• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Senin, 29 April 2024

Daerah

KH Faqihuddin Abdul Kodir Komentari Kawin Kontrak yang Kerap Terjadi di Puncak

KH Faqihuddin Abdul Kodir Komentari Kawin Kontrak yang Kerap Terjadi di Puncak
(Ilustrasi/Republika.co.id)
(Ilustrasi/Republika.co.id)

Bandung, NU Online Jabar 
Penulis buku Qira'ah Mubadalah KH Faqihuddin Abdul Kodir tidak membenarkan istilah kawin kontrak. Menurutnya, prinsip pernikahan adalah mu’abbad (selamanya), sedangkan kawin kontrak adalah perkawinan yang memiliki syarat waktu untuk bercerai mengikuti rentang waktu yang sudah ditentukan. Ia juga tidak membenarkan adanya kesepakatan untuk berpisah atau menentukan waktu cerai pada waktu tertentu sehingga ada syarat tenggat waktu yang ditentukan (mu’aqqat).

"Syarat seperti ini dalam fiqih Suni di semua mazhab adalah tidak sah dan dihukumi haram. Walaupun bisa saja berpisah karena cerai. Dan itu tentu harus disertai alasan kuat," terangnya. 

Kiai Faqih menerangkan bahwa terdapat dua hukum yang dijelaskan oleh ulama terkait akad mut'ah (kontrak). Pertama, dihukumi sah sehingga tidak perlu mengulangi akad. Kedua, tidak sah dan perlu diulang karena ada syarat tenggat waktu. Namun, keduanya tetap dihukumi haram dan berdosa. 

"Tidak sah/tidak berlaku, dan berdosa karena ada syarat waktu dalam akadnya," tegasnya. 

Dilansir dari NU Online pada Selasa (22/6) Kiai Faqih berpendapat, kasus kawin kontrak yang kerap terjadi di kawasan Puncak Bogor dan Cianjur sejatinya adalah bisnis prostitusi yang dilegalkan. 

"Artinya, laki-laki hanya ingin berhubungan dan perempuan bersedia karena ingin mendapatkan uang dari laki-laki tersebut. Bisa juga terjadi sebaliknya, perempuan ingin berhubungan dari laki-laki yang bersedia dibayarnya. Ini praktis merupakan bisnis prostitusi," tuturnya. 

Menurutnya, hal tersebut jelas sudah tidak sesuai dengan syariat Islam yang bervisi membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah ketika hendak melangsungkan sebuah pernikahan. Ditinjau dari sudut pandang manapun, lanjutnya, perlakuan tersebut adalah haram. Hanya saja dengan sengaja dilakukan prosesi akad palsu untuk memperoleh legitimasi dari masyarakat.

"Atau bisa jadi untuk menenangkan dirinya sendiri, sehingga dilakukan prosesi akad yang sesungguhnya adalah abal-abal, bukan akad sungguhan," kata Kiai Faqih.. 

Apabila menggunakan kaidah fiqih, al-umuru bima qashidiha, bahwa segala sesuatu itu tergantung pada niatnya, maka menurut Kiai yang juga aktif di Majelis Musyawarah KUPI ini dengan tegas menilai bahwa akad kawin kontrak tidak dibenarkan sekalipun terlihat seperti akad nikah.  

"Karena niatnya adalah bisnis prostitusi, dan karena itu adalah haram hukumnya. Apalagi, ditambah tidak sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku di Indonesia," tegas penulis buku Sunnah Monogami ini.  

Kendati demikian, Kang Faqih sapaan akrabnya menyampaikan, selain mengharamkan dan melarang, keterlibatan pemerintah juga sangat penting melakukan dan pengontrolan yang masif. Bahkan akan lebih lebih baik lagi apabila pemerintah setempat dapat membuka peluang wisata lain yang lebih komprehensif, berbasis alam, kerajinan, kuliner, fasilitas, bukan berbasis tubuh perempuan.  

"Mengharamkan dan melarang bisa jadi kurang efektif karena ada suply dan ada demand. Sebaiknya, pemerintah di samping melarang, juga melakukan pengawasan dan pengontrolan juga," terangnya. 

Meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa haram kawin kontrak sejak 1996, namun praktiknya masih marak dan tak dapat dikendalikan. 

Nikah Mut’ah (kontrak) menurut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali itu hukumnya haram. Referensi pandangan ini merujuk di antaranya kepada kitab Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i (Juz 5 halaman 71), Fatawi Syar’iyyah karya Syaikh Husain Muhammad Mahluf (Juz 2 halaman 7), Rahmatul Ummah (Halaman 21), I’anatuth Thalibin (Juz 3 Halaman 278-279), Al-Mizan al-Kubraa (Juz 2 Halaman 113), dan Hasyiyah As-Syarwani ‘alat Tuhfah (Juz 7 halaman 224).

Pewarta: Agung Gumelar
Sumber: NU Online


Daerah Terbaru