Pesantren

Harlah ke-102 NU: Pesantren Al-Masthuriyah sebagai Warisan Keilmuan dan Keislaman

Rabu, 29 Januari 2025 | 16:40 WIB

Harlah ke-102 NU: Pesantren Al-Masthuriyah sebagai Warisan Keilmuan dan Keislaman

Harlah ke-102 NU: Pesantren Al-Masthuriyah sebagai Warisan Keilmuan dan Keislaman. (Foto: NU Online Jabar)

Pondok Pesantren Al-Masthuriyah terletak di Kp. Tipar, RT 47/10, Desa Cibolangkaler, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi. Pesantren ini berjarak sekitar 7 km ke arah barat dari Kota Sukabumi menuju Bogor, 57 km dari Bogor, 56 km dari Palabuhanratu (Ibukota Kabupaten Sukabumi), 100 km dari Ibukota Provinsi Jawa Barat, dan sekitar 153 km dari Jakarta.


Pesantren ini didirikan pada tahun 1920 oleh KH Muhammad Masthuro (1901-1968) saat beliau berusia 19 tahun. Awalnya, pesantren ini dikenal sebagai Pesantren Tipar sesuai dengan lokasi kampungnya. Saat pertama kali dibuka, pesantren ini hanya memiliki 8 murid.


Dalam sistem pengelolaannya, Al-Masthuriyah menerapkan sistem klasikal yang berbeda dengan kebanyakan pesantren pada masa itu. Pendidikan terbagi menjadi enam kelas dalam enam tahun pembelajaran. Santri yang masuk ke kelas 1 akan diasuh oleh seorang ustaz yang akan terus membimbingnya hingga kelas 6. Metode ini membentuk karakter santri sesuai dengan konsep pendidikan KH Masthuro.


Sebagai pesantren berbasis keagamaan, kurikulumnya berfokus pada pengajaran kitab kuning, termasuk kitab khusus yang disusun oleh KH Masthuro, yaitu Kayfiyatush Shalat. Pesantren ini juga berkembang dengan mendirikan berbagai lembaga pendidikan, seperti madrasah diniyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah, SMP, SMA, SMK, Pendidikan Diniyah Formal (PDF), dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) yang didirikan pada tahun 1982.


Waktu Belajar


Kepemimpinan

  1. KH Muhammad Masthuro (1920-1986) – Pendiri pesantren, penggerak NU di Sukabumi, dan pembimbing utama santri.

  2. KH Fakhruddin Masthuro (1968-2012) – Aktivis NU yang pernah menjabat sebagai Wakil Rais Aam PBNU. Memiliki visi pendidikan berbasis akal, jasmani, dan ruhani.

  3. KH A. Aziz Masthuro (2012-sekarang) – Aktivis NU yang menghidupkan tiga tradisi NU, yaitu tradisi keilmuan, keagamaan, dan kemasyarakatan.


Kepemimpinan di pesantren ini juga melibatkan keluarga besar KH Masthuro, termasuk para putra, menantu, dan cucu beliau yang turut aktif dalam berbagai organisasi NU, seperti IPNU, IPPNU, Ansor, Fatayat, Muslimat, dan ISNU.


Pesantren ini memiliki lembaga khusus pendidikan perempuan, yaitu Madrasah Sirojul Banat, yang dipimpin oleh Hj. Umi Bahiyah. Madrasah ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga keterampilan seperti menjahit, memasak, dan membuat kerajinan tangan.


KH Masthuro sangat menekankan pentingnya shalat berjamaah dan wirid. Santri diwajibkan untuk hadir di masjid setengah jam sebelum waktu shalat, serta menjalankan wirid sesuai dengan tuntunan beliau. Salah satu nasihat beliau yang terkenal adalah:

"Kalau ingin hidupmu benar dan berkah, maka perbaiki shalatmu. Shalat itu harus dianggap tamu terhormat. Harus siap menyambut kedatangan shalat dengan wudhu dan pakaian yang layak."

KH Masthuro memiliki hubungan erat dengan gurunya, Habib Syech bin Salim Al-Attas. Habib Syech berwasiat agar dimakamkan di dekat KH Masthuro, dan kini keduanya dimakamkan berdampingan di pesantren. Haul keduanya dirayakan bersama pada Sabtu menjelang 27 Rajab setiap tahunnya.


Alumni pesantren ini tersebar di berbagai bidang, termasuk menjadi pemimpin pesantren, majlis taklim, serta tokoh masyarakat. KH Masthuro tidak menekankan profesi tertentu bagi alumninya, tetapi berpesan agar mereka menjadi individu yang berguna bagi masyarakat.


Pondok Pesantren Al-Masthuriyah terus berkembang dan berkontribusi dalam pendidikan Islam serta kehidupan sosial-keagamaan di Indonesia, khususnya dalam lingkup Nahdlatul Ulama (NU).


Dr KH Abubakar Sidik, Ketua STAI Al-Masthuriyah sekaligus Wakil Ketua PWNU Jawa Barat


Terkait