• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Tokoh

Guru Mursyidi: Ulama Jakarta Timur yang Masyhur

Guru Mursyidi: Ulama Jakarta Timur yang Masyhur
Guru Mursyidi: Ulama Jakarta Timur Yang Masyhur
Guru Mursyidi: Ulama Jakarta Timur Yang Masyhur


Ulama Betawi pertama yang saya angkat di tulisan ini adalah ulama dari Jakarta Timur. Sebagaimana sang mentari terbit dari ufuk Timur. Serupa peran dan kiprah ulama yang keilmuannya menerangi kehidupan kita. 


Kearifan budaya lokal yang dipadu-padankan dengan metode pengajaran klasikal oleh para ulama betawi dapat dipahami sebagai gagasan serta nilai-nilai pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan serta bernilai baik tertanam dan mengakar di masyarakat Budaya lokal mengajarkan bentuk pendidikan Agama Islam kepada anak-cucu mereka. 


Jakarta Timur merupakan titik sentrum cikal-bakal lahirnya ulama-ulama Jakarta yang masyhur, baik secara kultural di dalam praktik pendidikan Islam tradisional yang merupakan aktualisasi pembelajaran pada nilai-nilai kearifan lokal menjadi kuat dan mengakar di dalam khasanah budaya tradisi betawi. Jakarta Timur, menunjukkan bahwa religiusitas, budaya, dan nilai agama Islam yang diamalkan oleh para tokoh-tokoh ulama merupakan suatu yang signifikan dalam upaya pencapaian ajaran-ajaran islam yang berpadu dengan kultur masyarakat betawi. 


Dengan pendekatan humanis yang lebih dikedepankan dan sikap dakwah yang dibawa oleh ulama-ulama betawi tersebut bersatu-padu dengan pemahamankeagamaan multikulturalisme yang dikembangkan oleh para pendakwah turut memperkuat persenyawaan antara budaya betawi dan pengajaran Agama Islam. 


Berbagai tokoh kemudian diingat oleh masyarakat karena peran Ulama betawi dalam menyebarkan ajaran Islam hingga ke segala elemen masyarakat. Pengaruh guru atau kiai tak mengenal pada batas geografis. Khusus pada bidang ilmu agama Islam di Indonesia pada masa-masa peperangan kala itu di Jakarta (Batavia), sehingga masyarakat umum terdidik dan  mengetahui bahwa di Nusantara ini memiliki caranya sendiri dalam menerapkan kebijakan pengajaran dan pembelajaran islam melalui pendekatan budaya. 


Penyebutan masyarakat betawi itu sendiri baru ada sejak abad ke-19 hal itu lantaran persoalan transliterasi Arab, penulisan Batavia menjadi "Ba-Ta-Wau-Ya". Namun segala sistem kebudayaan, kaidah serta nilai-nilai tradisi telah mempengaruhi kehidupan masyarakat betawi hingga kini. 


Para ulama tidak hanya menjaga wilayah kampungnya sendiri, karena pada kala itu sudah cukup disegani lantaran tingkah lakunya dan perangainya yang terpuji. Serta ghirah perjuangan ulama betawi mewarnai gejolak dalam menerapkan perbuatan amar maruf nahi mungkar (mengajak manusia ke jalan yang benar dan menjauhi kezaliman) dan mengusir pasukan Belanda dari bumi betawi (Jakarta) dengan kekuatan optimal dan garangnya pasukan BARA (Barisan Rakyat) yang dikomandoi langsung oleh para Muallim asli keturunan betawi yang juga piawai bertarung. Akhirnya belanda pun kocar-kacir dan angkat kaki. 


Selain rutin berlatih bela diri (silat), mengaji adalah sebuah keharusan bagi keluarga Kiai Mursyidi dan para muridnya di kawasan sekitar Jakarta Timur, itulah bekal utama untuk mengarungi kehidupan. Bersatunya air wudhu dan doa sangat penting dalam tradisi belajar ngaji. 


