Oleh Iing Rohimin
Beberapa bulan menjelang wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saya diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk bisa mencium tangan beliau sesaat sebelum beliau menyampaikan materi dalam acara Konferensi Nasional Merajut Akar-akar Kebangsaan, yang digelar salah satu hotel di Yogyakarta pada 8 Januari 2009.
Kebetulan saya hadir dalam acara tersebut membersamai beberapa orang korban kekerasan 65 dari Kabupaten Indramayu-Jabar, untuk memberikan testimoni tentang pengalaman buruk yang pernah mereka alami dalam peristiwa kekerasan pada tahun 65 di kota mangga, Indramayu.
Masih terasa jabat erat tangan Gus Dur memegang telapak tangan saya dan masih tercium bau harum tangan lembut manusia luar biasa tersebut di hidung saya hingga saat ini, bahkan elusan tangan kiri beliau di kepala saya masih terasa nyaman dengan dengan bisikan doa yang terucap dari lisan bapak toleransi dunia tersebut, karena memang saya memohon kepada beliau untuk mendoakan saya dan memberikan pesan penuh makna.
Gus Dur pasti tidak tahu siapa saya, tetapi entah kenapa beliau berkenan melantunkan doa pendek untuk saya dan memberikan wejangan singkat yang masih terus saya ingat hingga sekarang. Mungkin Gus Dur masih ingat ketika suatu malam (tepatnya dini hari) saya suguhkan minuman hangat untuk menyambutnya saat beliau sowan ke pengasuhnya di waktu kecil yakni KH Masduqi Ali di Pondok Pesantren Mifahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin-Cirebon pada tahun 1993.
Pada acara konferensi nasional tersebut, Gus Dur menyampaikan makalah yang berjudul Merajut Akar-Akar Kebangsaan Indonesia. Selain Gus Dur, tampil pula sebagai narasumber M. Syafi’i Ma’arif, Frans Magnis Suseno, dan Suko Sudarso.
Menurut Gus Dur kebangsaan kita bukanlah sesuatu yang bersifat bulat dan tetap. Kita lihat umpamanya, bahwa pada abad ke-6 masehi kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan telah didatangi Fahien, yang menyebarkan agama Budha di daerah Sriwijaya. Ketika kemudian Sriwijaya mengirimkan orang-orang Buddha ke pulau Jawa pada abad ke-8 maka mereka mendarat di pelabuhan Pekalongan dan meneruskan perjalanan ke selatan melalui Keras, Kajen dan sebagainya.
“Mereka mendaki gunung Dieng, dan mendapati kerajaan Kalingga yang beragama Hindu. Kerajaan Kalingga itu dibiarkan saja mengikuti agama Hindu, di kawasan yang sekarang bernama kabupaten Wonosobo. Orang-orang Budha itu melanjutkan perjalanan melalui Kabupaten Magelang, dan mendirikan Candi Borobudur yang beragama Budha. Sebagian dari orang-orang Sriwijaya itu melanjutkan perjalanan ke daerah Yogyakarta. Di sana mereka mendirikan kerajaan Kalingga, tapi beragama Budha,” ungkap Gus Dur pada saat itu.
Gus Dur menegaskan, bahwa faktor kawasan menjadi sangat penting dalam sejarah bangsa kita tidak ada kesatuan ideologis, melainkan begitu banyak pandangan-pandangan dan keyakinan-keyakinan berkembang, tidak pernah dicoba untuk menjadikannya panutan tunggal.
“Saat Nahdlatul Ulama berdiri, secara tidak terasa, para kiai yang tergabung dalam NU terbiasa dengan dialog antara ajaran Islam dan semangat kebangsaan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pembahasan-pembahasan itu pada akhirnya membuat NU yang senantiasa berpegang kepada ajaran-ajaran agama Islam, tidak pernah melupakan semangat kebangsaan itu. Karena itu, tidak heran jika Muktamar NU ke-9 di Banjarmasin (tahun 1935) kemudian memutuskan orang-orang santri tidak wajib mendirikan negara Islam,” tegas beliau.
“Kita melihat, bahwa antara ajaran Islam dan semangat kebangsaan tidak perlu dipertentangkan melainkan justru hidup berdampingan secara damai. Semoga untuk selanjutnya, semangat yang demikian itu dapat dikembangkan lebih jauh,” pungkas Gus Dur.
