• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Ngalogat

KOLOM TEH NENG

Potret Kerukunan Beragama di Kenya

Potret Kerukunan Beragama di Kenya
Petugas pemerintah di wilayah Kifili South, Kenya, turun langsung ke lapangan untuk memberikan pelayanan administrasi kependudukan gratis kepada warga miskin. (Dok. Istimewa)
Petugas pemerintah di wilayah Kifili South, Kenya, turun langsung ke lapangan untuk memberikan pelayanan administrasi kependudukan gratis kepada warga miskin. (Dok. Istimewa)

Oleh Neneng Yanti K Lahpan


Catatan Redaksi: Pengurus Bidang Litbang PW Fatayat NU Jabar yang juga Manajer Program JISRA, Neneng Yanti K Lahpan, pada 3-10 September 2022 melakukan kujungan ke Kenya. Neneng akan membagikan cerita perjalannya kepada pembaca jabar.nu.or.id dan jejaringnya dalam empat tulisan.


Tulisan ini merupakan refleksi perjalanan saya selama mengunjungi benua Afrika, untuk memenuhi undangan Annual Reflections Meeting Program JISRA (Joint Initiatives for Strategic Religious Action), sebuah program yang mempromosikan hubungan harmoni antar-agama, yang dikelola oleh gabungan konsorsium global, salah satunya Faith to Action Network, yang berbasis di Nairobi, Kenya. Ada banyak cerita menarik tentang Afrika yang jauh dari pengetahuan kita selama ini. Mungkin karena Afrika luput dari minat dan perhatian kita. Salah satunya adalah soal pengalaman mereka dalam upaya membangun kerukunan beragama. Tulisan ini merupakan rangkaian dari beberapa catatan yang akan saya tulis tentang kehidupan beragama di Afrika. Harapannya, selalu ada pelajaran yang bisa kita petik dari setiap kisah yang diceritakan.


Di beberapa negara Afrika, seperti Kenya, Uganda, dan Etiopia, Kristen merupakan agama mayoritas, disusul kemudian oleh Islam dan agama lainnya. Hubungan mayoritas-minoritas kerap menjadi tantangan di banyak tempat, termasuk di Afrika. Namun demikian, berbagai upaya dialog lintas iman terus dilakukan untuk membangun kesepahaman yang lebih baik. Salah satunya, cerita menarik dari organisasi aktivis lintas iman di Kenya, bernama Kenya Youth Muslim Alliance (KYMA). 


Sejarah persinggungan Islam dan Kristen yang kemudian membentuk relasi keagamaan di Kenya memberikan sebuah gambaran yang menarik mengenai situasi keagamaan mereka hari ini. Di Kenya, mayoritas agama yang dianut penduduknya adalah Kristen sebanyak 85,5%, lalu disusul Islam sekitar 11% dan sisanya adalah agama lain seperti Hindu, Shik, Baha’i dan kepercayaan tradisional. Hampir sama dengan proses masuknya Islam di Indonesia, Islam memasuki Kenya melalui jalur pendagangan sehingga wilayah-wilayah pantai banyak menjadi tempat berkembangnya Islam. Meski memasuki Kenya lebih awal, namun tidak ada misi keagamaan khusus dari para pedagang Muslim tersebut. Hal itu berbeda dengan agama Kristen yang menjadi bagian dari misi keagamaan dari kaum kolonial yang datang ke negara itu, sehingga agama Kristen disebarkan dan diajarkan secara resmi melalui sekolah-sekolah yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Singkatnya, melalui proses misionari tersebut Kristen menjadi agama mayoritas. Relasi mayoritas-minoritas hampir punya karakteristik yangg mirip di banyak tempat, suara minoritas seringkali terbungkam dan kurang mendapatkan ruang. Penduduk Muslim di Kenya kerap mengalami diskriminasi disebabkan stigma terorisme di negara itu terutama sejak terjadinya peristiwa pengeboman keduataan Amerika di Nairobi pada tahun 1998. Hal itu berdampak pada berbagai ketimpangan sosial, seperti sulitnya warga Muslim di wilayah tertentu mengakses administrasi kependudukan, kemiskinan, dan lain-lain.


Melalui program JISRA, teman-teman di Kenya mencoba membangun ruang bersama, agar minoritas punya suara yang sama. Mereka juga melakukan advokasi dan pendampingan bagi warga Muslim di Kenya agar dapat mengakses pendidikan dan administrasi pemerintah lainnya, seperti pembuatan KTP, akte kelahiran, dan lain-lain. Beberapa contoh aksi lain yang menarik dalam rangka membangun kerukunan beragama itu di antaranya, bagaimana kaum Kristen menyediakan dan mengundang teman-teman Muslim untuk berbuka puasa di rumah mereka, orang Kristen yang kaya membiayai/mensponsori teman-teman Muslim untuk pergi haji, pelaksanaan vaksin covid di mesjid untuk semua agama, dan masih banyak lagi. Sikap terbuka untuk berdialog dengan orang yang berbeda dengan kita, selalu memberi ruang bagi pemahaman yang lebih baik, saling memahami, saling belajar, dan bekerja sama untuk membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik, yang jauh dari prasangka. 


Ada banyak sikap, peristiwa, pandangan dalam keseharian kita atas sesuatu yang hanya berdasarkan prasangka tanpa ada kemauan untuk mengetahui apa dan bagaimana suara dari pihak lain. Pada banyak situasi, khususnya dalam beragama, kita sering hanya ingin melihat kebenaran dari sisi kita sendiri, atau hanya ingin mengetahui sudut pandang kebenaran yang sama dengan versi kita. Inilah yang disebut pandangan eksklusif dalam beragama. 
 


Penulis adalah Manajer Program JISRA PW Fatayat NU Jawa Barat dan Dosen Antropologi ISBI Bandung.


 


Editor:

Ngalogat Terbaru