"Tiap utan ade macannye, tiap kampung ade maenannya” (Setiap hutan ada macannya, setiap kampung ada mainannya)." Generasi keturunan betawi dan pegiat budaya betawi mesti tidak akan 'gagal paham' pada istilah tadi, celetukan itu sangat melekat dalam pergaulan masyarakat betawi pada umumnya. 


Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya Guru (Muallim) atau Kiai Betawi yang namanya harum mewangi dan masyhur dam terkenal baik di Daerah Khusus Ibu Kota ini. Dalam tradisi betawi, "Anak betawi kudu tinggi sekolahnya dan juga pinter ngaji", nasihat bijak ini memang telah tumbuh subur di tanah Betawi sejak Jakarta masih bernama Jayakarta. 


Sosok Diri Guru Mursyidi dan Kiprahnya

Allah Swt. memberi anugerah kepadanya, KH Ahmad Mursyidi sangat mudah diterima berbagai kalangan dan kewibawaan dalam penampilannya juga menjadi teladan. Pola-pola pemahaman keagamaan yang dikembangkan melalui tradisi masyarakat betawi sampai dewasa kini masih memiliki tali persambungan dengan kultural dan metode tradisional ala Madrasah. 


Kiprah perguruan atau Madrasah yang telah mengakar demikian kuatnya dalam budaya tradisi di Indonesia. Telah memberikan banyak pengaruh yang signifikan bagi dunia pendidikan islam. Kondisi inilah yang menyebabkan penyebaran ajaran Islam melalui jalur Madrasah adalah "kunci" (Misbah) bagi peradaban pendidikan Agama Islam khas madrasah yang telah mendapat tempat khusus dan diterima oleh masyarakat Jakarta, khususnya wilayah Jakarta Timur. 


Sejak lama, madrasah dan tradisi budaya betawi hampir menjadi tonggak kemajuan serta wajib untuk dilakoni dan dipelajari oleh mayoritas masyarakat Betawi. Dengan berdirinya Perguruan atau Madrasah Raudhatul Athfal di Kampung Bulak, Klender, merupakan inisiatif beliau (KH Ahmad Mursyidi). 


Saat itu beliau masih berusia 21 tahun. Kiai Mursyidi muda sudah memiliki pemikiran yang sangat revolusioner dan memiliki visi-misi untuk membangkitkan semangat masyarakat setempat agar lebih tertarik untuk mendalami ilmu agama islam melalui pendidikan di madrasah. 


Tak hanya sampai disitu kiprahnya, Kiai Mursyidi juga berperan dalam panggung perpolitikan. Karena karir politiknya, pada kisaran tahun 1957, beliau dilantik menjadi anggota DPR hasil dari pemilu pada tahun 1955 menggantikan posisi KH. Ahmad Djunaidi. 


Kemudian pada tahun 1959, ia dilantik kembali untuk menjadi anggota DPR dalam rangka kembali ke UUD 1945, setelah Dekrit Presiden dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Pada tahun 1960, kembali ia beliau dilantik menjadi anggota DPR-GR. 


Dan pada tahun 1977, kembali menjadi anggota MPR dari fraksi PPP karena politik Orde Baru membuat partai NU melakukan fusi ke PPP yang terjadi pada tahun 1973. 


Kemudian di tahun 1978, ia dilantik kembali menjadi anggota DPA-RI menggantikan KH. Idham Cholid. Karena pada saat itu, KH. Idham Cholid diangkat menjadi Ketua DPA-RI. Pada tahun 1982, ia kembali menjadi anggota legislatif, anggota DPR/MPR RI dari daerah pemilihan DKI Jakarta. Pada tahun 1985, dipercaya untuk menjadi Ketua Umum MUI DKI Jakarta menggantikan KH. Abdullah Syafi`i. 


