Oleh Nasihin
Entah, jika rindu itu tak berwarna biru, aku tak akan menulis kisah ini. Bukan karna laut dan langit mengingatkanku tentang mu.
Seperti ujung kerudungmu jatuh di antara pasir dan rindu.
Biru, seperti sajak-sajakmu, aku berlayar di lautan antara sampan dan geladak. Mengarungi deretan pesisir selat kehidupan. Terkadang seperti pasang dan surutnya waktu.
Kau bertanya tentang ejaan huruf-huruf yang menjadi kata, dirangkai menjadi kalimat dan paragraf yang menjadi bisu.
Pulau penantian, kau berkata "Wahai ombak yang mengantar camar ke tepian pena, mengapa sajak-sajakku tak indah seperti dulu?", tak ada jawaban, kecuali ombak yang tak pernah berbicara, karena rindu tak berbatas waktu.
Dia, menulis paragraf terakhir ketika angin menuju timur. Laut pasang, warna biru langit memudar dan berganti. Entah perasaan seperti apa yang dia kenang, tak pernah terjawab dan tak perlu jawaban.
Catatan itu kau titipkan pada laut dan angin. Ada rasa yang tak tersampaikan saat berpisah, seperti rindu di ujung perahu. Sunyi...
Dia bernama kerinduan, menulis nama dan kisah hidupnya seperti tepian roman, roman yang tak berbingkai, tanpa motif bunga dan hiasan. Jika bukan karna itu, aku tak akan membaca sajak-sajak tentangmu. Seperti wajahmu yang merona di kala warna tak lagi biru.
Penulis adalah Pengurus Lesbumi Kabupaten Bandung dan Penikmat Sastra
Terpopuler
1
Ranting NU Margajaya Gelar Lailatul Ijtima, Perkuat Khidmat Kader NU Kota Bogor
2
Pesantren Ketitang Cirebon Jadi Teladan Kemandirian, Kemenag Beri Apresiasi
3
Model MANIS, Jawaban atas Tantangan Pendidikan Karakter Masa Kini
4
Ketua MWCNU Cinere Tutup Raker PRNU Pangkalan Jati: NU Harus Hadir di Tengah Masyarakat
5
Studio Podcast Jadi Magnet Dakwah dan Ekonomi, Pesantren Ketitang Cirebon Tunjukkan Lompatan Digital
6
Milad ke-14 Yayasan Mabdaul ‘Uluum Tsaani: Spirit Kebersamaan dan Peran Strategis Alumni Diteguhkan
Terkini
Lihat Semua