Kerusakan lingkungan tentunya tidak berdiri sendiri, banyak faktor yang mempengaruhi. Atas dasar itulah mengapa program Citarum harum melibatkan banyak pihak. Namun demikian faktor terpenting adalah sistem nilai yang berkembang di sebuah negara maupun komunitas masyarakat yang di pengaruhi oleh tujuan pendidikan nasional sebuah negara tersebut. Hal ini tentu saja berlaku di Indonesia.
Dari hasil evaluasi dalam upaya meningkatkan pencapaian program Citarum harum, yang paling utama sekaligus paling berat dan menjadi akar permasalahan adalah edukasi berkelanjutan kepada masyarakat, dan kepada semua pihak yang berkepentingan.
Pendidikan atau edukasi ini memang dampaknya tidak terlihat saat ini secara "sim sala bim" , tetapi hal tersebut yang merupakan dasar bagaimana program pelestarian lingkungan bisa berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sudah barang tentu sangat tidak mudah namun harus terus dijalankan.
Satu hal yang mengejutkan bahwa dalam tujuan pendidikan nasional Indonesia, tidak dimasukkan secara spesifik bahwa pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu bagian dari tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Undang-undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2 (Fungsi, dasar dan Tujuan) dan Bab 3 (Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan), tidak memuat dan memasukan unsur tentang pemulihan dan perlindungan lingkungan.
Kondisi ini yang menyebabkan upaya pelestarian lingkungan menjadi cukup sulit padahal inilah (pendidikan) yang menjadi akar masalahnya.
Sebelum program Citarum Harum diluncurkan, Citarum mendapat predikat salah satu sungai terkotor di dunia. Bagaimana hal ini bisa terjadi, ketika sungai Citarum sebagai sumber penggerak roda kehidupan masyarakat, tetapi masyarakat sendiri sebagai pengguna sungai Citarum tidak mempunyai "awarnes" untuk merawatnya. Tentu saja hal ini berhubungan erat dengan sistem nilai dan pendidikan.
Tujuan Pendidikan Nasional adalah sesuatu hal yang sangat penting dan berdampak secara umum terhadap nilai-nilai yang akan dibangun, maupun secara khusus dalam penyusunan kurikulum pengajaran di berbagai institusi pendidikan.
Dari tujuan pendidikan nasional yang tidak menjadikan pelestarian lingkungan bagian darinya, bukan hanya mempengaruhi kebijakan kurikulum sekolah negeri, termasuk sekolah swasta maupun lembaga pendidikan agama seperti pondok pesantren maupun sekolah agama lainnya. Ini juga terjadi diluar pendidikan formal, seperti ekstra kulikuler maupun dakwah umum keagamaan. Bisa sama-sama kita saksikan dan amati, betapa minimnya dakwah lingkungan hidup di tengah-tengah masyarakat kita saat ini.
Baca Juga
Pendidikan dan Lingkungan
Agama yang menjadi salah satu harapan untuk menghadapi krisis iklim inipun belum bisa berperan maksimal, karena sedikit banyak terpengaruh oleh tujuan pendidikan nasional yang "nir-environmental". Misal dalam acara Halal bil Halal atau acara sejenis, yang digaungkan hanyalah habluminallah (hubungan dengan Tuhan) dan habluminanass (hubungan dengan sesama manusia). Jarang sekali para pemuka agama berbicara habluminal alam (hubungan dengan alam), seolah alam ini adalah makhluk asing dari planet lain. Hal ini terjadi karena istilah seperti lingkungan hidup, alam, iklim, pencemaran, diasingkan dalam tujuan pendidikan nasional kita.
Moderasi beragama yang menjadi program Kemenag baru-baru ini pun tidak menjadikan aspek lingkungan ada di dalamnya. Lembaga filantropi yang ada di Indonesia, sangat minim mengeluarkan dananya untuk aksi iklim. Menurut BWI (badan wakaf Indonesia) tidak lebih dari lima persen dana wakaf digunakan untuk program lingkungan hidup.