Kendatipun demikian, sejarah telah mencatat bahwa seorang Guru, Muallim, atau Kiai adalah penggenggam ilmu sekaligus menjadi tonggaknya ngelmu dakwah yang marhamah serta tumbuh kesadaran penuh untuk mendedikasikan pengetahuannya serta dirinya untuk kemaslahatan umat. Tidak semua tokoh politisi di masa-masa itu tetap mau melayani masyarakat. 


Dengan berbekal ilmu yang mumpuni, dari proses belajarnya bersama para muallim (guru) yang alim alamah. Kiai acapkali berperan untuk memimpin upacara keagamaan, ritual adat, hingga menjadi tempat rujukan dalam penyelesaian berbagai persoalan. 


Bahkan pada masa perang melawan dan mengusir Belanda dari tanah Jakarta atas peran cemerlang Kiai Mursyidi yang menjadi komandan perjuangan rakyat yang mempunyai kewenangan membentuk pemerintah di tingkat kecamatan atau kewedanan. 


Setelah selesai masa penjajahan, Kiai Mursyidi melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan dengan mendirikan Pendidikan Islam Al-Falah. Selain itu, Kiai Mursyidi juga aktif di organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal sebagai politisi ulung dengan menjadi anggota dewan terpilih berkali-kali. 


Kiai NU Asli Orang Betawi 

Islam di Indonesia, memadu padankan Islam modernis dan tradisionalis. Dalam lingkungan para santri terdapat perbedaan antara kaum modernis dan tradisionalis. 


Barangkali ini yang mencerminkan istilah Santri, pada era Abad 20 M atau dalam istilah modernisme Islam. Sebagaimana ungkapan "Kaum Sarungan" yang istilah "tradisionalisme Islam" dilekatkan kepada santri-santri NU (Nahdlatul Ulama). 


Pendekatan tradisional yang di pilih beliau dalam menyebarkan pengajaran Agama Islam merupakan bagian dari mengkombinasikan antara modernisme dan tradisionalisme dan menghasilkan sesuatu yang baru. 


Dari cerita yang saya dengar, di antara nama-nama "pejuang" yang kesohor pada masa itu, ada satu nama yang tak luput dari sejarah ulama betawi. Salah seorang ulama sekaligus pejuang dari bumi Betawi yang terkenal selain KH.Noer Ali di antaranya adalah KH. Achmad Mursyidi. 


Beliau berguru kepada Muallim Guru Marzuki dan Muallim Ghayar, sehingga kentara dan terhubungkan sanad keilmuan kepada Guru Marzuki (KH
Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani) dengan gelar Laqsana Malayang alias Guru Marzuki. Beliau memiliki peran penting dalam penyebaran dakwah Islam di tanah Betawi. 


Sang Guru, Muallim Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara pernah diminta untuk mendirikan NU (Nahdlatul Ulama) di Jakarta di tanah Betawi. Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara yang merupakan lulusan Makkah juga dijuluki sebagai "Gurunya Ulama Betawi." Salah seorang muridnya adalah, Kiai Mursyidi. (KH Ahmad Mursyidi) dan dikenal pula sebagai “Tiga Serangkai” yang ditakuti oleh pihak Belanda, mereka adalah (KH Darif, KH Hasbiyallah dan KH Ahmad Mursyidi.) 


Banyak murid-murid berdatangan dari wilayah Jakarta dan sekitarnya berguru kepada KH Ahmad Mursyidi. Kemahaguruan ini ditinjau pada aspek penyebutan ‘Guru’ atau yang mana secara status keulamaan Betawi ‘Guru’ merupakan level tertinggi setelah penyebutan ‘Mu’allim’ dan ‘Ustadz’. 


