Meneladani Nilai Perjuangan dan Membebaskan Diri dari Belenggu Hawa Nafsu
Ahad, 18 Agustus 2024 | 12:16 WIB
Hari Kemerdekaan Indonesia, yang diproklamasikan oleh Ir. Soekarno pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, adalah momen bersejarah yang memahatkan kemerdekaan sebagai hadiah terindah dari para pahlawan bangsa. Kini, 79 tahun kemudian, kita tidak hanya merayakan hari itu sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga sebagai panggilan untuk merenung dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam makna kemerdekaan.
Kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik. Dalam makna yang lebih dalam, kemerdekaan adalah proses pembebasan jiwa dari segala bentuk belenggu yang menghambat kita untuk menjadi manusia seutuhnya. Seperti halnya matahari yang terbit setiap pagi, menerangi dan menghangatkan bumi setelah malam yang gelap gulita, kemerdekaan juga adalah cahaya yang membebaskan kita dari kegelapan penindasan dan ketidakadilan.
Dalam konteks ini, kemerdekaan harus dipahami sebagai upaya terus-menerus.untuk melepaskan diri dari segala bentuk penindasan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri kita sendiri. Penjajahan modern bisa datang dalam bentuk yang lebih halus, seperti dominasi ekonomi, pengaruh budaya asing yang merusak identitas, hingga tekanan sosial yang membelenggu kebebasan berpikir dan berekspresi
Baca Juga
Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan
Bayangkan sebuah kapal yang terombang-ambing di tengah samudra. Tanpa kemudi yang kokoh, kapal itu akan terseret arus dan mungkin karam. Kemerdekaan adalah kemudi itu—yang membimbing kita melalui badai dan gelombang, agar tetap berada di jalur yang benar menuju tujuan kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Namun, kemudi itu harus terus kita jaga dan arahkan dengan bijak, karena sedikit saja kita lalai, arus yang kuat bisa saja menarik kita kembali ke arah penjajahan yang lain.
Kemerdekaan juga bisa diibaratkan sebagai pohon besar dengan akar yang kuat menghunjam ke dalam tanah. Akar itu adalah nilai-nilai luhur, perjuangan, dan pengorbanan para pahlawan kita. Daun-daunnya adalah buah dari kemerdekaan itu sendiri—kehidupan yang lebih baik, pendidikan yang lebih maju, dan kebebasan yang lebih luas. Namun, kita harus ingat bahwa pohon ini perlu dirawat, disiram, dan dilindungi dari hama—yang dalam konteks ini bisa berupa korupsi, ketidakadilan, dan sikap acuh tak acuh.
Lebih dalam lagi, kemerdekaan sejati bukan hanya tentang kebebasan secara fisik, tetapi juga pembebasan dari belenggu hawa nafsu yang sering kali menjerumuskan kita. Hawa nafsu bisa berupa keserakahan, egoisme, kebencian, dan segala bentuk sifat negatif yang menghalangi kita dari kebenaran dan keadilan.
Dalam Al qur'an, ada konsep فق رقبة, yang secara harfiah berarti membebaskan leher dari belenggu. Ini bukan hanya tentang membebaskan diri dari perbudakan fisik, tetapi juga perbudakan batin yang mengikat kita pada nafsu duniawi. Membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu adalah langkah menuju kemerdekaan sejati, di mana kita menjadi pribadi yang bebas dari segala hal yang menghalangi kita untuk mencapai ridha Allah.
Dalam merenungi kemerdekaan ini, kita harus bertanya pada diri sendiri: Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Apakah kita sudah merdeka dari belenggu ketidakadilan, korupsi, dan penindasan yang masih ada di sekitar kita? Apakah kita sudah merdeka dari hawa nafsu yang kadang menjebak kita dalam pola pikir sempit dan tindakan yang merugikan orang lain?
Kemerdekaan sejati adalah tanggung jawab yang harus kita emban dengan penuh kesadaran dan tindakan nyata. Tidak cukup hanya merayakan kemerdekaan dengan perayaan dan bendera, kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan tindakan yang membawa manfaat bagi sesama, menjaga persatuan, dan selalu berpegang pada nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendiri bangsa.
Sebagai penutup, mari kita resapi makna kemerdekaan ini lebih dalam, seperti akar pohon yang kuat di dalam tanah, dan aplikasikan nilai-nilai perjuangan itu dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini akan tetap kokoh dan berbuah manis untuk generasi yang akan datang.
KH Aam Aminuddi, Ketua PCNU Kabupaten Kuningan