• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 21 Mei 2024

Opini

Korupsi di Tengah Pandemi: Pemerintah Tak Dengar Alarm dari NU

Korupsi di Tengah Pandemi: Pemerintah Tak Dengar Alarm dari NU
Ilustrasi korupsi (Foto: economictimes.indiatimes.com)
Ilustrasi korupsi (Foto: economictimes.indiatimes.com)

Oleh Muh.Fajar Siddiq

Ditetapkannya status tersangka kepada Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Edhy Prabowo oleh KPK pada 26 November 2020 menjadi pukulan telak bagi Pemerintah, terlebih khusus bagi Presiden Jokowi. Di tengah hantaman pandemi Covid-19 yang sedang menimpa masyarakat, Presiden harus menelan ‘pil pahit’ dimana salah satu menteri-nya terjerat dalam kasus dugaan suap proyek ekspor ‘Benur’ (benih lobster).

Wacana kebijakan ekspor ‘benur’ oleh KKP (Kementrian Kelautan & Perikanan) kembali dicuatkan Edhy Prabowo setelah Presiden Jokowi menunjuknya menjadi menteri, padahal di-era sebelumnya, Susi Pudjiastuti (Menteri KKP 2014-2019) melarang keras kegiatan ekspor ‘benur’ lewat Peraturan Menteri (Permen No.56 Tahun 2016, tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari wilayah Indonesia.

Pada Februari 2020, dengan nada percaya diri Edhy Prabowo menjelaskan revisi Permen No.56 Tahun 2016 menjadi Permen No.12 Tahun 2020 tinggal direstui Presiden. Menurutnya banyak pelaku usaha ‘benur’ merugi karena Permen tersebut dengan adanya revisi ia mengklaim akan membuka keran kesejahteraan lebih banyak lagi bagi nelayan bukan hanya untuk pengusahanya saja.

Jika dalam Permen No.56 Tahun 2016 secara nomenklatur dengan tegas ‘melarang’ sedangkan hasil revisi (Permen No.12 Tahun 2020) berubah menjadi ‘pengelolaan’. Tak hanya itu, pasal larangan penjualan ‘benur’ pun dihapus.

Melirik kutipan dari Antara, (17/72019), Menurut Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Dr.Ir. Rina, M.Si. menyatakan, secara total dari 2015 hingga Juni 2019, pemerintah menggagalkan sebanyak 263 kasus penyelundupan benih lobster. Jumlah benih lobster yang diselamatkan yaitu 9.825.677 ekor atau diperkirakan sekitar Rp 1,37 triliun.

Data di atas jelas menimbulkan kekhawatiran. Lewat ‘Permen’ larangan yang tegas saja kasus penyeludupan masih masif, bagaimana nanti dengan ‘Permen’ baru yang menghapus larangan dan hukuman yang bisa mengancam kepunahan benih lobster di masa depan.

Revisi Permen tersebut menjadi pemicu munculnya gelombang protes dan kritik dari kalangan masyarakat ke Pemerintah dan Presiden Jokowi, termasuk PBNU lewat Lembaga ‘Batshul Masail’ (LBM) yang mengeluarkan kajian tentang Kebijakan Ekspor Benih Lobster sebagai bentuk kritik sekaligus penolakan.
 
Peringatan dari NU
Pada 4 Agustus 2020 Lembaga ‘Batshul Masail’ (LBM) PBNU mengeluarkan hasil kajian No. 06 Tahun 2020 tentang ‘Kebijakan Ekspor Benih Lobster’ sebagai bentuk kritik, protes, sekaligus penolakan terhadap kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kelautan Perikanan (KKP).

Latar belakang kajian LBM PBNU No.06/2020 secara umum adalah kekhawatiran akan punahnya salah satu biota laut Lobster dan bila kebijakan ekspor benihnya dilakukan secara masif juga akan merusak ekosistem laut itu sendiri yang akan berdampak bagi pedapatan Nelayan dan lebih buruknya generasi kedepan tidak akan bisa melihat dan menikmati Lobster lagi. 

Bahkan secara nyata bertentangan dengan kebijakan pemerintah sendiri tentang ‘Sustainable Development’ (Pembangunan Berkelanjutan), yang salah satunya adalah melestarikan dan menggunakan samudera, lautan serta sumber daya laut secara berkelanjutan.

Jauh lebih dalam, salah satu hasil bahasan LBM PBNU adalah memperingatkan agar Pemerintah harus memastikan, pembukaan iklim usaha pembudidayaan lobster ini tidak hanya membesarkan pelaku usaha besar dan menempatkan nelayan kecil sekadar sebagai penangkap benih, sehingga terus menerus menjadi nelayan kecil. 

Berbagai problem budi daya lobster, termasuk rendahnya harga panen lobster dibanding biaya budi daya, harus dibantu diselesaikan pemerintah, dengan berbagai langkah afirmasi dan fasilitasi, seperti dukungan pembiayaan, pelatihan, pendampingan, dan sebagainya. Dengan demikian, nelayan kecil penangkap benih juga terbuka peluang untuk tumbuh besar menjadi pengusaha budi daya dan eksportir lobster dewasa.

LBM PBNU kemudian menyimpulkan bahwa ekspor Benih Bening Lobster (BBL) harus dihentikan. Pemerintah harus memprioritaskan pembudidayaan lobster di dalam negeri. Ekspor hanya diberlakukan pada lobster dewasa, Bukan benih. Menteri Kelautan dan Perikanan harus memprioritaskan pengelolaan Benih Bening lobster (BBL) di dalam negeri, bukan mengekspor ke luar negeri, dan menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Selang 4 bulan setelah dikeluarkannya kajian, kekhawatiran LBM PBNU pun terjadi. Publik dikejutkan oleh penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo atas dugaan suap yang telah menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Pemerintah dan juga Presiden seharusnya bisa benar-benar mempertimbangkan kritikan, saran, dan masukan dari banyak pihak ketika memutuskan kebijkan-kebijakan berkaitan dengan Alam dan hajat makhluk hidup agar meminimalisir kelalaian-kelalaian yang akan menimbulkan kerusakan fisik, mental, dan moral.

Semoga peristiwa ini menjadi pelajaran bagi pemerintah ke depan, apalagi terdekat ada gelaran Pilkada Serentak 2020 yang patut diawasi dengan ketat, bukan hanya tentang pencegahan penularan Covid-19 dengan ketatnya protokol kesehatan tapi juga pencegahan tindak Korupsi dan Politik Uang dengan ketatnya moral dan integritas.

Penulis adalal alumnus Jurusan Sejarah Universitas Padjajaran (Unpad)
 


Opini Terbaru