Pada akhirnya pendidikanlah yang kemudian membentuk karakter individu atau sumber daya manusia saat ini dan di masa yang akan datang. Pendidikan menciptakan nilai dan cara pandang seseorang untuk memutuskan sebuah tindakan. Minimnya pendidikan lingkungan hidup menghasilkan individu yang nihil paradigma lingkungan dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya, maupun dalam mengambil kebijakan jika ia mendapatkan posisi sebagai penentu kebijakan.
Memang ada dalam kurikulum sekolah mata pelajaran lingkungan hidup tapi hanya ala kadarnya saja. Jarang sekali sebuah sekolah mengajak peserta murid diajak berpikir untuk memetakan masalah lingkungan dari ruang lingkup terkecil secara berkelompok misalnya. Atau diberi tugas sebuah karya tulis tentang tema lingkungan hidup, yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan literasi dan membangun kesadaran ekologis sejak dini.
Pelajaran lingkungan hidup, bukan sekedar mengajak peserta didik healing ke alam yang indah, tetapi juga mendatangi sebuah daerah yang terdapat persoalan lingkungan hidup disana, untuk selanjutnya dirumuskan dan di diskusikan bersama-sama. Kemudian peserta didik dimintai pendapatnya untuk sebuah solusi
Momen penting terkait event lingkungan hidup seperti hari lingkungan hidup, hari air, hari bumi bisa dikatakan jarang diperingati di sekolah-sekolah. Hal ini menunjukan pelajaran tentang lingkungan hidup dianggap tidak penting, karena mengacu dari tujuan pendidikan nasional sendiri yang tidak menjadikan pelestarian lingkungan bagian darinya.
Hasil Konvensi UNESCO di Tbilisi, Georgia, tahun 1977, tentang pendidikan lingkungan, yang kemudian sering dirujuk sebagai patokan bagi penyelenggaraan pendidikan lingkungan, menyepakati beberapa hal diantaranya
Pertama, pendidikan lingkungan merupakan proses pendidikan seumur hidup yang berlangsung di semua jenjang pendidikan dan tingkatan.
Kedua, pendidikan lingkungan terkait dengan interaksi yang berlangsung dalam lingkungan alam dan sosial.
Ketiga, pendidikan lingkungan diarahkan untuk mengembangkan sikap serta sistem nilai yang mendorong kepada peningkatan kualitas sosial-ekonomi lewat interaksi sosial yang positif dan pemeliharaan serta peningkatan kondisi lingkungan alam.
Keempat, pendidikan lingkungan diarahkan untuk mengembangkan pemahaman perseorangan, keterampilan dan pemberdayaan yang diperlukan untuk membentuk perilaku positif terhadap lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, serta untuk membentuk partisipasi aktif kelompok dalam mencari solusi tepat bagi masalah-masalah lingkungan.
Dalam sebuah tulisan yang di muat di website mongabay.com, bahwa masyarakat Indonesia terjebak dalam paradigma antroposentrisme yang menurutnya menjadi akar masalah bagaimana perilaku seseorang terhadap alam dan lingkungan.
Antroposentrisme jika di terjemahkan adalah manusia sebagai sentral, sehingga memandang manusia sebagai pusat segalanya dari alam semesta ini
Paham ini memposisikan bahwa manusia lebih tinggi dari alam dan menganggap hanya manusialah yang hanya memiliki sistem nilai sedangkan alam tidak memilikinya. Hal ini membentuk sikap "super ego" dimana alam harus tunduk kepada manusia.
Seseorang yang sangat kuat memiliki pandangan seperti ini dan sudah mengkristal dalam pribadinya, akan mengabaikan aspek lingkungan dalam menentukan sebuah kebijakan maupun aspek lainnya. Individu seperti ini akan kehilangan empati terhadap lingkungan sekitarnya dan rentan melakukan kekerasan kepada alam dan manusia.
Ketika tim satgas Citarum Harum di berbagai wilayah sektor setiap hari sibuk membersihkan sampah yang ada, namun tidak lama kemudian kiriman sampah baru yang berasal dari area yang lebih hulu hadir kembali. Ini merupakan salah satu sikap antroposentrisme dimana ketika ia membuang sampah ke sungai seperti merasa tidak bersalah dan berdosa, serta kehilangan empati. Bersambung...
Arief Agus T, Koord NU Jabar Peduli Lingkungan, Ketua LPBI NU Kota Bandung