Oleh Arief A
Menurut pendapat Hans Kung, seorang filsuf berkebangsaan Jerman, "Tak ada perdamaian dunia jika tanpa ada perdamaian agama-agama, dan perdamaian antaragama tidak akan terjadi tanpa dialog antaragama."
Adapun dialog antarumat beragama (interfaith dialog) bertujuan agar setiap pemeluk agama yang berbeda bisa saling memahami, menghormati, bertoleransi, dan bekerja sama.
Secara umum, dialog antariman sendiri terdiri dari:
- Dialog Teologi
- Dialog Tradisi/Budaya
- Dialog Kebangsaan
- Dialog Sosial Kemanusiaan
Dalam tulisan ini, akan kita fokuskan pada poin ke-4, yaitu dialog sosial, yaitu upaya dialog dan kerja sama sosial kemanusiaan antarumat beragama.
Kegiatan atau aksi iklim dan kebencanaan adalah satu bagian dari dialog sosial. Lalu bagaimana posisinya dalam dialog antariman? Apakah hal tersebut hanya sebagai pelengkap saja dari model dialog yang sudah ada, sebagai penguat, atau saat ini justru bisa menjadi pondasi dan jangkar utama?
Seperti yang sering disampaikan, bahwa menjaga kondisi lingkungan agar tidak terjadi kebencanaan adalah kebutuhan semua manusia, apa pun identitas agamanya.
Dalam teori piramida kebutuhan yang digagas Abraham Maslow, bahwa salah satu kebutuhan manusia setelah terpenuhinya kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan rasa aman. Lingkungan yang sehat dan terhindar dari bencana adalah bagiannya.
Dikarenakan hal tersebut adalah kepentingan bersama, maka tentunya memiliki irisan yang luas dan ruang perjumpaan yang kuat. Secara nalar sehat pun, sebenarnya kita sangat mudah memahaminya tanpa harus menggunakan teks-teks keagamaan.
Akan tetapi, dalam tulisan ini sedapat mungkin akan coba disampaikan teks-teks agama untuk memperkuat dalil nalar sehat yang kita miliki, terkait aksi iklim sebagai media perdamaian.
Mahatma Gandhi pernah menyampaikan, "Kekerasan yang paling mengerikan adalah kekerasan atas nama agama, karena seakan-akan Tuhan merestui kekerasan tersebut."
Tentu pernyataan Gandhi di atas bisa kita balik bahwa, "Kedamaian yang paling membahagiakan adalah kedamaian atas nama agama. Karena Tuhan sendiri yang merestuinya."
Atas dasar inilah kiranya perlu disampaikan dalil-dalil keagamaan sebagai pesan damai. Kita ambil dalil keagamaan dari dua agama yaitu Kristen dan Islam.
Dalam agama Kristen:
Matius 5:9
Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.
Roma 14:19
Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun.
Roma 12:18
"Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!"
Ibrani 12:14
"Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan."
Empat ayat dalam Injil di atas menunjukkan bagaimana perintah di agama Kristen agar umatnya bisa menciptakan perdamaian universal dengan semua kelompok manusia.
Dalam agama Islam:
Bersabda Rasulullah SAW, "Maukah kalian kuberitahu suatu amal yang lebih tinggi derajatnya daripada puasa, salat, dan sedekah?" Para sahabat menjawab, "Tentu saja mau, ya Rasulullah." Dilanjutkan oleh Nabi SAW, "Yaitu mendamaikan perselisihan di antara manusia." (HR Abu Dawud dari Abi Darda)
Upaya mendamaikan sesama manusia pernah dilakukan Nabi saat peristiwa Hajar Aswad, yang mana Nabi bisa mencegah konflik ketika masing-masing kabilah merasa paling berhak memindahkannya.
Lalu Nabi membentangkan sebuah kain untuk meletakkan Hajar Aswad di atas kain tersebut, dan setiap kabilah mengangkat Hajar Aswad secara bersamaan dengan masing-masing memegang ujung kain. Semua kabilah merasa puas, dan konflik berdarah bisa dicegah.
Pada peristiwa pemindahan Hajar Aswad tersebut, yang didamaikan Nabi Muhammad bukanlah pemeluk agama Islam, tetapi adalah penduduk Mekah penyembah berhala.
Dari uraian di atas, ternyata baik agama Islam maupun Kristen mengajarkan umatnya masing-masing untuk membangun perdamaian universal.
Pertanyaan lebih lanjut, bagaimana hal tersebut bisa diwujudkan? Adakah teks-teks suci dalam agama Kristen maupun Islam memberikan petunjuk atau road map perdamaian?
