Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Syariah

Fiqhu As-Shiyam (II): Syarat dan Rukun Puasa

(Ilustrasi: NUO).

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zakky Mubarak menjelaskan, bagi mereka yang diwajibkan melaksanakan puasa Ramadhan, adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 


Bagi mereka yang tidak beragama Islam tidak diwajibkan puasa. Bila ia masuk Islam, maka tidak wajib mengqadha puasanya yang telah lalu, karena setiap orang yang masuk Islam diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Firman Allah SWT: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah) terhadap orang-orang dahulu”. (QS. al-Anfal, 8:38).
 


Orang yang terganggu akalnya, atau gila tidak wajib berpuasa.
 


Yaitu berumur lima belas tahun ke atas, atau sudah menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi sebagai tanda baligh bagi anak laki-laki, meskipun usianya belum mencapai umur lima belas tahun. Anak yang belum baligh, sebagaimana disebutkan di atas tidak wajib berpuasa. Namun demikian bila anak itu telah mumayyiz (bisa membedakan yang baik dan yang buruk) kemudian ia melaksanakan puasa, maka puasanya sah. Oleh karena itu sejak kecil anak-anak harus dilatih berpuasa, sehingga pada saat memasuki dewasa mereka telah terbiasa melaksanakannya. Sabda Nabi SAW:
 


Baca Juga:
Fiqhu As-Shiyam (I): Pengertian dan Landasan Hukum Puasa Ramadhan

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ


“Ada tiga kelompok yang dibebaskan dari hukum, yaitu: (1) Orang yang tidur sehingga ia bangun. (2) Anak-anak sampai ia baligh. (3) Orang gila sampai ia sembuh,” (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 3822, al-Tirmidzi: 1343, al-Nasa'i: 3378, Ibn Majah: 2031, dan Ahmad: 910. teks hadis riwayat al-Nasa'i).
 

 
Mereka yang tidak mampu berpuasa, karena sudah sangat tua, sakit dan sebagainya, tidak wajib berpuasa, kewajiban itu diganti dengan membayar fidyah. Firman Allah SWT: “Barang siapa yang sakit, atau sedang dalam perjalan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari-hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan”. (QS. al-Baqarah, 2:185). Pada ayat yang lain dijelaskan: “Dan wajib bagi mereka yang berat menjalankannya, (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin”. (QS. al-Baqarah, 2:184).


Syarat Sah Puasa


Pelaksanaan ibadah puasa menjadi sah, bila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
 


فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ


“…Kami diperintahkan Rasulullah SAW mengqadha puasa dan tidak disuruhnya untuk mengqadha shalat”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 508).
 


نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ


"Nabi SAW melarang puasa pada hari Idul Fitri, dan Idul Adha”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1855 dan Muslim: 1921).


نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْفِطْرِوَيَوْمِ الْأَضْحَى وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ


"Nabi SAW melarang puasa pada hari Idul Fitri, Idul Adha, dan hari-hari Tasyriq”. (Hadis Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 772).


Rukun Puasa


Rukun adalah sesuatu yang harus dikerjakan, bila ditinggalkan salah satunya maka ibadahnya tidak sah. Rukun ibadah puasa ada dua macam yaitu:
 


وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ 


“Dan tidakkah mereka diperintahkan, kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas semata-mata karena (menjalankan) agama dengan lurus...”. (QS. al-Bayyinah, 98:5).


Sabda Nabi Muhammad SAW:


إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ


"Sesungguhnya setiap amal itu harus disertai dengan niat…”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1 dan Muslim: 3530).


مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ


"Siapa yang tidak membulatkan niat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya (tidak sah puasanya)”. (Hadis Shahih, riwayat Abu Dawud: 2098 al-Tirmidzi: 662, dan al-Nasa'i: 2293).


Pada puasa sunnah diperbolehkan niat di pagi harinya sampai menjelang waktu Dzuhur, berdasarkan hadis shahih sebagai berikut;


عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ


“Dari Aisyah r.a. ia menuturkan, "suatu hari Nabi SAW. datang kepadaku dan bertanya, "Apakah kamu punya makanan?". Aku menjawab, "Tidak". Maka beliau bersabda, "Baiklah kalau begitu (hari ini) aku berpuasa". Kemudian pada hari yang lain beliau datang lagi kepadaku, lalu aku katakan kepadanya,”Wahai Rasulullah kami diberi hadiah makanan (haisun)". Beliau berkata, "Tunjukkan padaku, sebenarnya sejak pagi aku berpuasa". Kemudian beliau memakan makanan tadi,” (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 1952, Abu Dawud: 2099, al-Tirmidzi: 666, al-Nasa'i: 2283, dan Ahmad: 24549).
 


فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ


“…Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam...” (QS. al- Baqarah, 2: 187).


Editor: Muhammad Rizqy Fauzi

Editor: M. Rizqy Fauzi

Artikel Terkait