Ijtihad cinta adalah sebuah perjalanan yang tak berujung, di mana hati menjadi ulama dan rasa menjadi fatwa. Di sini, tak ada kitab suci yang tertulis, kecuali setiap debar jantung yang menjadi ayat-ayat tak kasat mata. Dalam ijtihad cinta, kita bukan mencari kebenaran yang absolut, tapi kebijaksanaan dalam memahami ketidaksempurnaan satu sama lain.
Seperti seorang mujtahid yang gigih, cinta juga butuh penafsiran ulang setiap hari. Kadang ia tafsir mazhab syafi’i, lembut penuh kesantunan, tapi kadang juga seperti Hanbali—tegas dan tak kompromi. Tapi jangan khawatir, di ujung semua perdebatan hati, ada satu konsensus atau ijma’: bahwa setiap keputusan cinta adalah benar, selama ia datang dari niat yang tulus.
Baca Juga
Fatihah Cinta
Namun, seperti halnya ijtihad, cinta juga bisa salah tafsir. Terkadang kita merasa telah mencapai maqam tertinggi dalam cinta, hanya untuk menemukan bahwa kita sebenarnya baru saja memulai mukadimah. Ijtihad cinta itu melupakan kesalahan dan menepiskan ego atau harga diri. Yang masih terikat egonya, berarti belum memahami istinbath cinta.
Tapi bukankah cinta itu indah? Karena ijtihad cinta tak pernah mengenal kata final. Selalu ada ruang untuk belajar, berimprovisasi, dan tentu saja, bercanda mesra di setiap sujud hati.
Dalam ijtihad cinta, yang paling berbahaya itu melakukan qiyas atau analogi. Mencoba mengaitkan mana yang ashal (pokok masalah) dan mana yang furu’ (cabang). Jika tak mahir menerapkannya, apalagi terkena bias cemburu, kita akan jatuh pada menafsirkan ayat-ayat cinta yang mutasyabihat, bukan yang muhkamat. Kita memikirkan wilayah yang tak perlu kita bahas.
Seperti juga seorang mujtahid muthlaq, mujtahid cinta itu jika keliru memahami hati sang kekasih, diganjar satu pahala. Jika benar, dia mendapat dua pahala.
Jika berdekatan, dia mencintai dengan tangan (bil yad) dan bil lisan, tapi jika berjauhan, cukup dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya perasaan saat memendam rindu.
Dalam ijtihad cinta, cinta itu tidak tergantung illat atau alasan. Cinta itu juga tidak berubah sesuai perubahan masa dan tempat. Cinta yang qath’i ini cukup berakhir di dirimu.
KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia