Hikmah

Ketika Khidir Melubangi Perahuku

Selasa, 6 Mei 2025 | 08:32 WIB

Ketika Khidir Melubangi Perahuku

Ketika Khidir Melubangi Perahuku. (Ilustrasi: NU Online Jabar/freepik).

Di tepi laut yang sunyi, di antara desir angin dan nyanyian camar, aku berdiri memandangi perahuku yang renta. Ia bukan sekadar papan dan tali—ia adalah nafasku, tempat segala doa dan lelahku bermuara. Bersama saudara-saudaraku, kami hidup dari laut, menggantungkan harapan pada kayu lapuk yang kami rawat dengan kasih seperti merawat ibu kami yang tua.


Pagi itu, dua orang asing datang. Yang satu berwajah dalam, matanya seperti menyimpan rahasia langit. Ia hanya berkata singkat, meminta tumpangan. Aku mengangguk. Tak ada alasanku menolak, kecuali perasaan ganjil yang kusembunyikan di balik senyum. Dan kami pun berlayar.


Lalu, tanpa ampun, di tengah pelayaran, ia melubangi perahuku. Tangan itu melukai satu-satunya harta kami. Air mulai meresap, dan hatiku retak bersamanya. Ingin rasanya kuteriakkan luka di dada, namun lidahku membeku. Lalu mereka pergi begitu saja, meninggalkan kami dengan perahu yang berlobang.


Kami kembali ke darat dengan perahu pincang dan hati patah. Aku menambalnya dengan tangan gemetar, sambil bertanya dalam tangis, “Ya Allah, mengapa Kau izinkan ini terjadi?” Tapi jawabannya datang esoknya—dalam bentuk pasukan raja zalim yang menyita semua perahu yang masih bagus. Semua, kecuali perahuku. Mereka menganggapnya bangkai, tak layak rampasan.


Di situlah aku rebah. Di pasir yang dingin, air mataku tumpah, bukan karena luka… tapi karena cinta. Cinta-Nya yang kusebut sebagai murka, ternyata pelindung. Khidhr, dengan tenang dan tanpa kata, mengajarkanku bahwa kadang yang menyakitkan adalah bentuk terlembut dari kasih Tuhan. Lubang itu—yang kubenci—telah menyelamatkanku dari kehilangan sejati.


Dan sejak itu, aku tahu: jika suatu hari kamu merasa hatimu dilubangi oleh takdir, jangan terburu membenci. Bisa jadi itu Tuhan sedang menjauhkanmu dari kapal kehidupanmu yang bakal dirampas. Lubang bisa ditambal. Luka bisa dipeluk. Karena cinta-Nya… sering kali berwujud duka, yang tak kita pahami.


Dan aku? Aku tak hanya selamat. Aku jatuh cinta pada cara Tuhan menjagaku, lewat luka dan duka, dalam pelukan kasih sayang-Nya.


Dan saat ku memelukmu, sayang, semua lelah menjadi lillah.


KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia