• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Ubudiyah

Makna di Balik Hadis ‘Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah’

Makna di Balik Hadis ‘Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah’
Makna di Balik Hadis ‘Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah’ (ilustrasi: freepi.com)
Makna di Balik Hadis ‘Tidurnya Orang Berpuasa adalah Ibadah’ (ilustrasi: freepi.com)

Bulan Ramadhan adalah bulan kemuliaan, bulan penuh ampunan dan bulan penuh keberkahan. Dimana di bulan tersebut segala amal perbuatan di ganjar dua kali lipat, baik amal baik maupun amal buruk. Maka perbanyaklah amal kebaikan untuk meraih kemenangan di bulan yang Allah muliakan ini.


Secara kebahasaan, terminologi “ramadhan” dalam bahasa Arab itu berasal dari kata dasar “ra-ma-dha“ yang berarti panas yang menyengat, panasnya batu, teriknya panas sinar matahari. Oleh karenanya, kata ramadhan itu berarti "membakar". Hal ini sesuai dengan hakikat bulan Ramadhan, bahwa meskipun di siang hari yang begitu panas-menyengat kita tidak diperbolehkan untuk minum dan makan apa pun. Sebab, ramadhan pada dasarnya adalah “membakar” dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Seorang muslim yang berpuasa, menahan panas dan kelaparan maka haus dan panasnya berpuasa itu merupakan simbol untuk membakar dosa-dosa.


Salah satu hadits yang populer tiap Ramadhan tiba adalah hadits tentang keutamaan orang berpuasa yang bahkan tidurnya pun berstatus sebagai ibadah. 


Berikut hadits yang menjelaskan tentang hal tersebut:


 نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ   


“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).  


Hadits ini seringkali dipolitisasi oleh sebagian masyarakat sebagai pembenaran bersikap malas-malasan dan banyak tidur saat menjalankan puasa di bulan Ramadhan. Padahal pemikiran demikian tidaklah benar, sebab salah satu adab dalam menjalankan puasa adalah tidak memperbanyak tidur pada saat siang hari. 


Imam al-Ghazali menjelaskan:  


 بل من الآداب أن لا يكثر النوم بالنهار حتى يحس بالجوع والعطش ويستشعر ضعف القوي فيصفو عند ذلك قلبه  


“Sebagian dari tata krama puasa adalah tidak memperbanyak tidur di siang hari, hingga seseorang merasakan lapar dan haus dan merasakan lemahnya kekuatan, dengan demikian hati akan menjadi jernih” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumid Din, juz 1, hal. 246)


Lantas bagaimana sebenarnya maksud hadis tentang tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah? Apakah terdapat ketentuan khusus untuk menggapai fadhilah ini?   


Tidur memang bisa berkonotasi negatif sebab identik dengan bermalas-malasan. Namun di sisi lain, tidur juga dapat bernilai positif jika digunakan untuk mempersiapkan hal-hal yang bernuansa ibadah. 


Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah memang benar, maksud dari tidurnya bernilai ibadah yakni jika seseorang yang berpuasa tersebut tidak kuat menahan hawa nafsu, tidak bisa menjaga ucapan, tidak bisa menjaga perbuatan, tidak bisa menjaga penglihatan, dan tidak bisa menjaga diri dari hal-hal yang menimbulkan kemaksiatan dan kemadaratan yang akhirnya dapat membatalkan puasa, maka dari pada itu terjadi tidur merupakan hal yang baik untuk memalingkan potensi perbuatan mengarah pada kemaksiatan. Oleh karenanya tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.


Hal ini seperti keterangan dalam kitab Ittihaf sadat al-Muttaqien: 


 نوم الصائم عبادة ونفسه تسبيح وصمته حكمة، هذا مع كون النوم عين الغفلة ولكن كل ما يستعان به على العبادة يكون عبادة 


“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, napasnya adalah tasbih, dan diamnya adalah hikmah. Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun tidur merupakan inti dari kelupaan, namun setiap hal yang dapat membantu seseorang melaksanakan ibadah maka juga termasuk sebagai ibadah” (Syekh Murtadla az-Zabidi, Ittihaf Sadat al-Muttaqin, juz 5, hal. 574).  


Menjalankan puasa jelas merupakan sebuah ibadah, maka tidur pada saat berpuasa yang bertujuan agar lebih bersemangat dalam manjalankan ibadah terhitung sebagai ibadah. Namun fadhilah ini tidak berlaku tatkala seseorang mengotori puasanya dengan melakukan perbuatan maksiat, seperti menggunjing orang lain. Dalam keadaan demikian, tidur pada saat berpuasa sudah tidak lagi bernilai ibadah. 


Mengenai hal ini Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan: 
 

قال أبو العالية: الصائم فى عبادة ما لم يغتب أحدا، وإن كان نائما على فراشه، فكانت حفصة تقول: يا حبذا عبادة وأنا نائمة على فراشي  


“Abu al-Aliyah berkata: orang berpuasa tetap dalam ibadah selama tidak menggunjing orang lain, meskipun ia dalam keadaan tidur di ranjangnya. Hafshah pernah mengatakan: betapa nikmatnya ibadah, sedangkan aku tidur diranjang” (Ahmad ibnu Hajar al-Haitami, Ittihaf Ahli al-Islam bi Khushushiyyat as-Shiyam, hal. 65).   


Hal yang sama juga diungkapkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani:  


 وهذا في صائم لم يخرق صومه بنحو غيبة، فالنوم وإن كان عين الغفلة يصير عبادة، لأنه يستعين به على العبادة   


“Hadits ‘tidurnya orang berpuasa adalah ibadah’ ini berlaku bagi orang berpuasa yang tidak merusak puasanya, misal dengan perbuatan ghibah. Tidur meskipun merupakan inti kelupaan, namun akan menjadi ibadah sebab dapat membantu melaksanakan ibadah” (Syekh Muhammad bin ‘Umar an-Nawawi al-Bantani, Tanqih al-Qul al-Hatsits, Hal. 66)   


Orang yang berpuasa namun masih saja melakukan perbuatan maksiat dalam puasanya, tidak mendapatkan fadhilah (keutamaan) dalam hadits “tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah”, sebab tidur yang dia lakukan tidak dimaksudkan sebagai penunjang melaksanakan ibadah puasa, karena ia telah mengotorinya dengan perbuatan maksiat.   


Walhasil, tidur pada saat berpuasa dapat disebut sebagai ibadah ketika memenuhi dua kriteria. Pertama, tidak dimaksudkan untuk bermalas-malasan, tapi untuk lebih bersemangat dalam menjalankan ibadah. Kedua, tidak mencampuri ibadah puasanya dengan melakukan perbuatan maksiat.   


Semoga amal ibadah puasa kita diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.


Editor: Abdul Manap
Sumber: NU Online


Ubudiyah Terbaru