Pada saat teks suci menghimbau pemeluknya untuk membawa misi perdamaian, semestinya peta jalan untuk mencapai itu termuat.
Mari kita lanjutkan. Dalam Injil Yesaya 2:4:
Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi pengadil bagi banyak suku bangsa. Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas. Bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi berlatih perang.
Dalam Yesaya 2:4 tersebut, cukup menarik bahwa senjata yang biasa digunakan untuk perang dengan simbol tombak dan pisau diarahkan untuk menjadi alat pertanian. Seni berperang yang menghancurkan kemanusiaan dan alam ini digantikan dengan seni bercocok tanam untuk memakmurkan bumi.
Non ullus aratro Dignus honos, squalent abductis arva colonis, Et curvæ rigidum falces conflantur in ensem. – Virg. Georg. 1:506
Petani yang cinta damai dipaksa berperang; ladang-ladang terbengkalai dalam istirahat yang hina. Dataran tidak menyediakan padang rumput bagi kawanan domba, sabit-sabit yang bengkok diluruskan menjadi pedang. – Dryden
Seni bertani dan bercocok tanam mengajarkan kelembutan, ketabahan, ketekunan, dan rasa syukur yang mendalam.
Seni bertani dan menghijaukan bumi mengganti naluri mematikan dengan menghidupkan, naluri bertempur dengan menabur, naluri meluluhlantakkan menjadi menumbuhkembangkan. Bukankah hal ini merupakan benih perdamaian?
Surat Yesaya 2:4 ini seperti memberi sinyal bahwa kegiatan memakmurkan tanah bumi ini, dengan simbol aktivitas bertani dan bercocok tanam, lebih dekat dengan upaya membangun perdamaian universal. Back to nature and road to peace.
Adapun dalam Islam, telah memaparkan dengan jelas begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an maupun hadits tentang keutamaan melestarikan alam:
وَلَا تُفۡسِدُوۡا فِى الۡاَرۡضِ بَعۡدَ اِصۡلَاحِهَا وَادۡعُوۡهُ خَوۡفًا وَّطَمَعًا ؕ اِنَّ رَحۡمَتَ اللّٰهِ قَرِيۡبٌ مِّنَ الۡمُحۡسِنِيۡنَ
Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.
Hadis Nabi:
"Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka dengannya ia mendapatkan pahala. Dan apa yang dimakan oleh binatang liar, maka dengannya ia mendapatkan pahala." (HR Ahmad)
Hadis Nabi:
"Jika kiamat terjadi sedangkan di tangan seseorang di antara kalian ada benih tanaman, selama ia mampu menanamnya sebelum berdiri maka lakukanlah." (HR Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad)
Hadis Nabi:
Rasulullah bersabda,
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Harga (menjualbelikannya) adalah haram." (HR Abu Dawud)
Air, rumput atau tumbuhan hijau yang menghasilkan oksigen, dan energi yang disimbolkan dengan api, adalah kebutuhan pokok semua umat manusia. Jika ketiga hal itu tidak ada, maka tidak akan ada kehidupan. Semua pihak dianjurkan bekerja sama untuk menjaga kelestariannya, seperti yang tertera dalam hadis Nabi di atas.
Dalam sejarah Islam, kerja sama dalam memakmurkan dan penghijauan bumi pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan komunitas masyarakat Yahudi, penduduk kota Khaibar yang kalah perang.
Kesepakatan tersebut dinamakan Musaqah, sebuah kesepakatan damai di mana penduduk Yahudi Khaibar diberi benih kurma untuk mengolah tanah milik kaum Muslimin.
Musaqah sendiri artinya menyirami. Kaum Yahudi Khaibar diberi tanggung jawab menyirami dan merawat benih pohon kurma yang diberikan Nabi Muhammad kala itu.
Adapun sistem bagi hasil adalah 50 persen untuk pemilik tanah (kaum Muslimin) dan 50 persen bagi kaum Yahudi Khaibar yang merawatnya.
Dengan sistem bagi hasil tersebut, sejatinya Nabi telah menciptakan kesetaraan dengan menghilangkan relasi buruh dan majikan. Hal ini secara tersirat, Nabi Muhammad mengajarkan bahwa keadilan atau kesetaraan penting dalam menciptakan perdamaian. Tidak akan ada perdamaian tanpa ada keadilan atau kesetaraan.
Pada kesepakatan Musaqah, Nabi Muhammad bukan hanya sekadar menyirami tanaman, tetapi menyirami kehidupan yang damai agar tetap lestari.