Mendengar pemaparan tersebut, salah seorang korban kekerasan 65 dari Indramayu yang saya dampingi sontak berkomentar. “Gus Dur memang luar biasa, kami para korban 65 selama ini merasa ketakutan dan tidak berani bersosialisasi dengan masyarakat, tetapi sejak beliau menjadi presiden, kami merasa terlindungi dan mendapat pengakuan sebagai warga negara Indonesia,” ucap seorang pria berumur 71 tahun yang pernah merasakan kerasnya hidup selama 21 tahun di pengasingan pulau Buru.
Mendengar komentar tersebut, saya hanya berucap “Bapak ceritanya nanti saja saat istirahat di kamar, sekarang kita dengarkan dulu tanya jawab yang seru antara peserta dan Gus Dur,” ucapan tersebut kemudian diiyakan olehnya.
Saat malam tiba dan kami beristirahat di kamar, sang korban kekerasan 65 yang meminta namanya dirahasiakan itu kembali bercerita soal kekagumannya pada sosok Gus Dur. “Beliau memang layak disebut bapak bangsa, karena memang beliau mengayomi semua golongan, tidak peduli latar belakang agama, kepercayaan, suku, bahasa dan rasnya, bahkan kami yang dicurigai sebagai anggota PKI sangat senang ketika beliau mengusulkan rekonsiliasi dan menutup luka lama dibandingkan terus menerus mencurigai kami,” tuturnya panjang lebar.
Dengan tekun saya terus mendengarkan ceritanya dan ia kembali mengisahkan, bahwa banyak korban salah tangkap pada tahun 1965 dan tidak semuanya terlibat dalam gerakan PKI. “Namun pada saat itu tidak ada proses persidangan, pokoknya orang-orang yang dicurigai langsung dibawa ke Kodim kemudian dibuang ke pulau Buru, anda lihat sendiri kehidupan mereka saat ini, mereka sholat dan menjalankan amaliyah NU dengan tahlilan dan lain sebagainya,” ucapnya dengan wajah sendu.
“Bagi saya Gus Dur itu orang hebat karena bisa melihat secara jernih persoalan yang terjadi, dengan adanya Gus Dur saya sendiri tidak dendam pada aparat maupun kepada pemerintah, saya malah hormat dan sangat bangga ketika beliau menjadi Presiden RI, sayang beliau diguncang sana sini, sehingga tidak lama menjadi presiden,” tambahnya.
Menurut kacamatanya, Gus Dur adalah sosok pembela kaum kecil (minoritas) dan tertindas sehingga orang-orang seperti dirinya merasa mendapatkan nafas baru serta bisa menjalani kehidupan dengan tenang, tanpa merasa ketakutan maupun kekhawatiran.
“Pas Gus Dur jadi presiden, saya seperti merasakan Indonesia baru merdeka, saya sangat senang luar biasa, saya tidak khawatir lagi, karena kalau ada apa-apa saya bisa lapor saja ke Gus Dur melalui anak muda NU seperti sampean, bahkan saya masih simpan tuh undangan dari Lakpesdam NU, pas ada orang Koramil yang datang ke rumah untuk melakukan pemantauan, saya tunjukkan surat itu dan dia terlihat senang karena saya sekarang dibimbing oleh NU,” ucapnya dengan senyum sumringah.
Di akhir ceritanya ia berharap muncul sosok-sosok lain yang bisa menjadi bapak bangsa seperti Gus Dur, mengayomi kaum minoritas dan mengutamakan keutuhan bangsa dibandingkan dengan menebar konflik maupun permusuhan.
“Semoga Gus Dur diberikan kesehatan dan umur panjang, pemikiran dan gerakannya banyak diikuti oleh anak bangsa dan Indonesia tetap jaya dengan mengedepankan persatuan dan kesatuan serta mengesampingkan segala perbedaan,” tutupnya sambil izin untuk mendahului tidur karena waktu sudah larut malam.
Kini Gus Dur telah tiada dan sang korban kekerasan 65 itu juga telah kembali menghadap sang pencipta, selamat jalan kakek perkasa….terima kasih kau telah berbagi cerita dan mengajarkan banyak hal untuk saya. Selamat jalan Gus Dur….terima kasih atas doa dan wejanganmu….Semoga kami dapat melanjutkan gagasan, pemikiran, cita-cita dan perjuanganmu.
Penulis adalah pewarta NU Online Jabar, tinggal di Indramayu