• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Kuluwung

Ziarahi Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Ansor Pangandaran Cerita Keberkahan Wali

Ziarahi Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Ansor Pangandaran Cerita Keberkahan Wali
Ansor Pangandaran Ziarah ke Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan
Ansor Pangandaran Ziarah ke Makam Syekh Abdul Muhyi Pamijahan

Oleh: Fahmi Muhammad
Beberapa waktu yang lalu saya dan sahabat-sahabat ansor berziarah ke makam waliyulloh Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, perjalanan ditempuh kurang lebih sekitar 3 jam dari Pangandaran melalui jalur selatan.

Sesampainya disana kami disambut dengan ratusan bahkan mungkin ribuan lapak dagangan yang berjejer hingga makam, dari mulai makanan hingga souvenir. Masyarakat daerah sana bahkan dari daerah lain banyak menggantungkan hidupnya dari berjualan disekitar makam. Barokah para wali memang tidak hanya dapat dirasakan ketika masih jumeneng, tapi wafatnya pun masih meninggalkan keberkahan, seperti halnya masyarakat Pamijahan yang kecipratan barokahnya Syeikh Abdul Muhyi.

Syekh Muhyi dikenal sebagai penyebar agama Islam di Sunda bagian selatan dan tokoh tarekat Sattariyah. Abdul Muhyi dilahirkan tahun 1650 di Mataram. Mataram di sini ada yang menyebut di Lombok, tetapi ada juga yang menyebut Kerajaan Mataram Islam. Ayahnya bernama Sembah Lebe Wartakusumah, bangsawan Sunda keturunan Raja Galuh Pajajaran yang saat itu bagian dari Kerajaan Mataram Jawa. lbunya bernama Raden Ajeng Tangan Ziah, keturunan bangsawan Mataram yang berjalur sampai ke Syaikh Ainui Yaqin (Sunan Giri l) seperti dilansir dari NU Online Jabar, (08/02).

Untuk bisa bermukim di Pamijahan Syeikh Abdul Muhyi menempuh perjalanan yang panjang dan berliku bahkan nyawa jadi taruhan, dikisahkan dahulu di daerah tersebut ada kelompok penyihir batara karang yang tidak senang dengan kehadiran Syeikh Abdul Muhyi dan kelompok penyihir tersebut ingin membunuh Syeikh Abdul Muhyi ketika beliau salat, namun usaha tersebut gagal karena setiap ingin mencabut pedang dari sarungnya, pedangnya selalu memanjang.

Kemudian Syekh Abdul Muhyi juga terlibat dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Muhyi masuk radar pencarian penjajah Belanda (majalah.tempo.co, (23/05/2020). Hingga pada waktu itu Belanda berusaha untuk menangkap Syeikh Abdul Muhyi untuk dipenjarakan, akan tetapi usaha Belanda untuk menangkap Syeikh Abdul Muhyi selalu gagal.

Bukan wali namanya kalau menyerah, perjuangan Syeikh Muhyi untuk bermukim dan menyebarkan agama islam didaerah tersebut terus berlanjut hingga akhirnya kita bisa melihat saat ini, daerah pamijahan menjadi daerah yang cukup sibuk. Secara ekonomi juga berkembang, Penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan dengan menjadi pedagang, pemandu ziarah, juru parkir, membuka penginapan bahkan hingga menjadi peminta minta atau pengemis. Rasanya di tempat ziarah manapun sangat lazim adanya peminta-minta.

Bagi saya momen ziarah tersebut menjadi momen refleksi diri, sejauh mana mentalitas kita diuji, apakah kita sudah memiliki mentalitas seperti wali yang selalu berjuang demi menegakan kebenaran, tidak pantang menyerah walau badai menghadang, kemudian memberikan kemanfaatan bagi sesama, atau justru malah sebaliknya? 

Penulis merupakan salah seorang Kader GP Ansor Kabupaten Pangandaran


Kuluwung Terbaru