• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Hikmah

Gus Dur: Islam harus Dipribumikan

Gus Dur: Islam harus Dipribumikan
Gus Dur: Islam harus Dipribumikan
Gus Dur: Islam harus Dipribumikan

Wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 30 Desember 2009 tidak saja menyisakan tangis bagi umat Islam, tetapi juga bagi pemeluk agama-agama yang lain. Pasalnya, semasa hidupnya Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa yang pluralis yang giat menyuarakan semangat perdamaian di antara sesama pemeluk agama yang ada. Oleh karena itu, wajar jika kematiannya selalu diperingati oleh berbagai komunitas lintas agama, ras, etnis, maupun golongan. 


Mustasyar PBNU KH Husein Muhammad dalam satu tulisannya yang berjudul “Bagaimana Memahami Fenomena Kepulangan Gus Dur” mengungkapkan bahwa sulit memahami kematian Gus Dur. Kepergiannya tidak saja disesali oleh umat Islam, tetapi juga oleh para Pendeta, Romo, Kardinal, Bhiksu, Penganut Kong Hu Cu, Ahmadi, Bahai, pengamal dan penghayat kebatinan, serta oleh kepercayaan-kepercayaan lintas iman lainnya. 


Oleh karena itu, dalam memahami fenomena kepulangan Gus Dur hanya akan bisa dijelaskan oleh para bijak bestari, para sufi (al-Arifin), dan oleh orang-orang yang hatinya bersih, bening yang memancarkan cahaya Ketuhanan.


Pribumisasi Islam


Bagi Gus Dur, agama Islam  merupakan agama yang memegang teguh sikap toleransi keberagaman. Menurutnya, agama Islam yang lahir dari negara Arab tidak serta merta akan dapat menggantikan kearifan lokalitas budaya manakala agama Islam itu kemudian dan telah menyebar ke berbagai belahan dunia. 


Selama nilai kearifan budaya setiap bangsa tidak bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, maka ajaran Islam layak untuk dipribumisasikan. Artinya, selama aturan ajaran yang menyangkut dengan inti keimanan dan peribadatan agama Islam tetap pada aturan formalnya, maka tidak ada yang salah jika Islam –misalnya corak Islam di Nusantara- tidak sama persis dengan Islam seperti di negeri asalnya.


Sejalan dengan pandangan di atas, Gus Dur pernah menyayangkan fenomena masyarakat di negeri ini yang memformalkan  Islam ke dalam semua tatanan kehidupan masyarakat Islam Indonesia. Misalnya, bagaimana ketika bangunan masjid-masjid lokal yang sarat dengan simbolisasi Wali Songo sengaja ‘dikubahkan’ mengikuti gaya negara-negara Islam di Timur-Tengah. 


Belum lagi tampilan-tampilan busana Arab yang menggantikan tampilan-tampilan busana tradisional yang sarat dengan filosofi lokalnya, dan juga sebutan atau panggilan berbahasa Arab yang menggantikan panggilan khas lokal. Misalnya seperti panggilan ‘umi’ dan ‘abi’ yang dipakai seorang anak kepada kedua orangtuanya.


Jika hal semacam di atas tetap dibiarkan, maka boleh jadi masyarakat Islam di Indonesia akan kehilangan semangat kebangsaannya dan kemungkinan besar akan kehilangan jati dirinya. Hal inilah yang kemudian akan menjadi benih timbulnya gerakan Islam sempalan atau Islam transnasional. 


Yang dikhawatirkan lagi adalah kenyataan dalam ‘menghadirkan’ Tuhan akan ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan hasrat duniawi sehingga nilai-nilai agama Islam akan jauh dari nilai yang semestinya dan akan berpeluk mesra dengan kepentingan dan motivasi pribadi.
Wallahu’alam


Rudi Sirojudin Abas, penulis adalah pengagum Gus Dur.


Hikmah Terbaru