• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 18 April 2024

Opini

Uzlah di Zaman Modern Perspektif Syekh Ali Al-Jumu’ah

Uzlah di Zaman Modern Perspektif Syekh Ali Al-Jumu’ah
Uzlah di Zaman Modern Perspektif Syekh Ali Al-Jumu’ah (Foto: NU Online)
Uzlah di Zaman Modern Perspektif Syekh Ali Al-Jumu’ah (Foto: NU Online)

Oleh Mohammad Ridwan
Tasawuf dalam kehidupan saat ini bagaikan sebuah lokomotif untuk menyebarkan nilai-nilai positif yang terpancar dalam setiap ajarannya. Kebersihan jiwa, ketentraman hati, dan kebaikan akhlak menjadi tema besar yang dihadirkan tasawuf dalam kehidupan setiap individu manusia. Ia menyatu, membimbing, dan mengarahkan manusia dalam segala aspek kehidupannya. Baik ketika bermunajat kepada Allah sang Khalik dan ketika bermuamalah dengan sesama manusia. 


Salah satu ajaran tasawuf yang mengajarkan diri untuk membersihkan hati, pikiran dan perbuatan untuk tidak melakukan hal yang tidak ada manfaatnya adalah ‘uzlah. Dalam ketersendiriannya, ia mentafakuri segala apa yang dia alami dan rasakan. Kesepiaannya dari hiruk pikuk manusia yang lainnya menjadikan hati dan pikirannya jernih dan menyejukkan, seperti sumber air yang bersumber di pegunungan. Namun di saat seperti ini, mungkinkah kita asyik-masyuk menikmati kesendirian itu? Menghindari manusia yang lainnya dan mengasingkan diri di tempat sunyi, tanpa kehadiran siapapun. 


Syekh Ali al-Jumu’ah seorang ulama besar Mesir mengatakan bahwa ketersendirian bisa dilakukan saat keramaian.


خلوتهم في جلوتهم


 “ketersendiriaanya dalam keramaiannya” begitulah perkataan para sufi yang dinukil oleh Syekh Ali. Artinya, saat hendak melakukan uzlah, menyepikan diri dari hiruk pikuk kehidupan tanpa harus mengurung diri dalam rumah dan asing dengan segala aspek yang ada di lingkungannya. Tapi uzlah bisa dilakukan sembari mengerjakan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Guru sambil mengajar. Petani sambil menggaarap sawah. Pedagang sambil bertransaksi. Satpam sambil menjaga tempat. Dan banyak lagi pekerjaan yang bisa dilakukan dengan tetap menghadirkan dan menenggelamkan diri dalam uzlah.


Loh kok bisa, bukankah uzlah berarti menyendiri, mengasingkan diri di tempat yang sepi?


Maka Syekh Ali menjawab dengan menukil pendapat para ahli sufi tersebut:


بقلبك، تعتزل بقلبك، درب قلبك على هذه العزلة، التي لا تغتاب فيها، ولا تَنِمْ، ولا تتكبر، ولا تدخل في مهاترات الناس، وأنت لست طرفًا فيها ، قلل من تبعاتك مع الخلق، وتفكر. هذه هى العزلة.


“Dengan hatimu! Ya,  beruzlahlah dengan hatimu. Latihlah hatimu untuk melakukan uzlah seperti ini. Yang dalam uzlah tersebut, engkau tidak boleh mengumpat/membicarakan orang lain, tidak boleh merasa tinggi dibanding orang lain, tidak boleh merasa sombong dan tidak boleh masuk dalam polemik-polemik yang terjadi pada orang lain, sedangkan engkau bukanlah bagian dari mereka. Maka sedikitkanlah untuk mengikuti orang lain, dan berfikirlah. Inilah yang dinamakan uzlah”


Maka, jika kita lihat dalam postulat yang dirumuskan oleh Syekh Ali tersebut,  uzlah yang dimaksud artinya uzlah perasaan. Uzlah hati. Uzlah ruh. Seseorang bergaul, bermuamalah layaknya orang seperti biasa, namun hatinya tetap menjaga perasaan, perkataan dan perbuatan supaya tetap dalam bingkai ketakwaan kepada Allah SWT. ketika hal tersebut dilakukan, maka yang akan timbul dari itu semua adalah ketenangan, ketentraman, dan tidak mencampuri kemaksiatan.  Dengan ketenangan diri dan kejernihan jiwa inilah, kita bisa mengambil ruang untuk bertafakur, memikirkan kekuasaan Allah SWT. 


 العزلة هنا معناها: إتاحة مساحة أكثر للتفكر.


“dalam hal ini, Uzalah artinya memberikan ruang lebih banyak untuk melakukan tafakkur”


Sayyidina Umar bin Khattab mengatakan:


«إِنَّ فِي الْعُزْلَةِ رَاحَةً مِنْ خِلَاطِ السُّوءِ»


“Sesungguhnya dalam uzlah terdapat peristirahatan dari segala kejelekan”


Jika dia seorang pedagang, kejujuran adalah uzlahnya. Tidak terlintas dalam pikirannya untuk melakukan kecurangan dalam rangka mengambil keuntungan yang tidak dibenarkan. Jika dia seorang guru, dedikasi, loyalitas dan cinta kasih kepada murid menjadi nomor satu. Jika dia petani, setiap taburan benih yang disebarkan, menjadi ladang kebaikan yang disemaikan. Jika dia penulis, setiap kata, kalimat dan karya yang dia sebarkan tidak terlepas dari motivasi untuk menyebarkan ilmu yang Allah SWT. berikan kepadanya. 


Seorang sufi yang memperhatikan dzikir dan pikir dalam kehidupannya, akan memperhatikan pula bagaimana cara membersihkan dan menghiasi diri. Membersihkan hati dari setiap keburukan dan menghiasinya dengan setiap kebaikan. Sehingga dia betul-betul bisa menjadi seorang zahid. Seorang yang ahli zuhud. Karena ahli zuhud yang hakiki adalah mereka yang tidak menancapkan kecintaannya kepada dunia dalam hatinya. Tindak tanduk, tingkah laku, pikiran dan perbuatannya, tidak berorientasi kepada dunia. Dunia dia genggam, tapi tidak sampai masuk ke dalam hati. Diantara doa orang sufi yang sering dilanutunkan adalah: 


" اللهم اجعل الدنيا في أيدينا، ولا تجعلها في قلوبنا"


“Ya Allah, jadikanlah dunia di tanganku. Dan jangan jadikannya di dalam hati ku ”


Maka, apapaun profesi kita, status kita, yang dipandang oleh Allah SWT. adalah hatinya. Kebersamaan dengan Allah SWT. dapat dilakukan dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun. Karena kebersamaan itu ada dalam hati. Merasa Allah SWT dekat, melihat, dan mendengar apa yang kita ucapkan dan lakukan, menjadi pintu masuk untuk merasakan kenikmatan yang hakiki.


Penulis adalah Ketua LDNU Kecamatan Cibeureum Kota Tasikmalaya 


Opini Terbaru