah yang datang dari Allah melalui individu-individu seperti para nabi dan rasul, wali dan ulama, sahabat dan orang-orang saleh. Dan kita yakin bahwa Kiai Sa'id memiliki barokah dari Allah SWT," jelas Kiai Wawan.


Lazim kita ketahui, bahwa banyaknya para penghafal Al-Qur'an di Indonesia itu bersanad kepada KH. Munawir, Krapyak, Yogyakarta. Di mana peran Mbah Kiai Sa'id sangat berpengaruh terhadap awal mula KH. Munawir merintis pondok pesantren penghafal Al-Qur'an.


Sebagai penutup, ia berharap bahwa peringatan haul ini dapat memberikan manfaat, barokah dan dampak positif bagi masyarakat luas.


Kontributor: Muhammad Ni'amillah