Dari penjelasan berdasarkan dalil keagamaan dan peristiwa sejarah yang ada, baik Islam maupun Kristen ternyata memiliki kesamaan dalam road map atau peta jalan perdamaian, yaitu melalui kegiatan yang dekat hubungannya dengan alam dan lingkungan hidup.
Dalil dan teks suci serta peristiwa sejarah yang melingkupinya cukup kuat dalam membangun dialog lingkungan. Bahkan dalil-dalil yang ada nampaknya lebih kuat dibandingkan dalil dialog antariman berdasarkan pendekatan dialog teologi atau dialog tradisi.
Dan sejatinya, dari dialog iklim ini akan berkembang bentuk dialog lainnya seperti dialog teologi, kebangsaan, maupun dialog tradisi.
Dalam dialog teologi: bagaimana peran agama dalam melestarikan alam? Prof. Mary Evelyn Tucker, salah satu pelopor forum agama untuk lingkungan hidup, menyebutkan bahwa agama memiliki lima resep dasar untuk menyelamatkan lingkungan, yang disingkat dengan 5R:
- Reference – Sebuah keyakinan yang dapat diperoleh dari teks suci agama masing-masing.
- Respect – Penghargaan terhadap semua makhluk hidup sebagai ciptaan Tuhan.
- Restrain – Kemampuan untuk mengelola dan mengontrol sumber daya alam agar penggunaannya tidak mubazir.
- Redistribution – Kemampuan untuk menyebarkan kekayaan, kebahagiaan, kebersamaan melalui langkah kedermawanan.
- Responsibility – Sikap bertanggung jawab dalam merawat alam dan kondisi lingkungan yang ada.
Dalam dialog kebangsaan yang di dalamnya ditanamkan rasa cinta tanah air, tentu akan relevan jika dalam mencintai tanah air ini, kita bisa duduk bersama melestarikan tanah dan air ini agar tidak tercemari dan tetap lestari.
Begitu juga dalam dialog tradisi, berapa banyak peristiwa budaya pada dasarnya adalah sebuah aktivitas berbasis penghormatan terhadap alam, seperti ruwatan bumi, misalnya.
Lebih dari itu, jika boleh menambahkan, dari aksi iklim bisa berkembang menjadi dialog teknologi, yaitu bentuk dialog yang mendiskusikan secara serius pengembangan teknologi ramah lingkungan dan energi bersih untuk pembangunan berkelanjutan demi kemaslahatan bersama.
Untuk memahami hal ini, kita bisa merujuk pada peringatan Hari Bumi tahun ini yang diselenggarakan setiap tanggal 22 April.
Adapun tema yang diangkat adalah “Our Power, Our Planet” atau “Energi Kita, Planet Kita.”
Dalam situs web earthday.org, Hari Bumi 2025 mengajak semua orang di seluruh dunia untuk bersatu mendukung energi terbarukan dan menyuarakan peningkatan pembangkitan listrik terbarukan global hingga tiga kali lipat pada 2030.
Pengembangan energi terbarukan secara masif sangat penting karena sumber dayanya melimpah ruah di alam, seperti angin, matahari, air, hingga panas bumi.
Sumber energi terbarukan tersebut terus bersirkulasi dan mengeluarkan sedikit atau tidak sama sekali gas rumah kaca atau polutan ke udara.
Perayaan Hari Bumi tahun ini berfokus pada peningkatan pemanfaatan sumber energi terbarukan di seluruh dunia.
Energi terbarukan dianggap sebagai kekuatan pemersatu yang kuat, yang menyatukan berbagai negara, kawasan, negara bagian, dan masyarakat yang sering kali berseberangan secara politik dan ekonomi.
Energi bersih melampaui batas ideologis, dan menunjukkan daya tarik universal dari energi yang terjangkau.
(Sumber: Kompas, 21 April 2025)
Diawali dengan dialog iklim ini, maka dialog lain akan tercakup, dan wajah dialog lintas iman menjadi lebih luas, variatif, dinamis, cair, dan terbuka.
Interfaith dialog tidak eksklusif hanya diikuti para agamawan atau aktivis keagamaan, tetapi bisa melibatkan berbagai disiplin ilmu, keahlian, dan kelompok masyarakat lainnya.
Dengan gambaran di atas, maka dialog lintas iman untuk membangun perdamaian berbasis aksi iklim selayaknya bisa menjadi pondasi dan jangkar utama.
Jika boleh memberikan sebuah istilah, dialog model ini bisa kita namakan: Dialog Ekoteologi, sebuah peta jalan menuju perdamaian.
Penulis adalah Ketua LPBINU Kota Bandung