Mengenal Penyair Gusjur Mahesa: Lawan Korupsi dengan Puisi
Kamis, 21 November 2024 | 07:00 WIB
Perilaku korupsi seakan tak pernah habis-habisnya menghiasi wajah negeri ini. Satu kasus belum selesai ditangani, muncul lagi kasus korupsi baru.
Dari kalangan atas hingga kalangan bawah, seolah berlomba menggerogoti bangsa ini dengan perilaku tak terpuji, yakni korupsi. Begitu kuat dan mengakarnya, sehingga tak punya lagi rasa malu untuk berbuat korupsi.
Di tengah gencarnya perlawanan memerangi korupsi, rasa optimisme hendaknya teruslah dijaga dalam ihtiar melawan dan mencegah perilaku korupsi di segala tingkatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Nah, dari berbagai cara untuk memerangi korupsi itu, bagi penyair Gusjur Mahesa melawan korupsi dapat dilakukan melalui puisi.
Puisi-puisinya yang bertema melawan korupsi itu lahir dari realitas yang dijumpainya sehari-hari. Sebagai sebuah media ekspresi ungkapan pikiran dan perasaan, puisi-puisinya juga mengolok-olok praktik korupsi yang terjadi di semua lini kehidupan, bahkan tindakan korupsi atas nama Tuhan.
“Melalui kumpulan puisi bertema lawan korupsi ini, saya ingin menyampaikan bahwa praktik korupsi itu terjadi nyata di hadapan kita,” ujar Gusjur Mahesa, Jumat (15/11/2024).
Puisi-puisinya itu juga merupakan ekspresi kemarahannya terhadap perilaku penyelewengan uang negara yang semakin marak hingga ke tingkat yang paing kecil. Selain itu, puisi-puisi yang dibuatnya itu diharapkan menjadi refleksi perenungan.
“Penyebab korupsi bisa bermacam-macam. Namun realitasnya, korupsi telah marak terjadi dari mulai hal-hal yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks. Saban waktu, bahkan setiap bulan banyak pejabat negara yang tertangkap karena diduga melakukan tindakan korupsi,” tutur penyair asal Nganjuk, Jawa Timur ini.
Menurut Gusjur Mahesa, yang juga dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Siliwangi Cimahi, banyak hal yang menjadi penyebab perilaku korupsi itu seperti ketamakan atau rakus, faktor lingkungan, gaya hidup, sikap masyarakat terhadap korupsi, dan lainnya.
Seringkali, masyarakat tak menyadari bahwa yang paling rugi atau korban utama ketika adanya korupsi adalah mereka sendiri.
“Pada nilai-nilai masyarakat yang cenderung permisif terhadap korupsi, menyebabkan perilaku korupsi makin tumbuh. Selain itu, masyarakat juga kurang menyadari kalau mereka sedang terlibat korupsi,” ungkapnya.
Menurutnya, korupsi bisa dicegah dan diberantas bila kita semua ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi tersebut. Diperlukan adanya sosialisasi dan edukasi terus-menerus kepada masyarakat tentang kesadaran dalam mencegah terjadinya korupsi.
“Saya melakukan gerakan perlawanan terhadap perilaku korupsi ini melalui puisi,” ucapnya.
Memiliki nama asli Agus Priyanto, penyair kelahiran 1 Agustus 1966 ini menyelesaikan kuliahnya dari IKIP Bandung (kini UPI Bandung) tahun 1993, lalu S-2 di STSI Bandung (kini ISBI Bandung) tahun 2013. Aktif di dunia teater, menjadi aktor, penulis naskah dan sutradara.
Pentas di berbagai daerah dan negara bersama sejumlah komunitas teater, di antaranya Bengkel Teater Rendra, Komuntas Celah Celah Langit, AUL Bandung, serta Teater Tarian Mahesa (TTM). Kini bermukim di Cibaligo, Desa Cihanjuang, Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Selain menulis puisi, artikel-artikelnya juga tersebar di berbagai media massa.
“Nama Gusjur merupakan pemberian sastrawan Sunda Godi Suwarna, sedangkan nama Mahesa pemberian dari mendiang WS Rendra,” kata penyair jeprut ini.
Perlawanannya terhadap praktik korupsi di tanah air, dituangkan dalam dua buku antologi puisinya. Pertama dalam buku “Mending Gelo Daripada Korupsi” terbit tahun 2016, dan kedua, buku “Mending Edan Daripada Kebagian Korupsi” terbit 2020.
Dua buku antologi itu memuat ratusan puisi, selain tema perlawanan terhadap korupsi, juga berisi tema lainnya terkait realitas kehidupan sosial sehari-hari.
Berbagai gaya ungkap puisi-puisinya itu, dimulai dari narasi, memainkan tempo dan rima, lalu seringkali ada ungkapan kejutan tak terduga, termasuk medium ungkap dalam bahasa Indonesia dan Sunda.
Menurutnya, korupsi merupakan sebuah tindakan yang sangat merugikan negara seperti lambatnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya kemiskinan, serta menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat.
Dampak buruk korupsi sangat besar dirasakan oleh masyarakat di berbagai sektor kehidupan. Karenanya, dia berkampanye lawan dan cegah korupsi dengan berkeliling ke ratusan instansi pemerintah, seperti kantor desa/kelurahan, kecamatan, dinas-dinas, Polsek dan Koramil, serta lainnya.
“Instansi itu tersebar mulai dari kawasan Bandung Raya, hingga ke Cianjur, Subang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis,” ucap Gusjur Mahesa. Responnya, sepakat untuk terus ihtiar mencegah perilaku korupsi.
Ungkapan keprihatinannya terhadap praktik korupsi, salah satunya dituangkan dalam puisi “Curhat Koruptor”, nukilannya:
Yang mulia, maafkan kami, eh saya
Bukan saya bermaksud mengambil uang negara
Tapi rakyat kami yang mendorongnya
Mereka kalau datang berkunjung ke rumah
Selalu minta dikasih amplop mewah
Klo gak dikasih, aku dianggap hina, dan dibilang pelit
Klo aku kasih, mereka memuji setinggi langit
Siapa yang suka dihina? Siapa yang tak suka dipuja?
Rakyatlah yang mengajariku korupsi
Begitu yang mulia....
Gusjur Mahesa, penyair jeprut yang melawan korupsi dengan puisi.