Melacak jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21 (2011), berdasarkan spesialisasi bidang keilmuan yang ditekuni. Setidaknya terdapat enam guru dari para ulama Betawi dari akhir pada abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20 yang disebut oleh Abdul Aziz dalam Islam dan Masyarakat Betawi (2002) sebagai enam pendekar atau The Six Teacher, yaitu Guru Mansur (Jembatan Lima), Guru Marzuki (Cipinang Muara), Guru Mughni (Kuningan), Guru Madjid (Pekojan), Guru Khalid (Gondangdia), dan Guru Mahmud Ramli (Menteng). 


Ketokohan dan peran para kiai mendorong terjadinya percampuran kebudayaan antara nilai-nilai kepesantrenan dengan akulturasi, sebuah proses di mana kelompok masyarakat tertentu, yang terjadi percampuran ketika orang-orang dari budaya yang berbeda bersentuhan secara konsisten selama periode waktu tertentu, dan karenanya menyebabkan perubahan pola budaya di salah satu atau kedua kelompok tersebut. 


Latar belakang belau yang pernah mengenyam pendidikan di pondok-pondok pesantren daerah Jawa Timur. Tentunya Percampuran ini menyangkut pada konsep mengenai proses sosial yang timbul jika sekelompok manusia (baca: santri). 


"Sesungguhnya engkau tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya" (Al-Qashash: 56). 


Untuk diketahui guru beliau yakni, Muallim Marzuki (KH Ahmad Marzuki bin Mirsod bin Hasnum bin Khatib Sa’ad bin Abdurrahman bin Sultan Ahmad al-Fathani) merasakan atmosfir kecerdasaan dari Mursyidi muda sewaktu mondok di Pondok Pesantren selama kurun waktu 4 tahun. 


Ahmad Mursyidi, lahir di Klender Jakarta Timur pada 15 November 1915. Ia lahir dari pasangan H. Maisin dan Hj. Fatimah. Pada 1926, ia masuk ke Sekolah Rakyat di daerah Pulo Gadung Jakarta Timur. Pada sore harinya, ia menempuh pendidikan agama kepada ustadz Abdul Qodir di Pondok Bambu. di bilangan Jakarta Timur. Pada 1930, ia berkesempatan untuk mengikuti tes masuk Noormal School, namun ia tidak mendapat izin dari KH. Maisin yang menginginkan Ahmad Mursyidi menjadi seorang ulama. 


Atas keinginan orang tuanya itu, Ahmad Mursyidi belajar agama dan bermukim di pesantren guru Marzuki, di Kampung Muara Cipinang Lontar Jakarta Timur. Disitu ia menetap (mondok) selama 4 tahun. Ketika Guru Marzuki meninggal dunia, ia pindah ke pesantren Ajengan Toha di Plered Purwakarta. Di pesantren tersebut ia memperdalam ilmu tauhid, fiqih, hadist, tafsir, nahwu shorof, balaghah, dan ilmu logika. Ia kemudian melanjutkan belajarnya kepada KH Ahmad Thahir Jam’an di Cipinang Muara dan Muallim H. Gayar Klender yang kemudian menjadi mertuanya. 


Di masa hidupnya, Kiai Mursyidi dikenal sebagai seorang ulama yang dermawan, tawadhu’, dan menghormati para ulama dan habaib. Beliau juga dikenal sebagai seorang pejuang, da’i dan pendidik yang sangat mencintai ilmu dan peduli pada pemberdayaan masyarakat. Beliau (KH Ahmad Mursyidi) berpulang ke rahmatullah pada 08 April 2003 dan dimakamkan di samping masjid Nurul Islam, Jl. KH Maisin Kampung Bulak Klender, Jakarta Timur. Hingga kini makam beliau masih di ziarahi oleh para jamaah dan murid-muridnya yang tersebar se-DKI Jakarta dan sekitar bahkan juga para santri dari berbagai pondok pesantren di Indonesia, khususnya pulau Jawa. 


Abdul Majid Ramdhani, salah seorang kontributor dari Cirebon, juga alumni santri Ponpes Al-Hamidiyah Depok
 


Tokoh Terbaru