Opini

Menyambut Bulan Pilkada Melalui Profesionalisme Produk Hukum KPU

Kamis, 31 Oktober 2024 | 12:45 WIB

Menyambut Bulan Pilkada Melalui Profesionalisme Produk Hukum KPU

Pilkada 2024. (Ilustrasi: NU Online).

Bulan Agustus lalu, cukup ramai euforia masyarakat terhadap kemunculan Putusan Mahkamah Konstitusi No.60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, meskipun telah beberapa bulan yang lalu, rasa-rasanya bila di petik sebagai sebuah pembelajaran maka tidak akan pernah lekang oleh waktu peristitwa hukum tersebut menjadi pembelajaran demokrasi di Indonesia


Euforia Putusan Mahkamah Konstitusi pada akhirnya diterima oleh DPR dan pemerintah sebagai pernyataan “menyetujui” pada rapat dengar pendapat di Komisi II DPR RI, sejatinya telah menjadi aturan main baru terhadap pelaksanaan Pilkada 2024 yang dilaksanakan bulan November besok yang hanya tinggal menghitung hari.


Hasil putusan MK pun menjadi berlaku bagi seluruh calon pemimpin kepala daerah, atau dalam bahasa hukum, Putusan MK itu bersifat erga omnes (berlaku terhadap semuanya). Tindak lanjut putusan MK ini di adressat-kan kepada  KPU, dan hingga hari ini KPU menindaklanjuti Putusan MK tersebut pada Peraturan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.


Peran KPU cakupannya lebih luas ketimbang penyelenggara pemilu yang lainnya, hal ini terkonfirmasi dari produk hukum yang di buat KPU sudah mencapai 1.176 lebih banyak ketimbang Bawaslu dan DKPP yang tidak sampai setengahnya dari produk hukum yang diciptakan KPU (sumber: situs web resmi ketiga lembaga). Berkat euforia putusan MK masyarakat menjadi paham betapa Peraturan KPU memiliki kedudukan yang strategis dalam peraturan perundang-undangan.


Belajar Dari Jejak Produk Hukum KPU


Tolok ukur pilkada kelak akan terselenggara dengan baik, sesungguhnya dapat dilihat dari proses pembentukan peraturan yang dilahirkan oleh KPU, apakah peraturan KPU ini senantiasa lahir dari tertib hukum pembentukan peraturan perundang-undangan? Dan di saat yang sama apakah produk hukum KPU secara materil sudah dibuat untuk mengakomodir kepentingan publik?


Hal ini penting untuk dipertegas, karena sesulit apapun kondisi atau kebutuhan praktik pelaksanaan pilkada yang diselenggarakan 27 November tahun ini, masyarakat akan menerima hasil pemilu yang muncul, jika telah dilaksanakan melalui produk hukum KPU yang menjiwai asas-asas pembentukan hukum, prinsip-prinsip penyelenggara pemilu, dan etika penyelenggara pemilu.


Entitas hukum dan etika pada penyelenggara pemilu dewasa ini kerapa menjadi sorotan publik yang menyita perhartian saat pelaksanaan tahapan pemilu kemarin, tidak jarang sebagian masyarakat ada yang mendukung dan ada pula yang melihat karya hukum KPU sebagai nada sumbang di tengah masyarakat.


Misal saja pada dinamika Peraturan KPU yang lahir untuk menindaklanjuti Putusan MK tanpa perubahan UU Pemilu, padahal MK tidak memerintahkan untuk segera ditindaklanjuti oleh KPU pada Peraturan KPU Nomor 23 tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Namun peraturan KPU akhirnya diterbitkan cukup cepat dan ditindaklanjuti oleh KPU ketika menjalani proses membuat Beleids KPU ini.


Hal ini berbeda dengan sikap KPU yang kurang progresif dalam menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung nomor 24P/HUM/2023, putusan tersebut berkaitan dengan keterwakilan perempuan dalam mencalonkan diri sebagai anggota legislatif yang hingga hari ini belum terakomodir dengan optimal.


