• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Daerah

HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Kisah Bimbel Rp3.000 untuk Pendidikan Anak-anak Desa

Kisah Bimbel Rp3.000 untuk Pendidikan Anak-anak Desa
Agus Candra saat bimbel anak-anak desa
Agus Candra saat bimbel anak-anak desa

Kuningan, NU Online Jabar
Sebagian masyarakat berpandangan bahwa bimbingan belajar (bimbel) adalah barang mewah sehingga harganya mahal dan tak terjangkau. Agus Chandra (29) pemuda Desa Cinagara, Kecamatan Lebakwangi, Kuningan berusaha membantah pandangan itu. Ia membuka bimbel dengan Rp3.000,00 sekali pertemuan. 

Bagi alumnus PMII Kabupaten Kuningan ini, sekolah hanya menyediakan sarana dan fasilitas untuk belajar bukan untuk mendidik. Hal ini dapat dimaklumi, karena beban menjadi guru tidak hanya mengajar, tetapi juga beban administratif yang banyak. Memberi pelajaran kepada murid terkadang bagi sebagian guru dilaksanakan sebagai pelaksanaan kewajiban.

Sebagai guru kelas dua, Agus menyadari betul bahwa para anak didiknya tidak semua dapat menerima pelajaran dengan maksimal. Jumlah murid yang banyak dengan satu guru yang mengajar, mengakibatkan murid tidak dapat terpantau satu per satu. Untuk mengejar materi, akhirnya murid dipukul sama rata bahwa telah memahami materi tersebut.

Untuk mengakali hal tersebut, berbagai cara telah dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan muridnya. Salah satunya yaitu permintaan untuk membuka kelas tambahan di luar jam belajar pun pernah diajukan. Namun, respons lembaga saat itu begitu lama.

Pada Juni 2020, ia memutuskan untuk resign dari lembaga bersangkutan. Saat itu, salah seorang orangtua dan muridnya menangisi kepergiannya. Namun, ia sesungguhnya tak berhenti mengajar, melainkan hanya memindahkan tempat. Ia mulai mengajar satu muridnya secara pribadi. Dari satu murid ini, murid lain pun mulai mengikuti. 

Untuk urusan uang, Agus tak menarget berapa jumlah nominal yang harus diberikan. Kemauan anak untuk belajar pun dirasa menjadi hal yang sangat disyukuri. Lagi pula ia tahu, dalam pandangan masyarakat bimbingan belajar adalah barang mewah yang hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya saja. 

“Di sisi masyarakat ketika mendengar kata bimbel, pasti akan dilabeli mahal. Tapi, kami berdua tidak memikirkan hal tersebut. Target awal kita adalah merangkul masyarakat untuk menghilangkan label bahwa bimbel untuk orang-orang kaya saja," ungkap Endah (25) kepada NUO Jabar yang merupakan rekan Agus mengajar bimbel.

Keduanya, Agus dan Endah merupakan orang-orang yang memilih resign dari lembaga pendidikan. Dua bulan setelah Agus resign, Endah pun tertarik untuk mengikuti jejak mengajar bimbel anak-anak. Materi yang diajarkan yaitu membaca, menulis, berhitung dan bahasa Inggris. Atas keputusan yang dimusyawarahkan secara sepihak oleh orangtua yang mengikuti les, bimbel dihargai senilai 3.000 rupiah untuk satu kali pertemuan. Tak jarang beberapa murid, tak ditarik uang untuk mengikuti bimbel. Kemauan anak untuk mau belajar pun menjadi hal yang patut disyukuri.

“Selagi anak ada kemauan, pengen belajar sungguh-sungguh. Hayu, untuk bayaran segala macam tidak pernah menargetkan,” ujar Agus.

Keputusan untuk tidak menarget jumlah nominal ini dikarenakan melihat kondisi. Ia sadar betul bahwa kondisi ekonomi tiap orang itu berbeda-beda sehingga tidak bisa dipukul sama rata. 

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial... ”

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea ke-4, menjadi salah satu pegangan penyemangat bertahan bimbel.

Menurutnya dengan hal yang dilakukan sekarang adalah salah satu upaya mengamalkan UUD. Karena untuk ikut mendidik tidak hanya dapat dilakukan di lembaga. Akan tetapi dapat dilakukan secara mandiri.

Melalui cara ini, kebebasan mengaktualisasi diri dalam mengamalkan ilmu dirasa lebih bebas. Tidak adanya keterikan aturan menjadikan dapat mengeksplor diri lebih jauh untuk mengajar murid. Inilah salah satu upaya ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.

Penulis: Sri Melynda
Editor: Abdullah Alawi
 
 


Daerah Terbaru