Opini

Pendidikan Karakter Bukan Soal Takut, Tapi Soal Tumbuhnya Kesadaran

Selasa, 20 Mei 2025 | 20:47 WIB

Pendidikan Karakter Bukan Soal Takut, Tapi Soal Tumbuhnya Kesadaran

Renita, Ketua PW IPPNU Jawa Barat Masa Bhakti 2023-2026. (Foto: NU Online Jabar)

Oleh Renita
Berbicara tentang remja, tentunya kita membahas tentang seseorang yang berusia menjelang dewasa, atau usia pelajar setingkat SMP dan SMA. Pada usia tersebut, remaja memiliki potensi untuk mengembangkan diri dari berbagai aspek. 

 

Perubahan dari masa anak-anak menjadi remaja dan menuju pendewasaan menyebabkan usia remaja sangat rentan terhadap berbagai persoalan. Mulai dari persoalan keluarga, pendidikan, pergaulan, pengendalian diri, pengembangan diri yang semua tentu saja sangat berkaitan masalah fisik maupun psikis. 

 

Belakangan ini,publik dibuat ramai oleh program yang digagas Gubernur Jawa Barat, Bapak Dedi Mulyadi, yaitu mengirim siswa ‘bandel’ ke barak militer sebagai bentuk pembinaan karakter. Tujuannya, menurut beliau adalah agar anak-anak yang sulit diatur bisa belajar disiplin, tanggungjawab, dan tata krama lewat sistem pelatihan ala militer.

 

Sekilas, program ini tampak tegas dan solutif. Militer memang identik dengan kedisiplinan dan ketertiban, dua hal ini yang sering dianggap hilang di kalangan generasi muda. Namun, jika di telaah lebih dalam, ada benerapa hal mendasar yang perlu dikritisi secara jernih.

 

Apa yang bisa dihargai dari gagasan ini?
Tidak bisa dipungkiri, niat untuk menangani kenakalan remaja secara serius patut diapresiasi. Banyak sekolah dan orangtua yang kewalahan menghadapi siswa dengan perilaku menyimpang, sementara sistem pendidikan kita belum cukup siap secara psikologis dan struktural dalam menangani masalah perilaku secara komprehesif.

 

Pendekatan militer mungkin memberi efek kejut dan struktur ketat yang pada jangka pendek bisa membuat anak-anak ‘patuh’. Bagi sebagian siswa, pengalaman di barak bisa menjadi refleksi dan titik balik untuk berubah.

 

Tapi, apakah itu pendidikan karakter yang sesungguhnya?
Pendidikan karakter bukan soal membuat anak takut, tetapi mampu membentuk kesadaran dari dalam. Karakter sejati tumbuh dari proses pemahaman nilai, pengalaman sosial yang membangun, dan hubungan yang penuh empati bukan dari tekanan dan perintah sepihak.

 

Jika siswa hanya ‘taat’ karena takut dihukum di barak, maka itu bukan pembentukan karakter, tapi sekadar penyesuaian perilaku sementara. Begitu mereka keluar dari barak dan kembali ke lingkungan lama, pola kenakalan bisa kembali muncul.

 

Selain itu, program seperti ini beresiko menstigma anak-anak yang bermasalah dan memperkuat label negatif terhadap mereka. Dalam banyak kasus, siswa yang dianggap nakal justru adalah korban dari situasi keluarga yang kacau, kurangnya perhatian, atau sistem pendidikan yang tidak inklusif.

 

Perlunya pendekatan alternatif yang lebih berkelanjutan
Selain memindahkan anak ke barak militer, sebaiknya pemerintah juga perlu membangun penguatan terhadap lembaga pendidikan, misalnya:

 

1. Integrasi Nilai Karakter dalam Pembelajaran
Nilai-nilai karakter seperti jujur, disiplin, tanggungjawab, kerjasama dan toleransi harus diintegrasikan ke dalam semua mata pelajaran, bukan hanya diajarkan dalam pelajaran agama atau PPKn.

 

2. Penguatan Budaya Sekolah (School Culture)
Sekolah harus menciptakan budaya yang mendukung pembentukan karakter melalui peraturan yang konsisten. Misalnya penyusunan kembali kurikulum berbasis karakter yang memuat nilai-nilai luhur Pancasila dan etika sosial.

 

3. Penguatan Ekstrakulikuler yang Mendorong Karakter
Ekstrakulikuler tentunya bukan hanya tempat mengembangkan bakat, tetapi juga mampu membentuk karakter kepemimpinan, tanggungjawab, kerjasama, serta solidaritas. Misalkan kegiatan pramuka (melatih kemandirian dan kepemimpinan), Osis (membangun karakter komunikatif dan tanggungjawab), kegiatan sosial (menumbuhkan kepedulian), kegiatan religius, dan lain sebagainya.

 

4. Pelibatan Orang Tua
Karakter anak dibentuk dari lingkungan rumah dan masyarakat. Tentunya sekolah dirasa perlu bekerjasama dengan orangtua dalam membina sikap anak secara konsisten. Misalkan dengan mengadakan workshop parenting rutin di sekolah, maupun kegiatan forum komunikasi orangtua dan guru.

 

5. Menyediakan Mentor Sebaya (Peer to Peer)
Penguatan melalui kegiatan peer to peer/peer education sangat bermanfaat untuk menguatkan hubungan antar teman sebaya untuk mengedukasi, mendukung dan membentuk perilaku serta karakter positif di kalangan siswa.

 

Dengan pendekatan seperti ini, anak-anak tidak hanya dipaksa menjadi baik, tapi mereka belajar dan memilih untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Karena pendidikan karakter yang efektif tidak bisa dibentuk dalam semalam, apalagi dengan metode yang terlalu keras. 

 

Jika karakter dibentuk lewat rasa takut, maka anak hanya akan baik saat di awasi. Tapi jika karakter tumbuh dari rasa tanggungjawab dan empati, maka anak akan tetap berbuat baik, bahkan saat tak seorangpun yang melihat.

 

Penulis merupakan Ketua PW IPPNU Jawa Barat Masa Bhakti 2023-2026.