Prioritas Peraturan (Beleids) KPU


Secara teoritik, jika mengikuti proses pembentukan peraturan perundang-undangan, maka yang lebih pantas dan prioritas untuk ditindaklanjuti oleh KPU secara langsung dan profesional adalah amanat dari Putusan MA, ketimbang amanat Putusan MK yang seharusnya ditindaklanjuti ole DPR dan Pemerintah pada perubahan Undang-Undang dan bukan pada perubahan peraturan KPU.


Sekelumit jejak karya hukum KPU bisa menjadi pedoman dan pembelajaran, dan sejatinya juga perlu dikawal agar setiap proses pembentukan peraturan KPU amupun produk hukum lainnnya sesuai dengan proses formil yang telah ditentukan.
Apabila ditelisik lebih dalam lagi, peraturan KPU yang lahir dari tindak lanjut putusan MK Nomor 10 Tahun 2024 tentang perubahan kedua dari peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur tentang penyelenggaraan Pilkada.Sesunggunya pernah tercatat tidak melewati proses formil yang seharusnya dilakukan oleh KPU.


Sangat disayangkan proses forum konsultasi kepada DPR dan Pemerintah tidak dilakukan KPU dalam membuat peraturan KPU Nomor 8 tahun 2024. hal ini tentu saja ke-profesionalitasan KPU sebagai salah satu prinsip penyelenggara pemilu dipertanyakan.


Beragam cara pembentukan peraturan KPU sesungguhnya betul-betul perlu dikawal dengan optimal, karena tidak bisa dipungkiri, bahwa peraturan yang dibuat oleh KPU, sesungguhnya tidak banyak menjadi perhatian masyarakat, ketimbang peraturan setingkat undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah, yang kerap menghadirkan drama politik di sosial media.


Bayang-Bayang Profesionalisme dan Kemandirian KPU


Profesionalisme KPU dalam membuat peraturan menyimpan harapan tinggi dari masyarakat, Bahwa institusi KPU yang wajib berdiri diatas prinsip profesional dan kemandirian akan menghasilkan produk hukum KPU yang legitimate.
Kedua prinsip ini jangan hanya menjadi bayang-bayang sinar redup dalam gelapnya demokrasi, karena menurut Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi di Indonesia semakin menurun karena di anggap banyak terjadi kecurangan dalam pemilu (Media Indonesi, Februari, 2024) .


Gelagat citra seperti ini mungkin saja tidak akan terjadi, apabila transparansi dua tahapan utama pilkada, baik pada tahapan persiapan, maupun pada tahapan penyelenggaraan pilkada hingga evaluasi yang akan datang dilakukan dengan kemandirian KPU yang paripurna.


Kemandirian KPU adalah sebuah keniscayaan, Richard Seamon dan William Funk, ahli administrasi negara dan konstitusi dari Amerika, meletakkan basis teoritik yang cukup kuat, bahwa lembaga negara yang sangat strategis seperti KPU wajib memiliki kemandirian dalam membuat peraturan dalam penyelenggaraan pemilu.


Kemandirian KPU harus bisa menjamin mandat demokrasi, serta kedaulatan rakyat di bumi pertiwi. Kemandirian KPU dalam konteks kerangka hukum, wajib bergulir beriringan dengan kepastian hukum demi menciptakan legitimasi pemilu.
Harapan publik pada peraturan KPU kedepan sesungguhnya tak muluk-muluk, yakni tidak terkontaminasinya setiap tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah, sejak dibentuknya kerangka hukum pemilu pada peraturan KPU, hingga menelurkan hasil keputusan penetapan perolehan suara pemilihan kepala daerah dari intervensi politik di luar kekuasaan dan kewenangan KPU.


Muhammad Helmi Fahrozi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta dan juga Sekretaris LPT NU Kota Bekasi