Ibu Lebih Berhak Atas Hak Asuh Anak Pasca Perceraian, Begini Penjelasan Ulama dan Aturannya
Senin, 11 Agustus 2025 | 15:00 WIB
Perceraian kerap menjadi jalan terakhir ketika pernikahan tak lagi dapat dipertahankan. Namun, berakhirnya ikatan suami istri tidak otomatis menghapus tanggung jawab sebagai orang tua. Salah satu isu yang kerap menjadi perdebatan adalah ketentuan hak asuh anak atau hadhanah.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, siapa yang paling berhak mengasuh anak setelah perceraian, apakah ibu atau ayah?
Dalam Kitab Fathul Qarib dijelaskan,
وهي لغة مأخوذة من الحضن بكسر الحاء، وهو الجنب لضم الحاضنة الطفل إليه، وشرعا حفظ من لا يستقل بأمر نفسه عما يؤذيه لعدم تمييزه
Artinya: "Hadhanah secara bahasa merupakan derivasi dari kata al-hidhnu dengan ha' dibaca kasrah yang berarti lambung. Dinamakan demikian lantaran perempuan yang mengasuh mendekap anak kecil mendekati lambungnya. Secara terminologi syariat, hadhanah adalah melindungi orang yang masih belum mandiri dari segala hal yang dapat menyakitinya disebabkan karena ia belum tamyiz." (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, [Indonesia: Darul Kitab al-Islami, t.th.] hal. 49)
Dari definisi ini, hadhanah diartikan sebagai hak dan tanggung jawab untuk mengasuh, merawat, dan mendidik anak yang belum mampu mengurus dirinya sendiri. Objek hadhanah adalah anak kecil yang belum mumayyiz atau orang berkebutuhan khusus yang tidak mampu mengurus diri sendiri. Selain perawatan, anak juga memerlukan kasih sayang dalam masa pertumbuhannya agar terbentuk mental dan kepribadian yang baik.
Anak yang belum mumayyiz masih rentan secara fisik dan mental sehingga memerlukan sosok yang mampu memberikan perawatan dan pendidikan terbaik. Karena itu, hak hadhanah hanya berlaku sampai anak mencapai usia tamyiz. Setelah itu, anak diberikan kebebasan memilih tinggal bersama ibu atau ayah.
Ulama sepakat bahwa perempuan lebih berhak mendapatkan hak asuh anak dibanding laki-laki. Selain memiliki kasih sayang yang lebih besar, ibu juga lebih sabar dan peka dalam mengurus anak.
Persoalan hak asuh anak juga pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Dalam hadis riwayat Abu Dawud dari Sahabat Abdullah bin Umar disebutkan,
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
Artinya: "Sesungguhnya seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya anakku ini perutku adalah tempatnya, payudaraku adalah wadah minumnya, dan kamarku adalah rumahnya. Sementara itu, ayahnya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku. Rasulullah saw bersabda kepada wanita itu: 'Kamu lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum menikah (lagi)." (HR. Abu Dawud.)
Berdasarkan hadis ini, ulama menyimpulkan bahwa ibu adalah pihak yang paling berhak mengasuh anak pasca perceraian, terutama karena kebutuhan anak terhadap ASI dan kasih sayang ibu.
Dalam Kitab Al-Fiqhul Manhaji disebutkan alasan ibu lebih diutamakan,
إن الأم أحق بالحضانة من الأب، للأسباب التالية: (١) لوفور شفقتها، وصبرها على أعباء الرعاية والتربية. (٢) لأنها ألين بحضانة الأطفال، ورعايتهم، وأقدر على بذل ما يحتاجون إليه من العاطفة والحنو
Artinya: "Sesungguhnya, ibu lebih berhak daripada bapak dalam urusan hak asuh karena beberapa faktor berikut: [1] Karena sempurnanya rasa kasih sayang seorang ibu dan kesabarannya dalam menghadapi ujian ketika memberikan perawatan dan pendidikan. [2] Karena ibu lebih lemah lembut ketika mengasuh dan merawat anak kecil, serta lebih proporsional untuk memberikan rasa sayang kepada mereka." (Musthafa Khin, dkk, Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus: Darul Qalam, 1992], juz IV, hal. 192)
Meski demikian, hak ini tidak berlaku mutlak. Dalam Kitab Matn Taqrib disebutkan syarat-syarat pengasuh,
وشرائط الحضانة سبع العقل والحرية والدين والعفة والأمانة والإقامة والخلو من زوج فإن اختل منها شرط سقطت
Artinya: "Syarat-syarat Hadhanah ada tujuh; berakal, merdeka, beragama Islam, terjaga dari dosa besar, amanah, menetap/mukim, tidak memiliki suami (dari laki-laki yang bukan kerabat dekat anak). Jika salah satu dari syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka hak asuhnya gugur." (Abi Syuja', Al-Taqrib, [Indonesia: Darul Kitab al-Islami, t.th.] hal. 49).
Dalam hukum positif Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 mengatur bahwa hak asuh anak yang belum tamyiz atau belum berusia 12 tahun berada di tangan ibu. Jika anak sudah tamyiz, ia berhak memilih bersama siapa ia tinggal.
Kesimpulannya, selama anak belum mencapai usia tamyiz, hak asuh berada di tangan ibu, dengan pertimbangan kebutuhan kasih sayang dan sifat kelembutan yang lebih dominan pada sosok ibu dibanding ayah.
Tulisan ini dikutip dari artikel Muhammad Zainul Mujahid, sebagaimana dimuat di NU Online.