• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Kuluwung

Jejak Kota Tua di Garut (1) Leles

Jejak Kota Tua di Garut (1) Leles
Alun-alun Kecamatan Leles Kabupaten Garut. (Foto: Rudi Sirojudin Abas).
Alun-alun Kecamatan Leles Kabupaten Garut. (Foto: Rudi Sirojudin Abas).

Bagi masyarakat yang ada di wilayah priangan timur Jawa Barat, tentu tidak asing dengan nama kota Leles, sebuah kecamatan yang terletak di bagian utara Kabupaten Garut. Masyarakat luas lebih mengenal kota Leles sebagai tempat pariwisata yang di dalamnya terdapat Candi Cangkuang dan rumah adat Kampung Pulo. 


Selain itu, di kota Leles juga terdapat sebuah makam keramat, yaitu makam Embah Dalem Arif Muhammad yang dipercaya masyarakat sebagai tokoh yang paling berjasa dalam menyebarkan agama Islam. Kini, makam Embah Dalem Arif Muhammad telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan atau peziarah sebagai salah satu tujuan destinasi wisata religi yang ada di Kabupaten Garut.


Pada awalnya, kota Leles merupakan sebuah kota kewedanaan yang membawahi beberapa wilayah seperti Leles sendiri, Kadungora, Banyuresmi, dan Balubur Limbangan. Seiring perjalanan waktu, kemudian kota Leles menjadi sebuah kecamatan yang berdiri sendiri dengan membawahi sembilan desa di kisaran tahun 1900-1979, dan kemudian mengalami pemekaran menjadi enam belas desa pada kisaran tahun 1979-1986. 


Setelah wilayah (desa) Leuwigoong menjadi kecamatan mandiri (dengan asal tujuh desanya dan sekarang menjadi delapan desa) yang terpisah pada tahun 1986 dari Leles, maka desa-desa yang ada di Leles juga mengalami pemekaran, yaitu dari sembilan desa menjadi menjadi dua belas desa. Dari tahun 1986 hingga sekarang (tahun 2022), Leles masih tetap membawahi dua belas desa. 


Kini, Leles menjadi kecamatan mandiri yang terpisah dari wilayah-wilayah sebelumnya (Kadungora, Banyuresmi, Leuwigoong, dan Balubur Limbangan). Sementara empat wilayah yang berasal dari kota Leles tersebut, juga telah menjadi kecamatan mandiri (masing-masing) yang sebagiannya telah mengalami pemekaran menjadi kecamatan-kecamatan yang baru.


Menarik mencermati wilayah kota Leles jika ditinjau dari beberapa hal. Pertama, dalam hal penataan letak pusat ibu kota kecamatan; Kedua, akses jalan menuju wilayah Leles; Ketiga, keberadaan sungai-sungai (sungai mati atau hidup) yang melintasi jalan raya kota Leles; Keempat, jumlah gunung yang mengelilingi/mengitari kota Leles; Kelima, keberadaan Kampung Adat Pulo dan makam keramat Embah Dalem Arif Muhammad; dan Keenam, mitos atau cerita rakyat yang menghiasi keberadaan kota Leles.


Pertama, pola penataan letak pusat ibu kota Kecamatan Leles. Jika dicermati, letak pusat ibu kota Kecamatan Leles mengikuti pola penempatan yang khas dengan terdiri atas lembaga-lembaga pemerintahan maupun swasta. 


Pusat kota Leles di sebelah barat berbatasan dengan Masjid Agung (Besar), Kantor Urusan Agama (KUA), dan lembaga pendidikan Islam (Madrasah), yang ketiganya beralamat di Kampung Kaum. Di sebelah timur berbatasan dengan lembaga pendidikan umum (Sekolah Dasar) dan pemandian mata air Cicapar. Di sebelah selatan berbatasan dengan kantor camat, kantor kepolisian (Polsek), dan pasar Leles. Di sebelah utara berbatasan dengan lintasan sungai-sungai yang terhubung ke sungai Cimanuk. Sementara di sebelah tenggara berbatasan dengan kantor kesehatan (Puskesmas), kantor militer (Koramil), dan tempat hiburan (Bioskop Haruman). Lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta tersebut terletak berada di sekeliling alun-alun Kecamatan Leles. Dengan demikian, letak alun-alun Kecamatan Leles berada di tengah-tengah (di pusat) di antara lembaga-lembaga yang ada.


Lalu apa makna pusat kota Kecamatan Leles dipola sedemikian rupa? Pola penerapan konsep atau mazhab papat kalimo pancernya orang Jawa yang kemungkinan besar diterapkan oleh pemerintahan pada zaman kolonial Belanda dalam menata letak tata pusat kota Leles. Penulis menduga, pola papat kalimo pancer diadaptasi oleh pemerintah kolonial Belanda dari zaman kerajaan (Islam), yang kemudian tetap dipakai di zaman kemerdekaan hingga zaman sekarang. 
Konsep papat kalimo pancer merupakan pemikiran orang Jawa yang berasumsi bahwa anasir kehidupan ini terbagi menjadi empat bagian dengan satu pusat sebagai pancernya. Misalnya arah mata angin alam semesta terbagi menjadi empat yaitu utara, selatan, timur, barat, dengan tengah sebagai pusat (pancer) atau kelipatannya menjadi delapan yaitu utara-selatan, timur-barat, tenggara-barat laut, dan barat daya-timur laut. 


Empat ruang (atau kelipatannya) dengan satu pusat (pancer) tersebut telah menjadi dasar penempatan tata ruang kota di Leles. Semua ruang atau arah yang menuju pusat kota Leles di isi dengan lembaga-lembaga yang memang menjadi sebuah kebutuhan bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat seperti lembaga keagamaan, pendidikan, keamanan (hukum), pemerintahan, kesehatan, ekonomi, maupun hiburan.


Alhasil, konsep papat kalimo pancer orang Jawa sebagai pola pikir tradisional Jawa menjadi pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan budaya dalam penataan kota-kota tua dan besar seperti halnya terjadi di Kecamatan Leles. Oleh karena itu, pola penataan kota Leles yang khas seperti yang telah disebutkan dapat menjadi dasar (pijakan) dalam menentukan kota-kota yang masuk pada kategori kota tua (besar) di priangan timur, bahkan juga untuk kota-kota besar yang lainnya. 


Tentunya, hal ini akan menjadi telaah yang menarik untuk diungkap meskipun penempatan lembaga-lembaga di tiap daerah kadang berbeda arah. Namun, pola budaya yang menstrukturnya akan tetap sama, yaitu mengikuti pembagian arah konsep papat kalimo pancernya orang Jawa. Atau mungkin juga mengikuti pola tritangtu (kesatuan tiga) masyarakat Sunda lama.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti asal Desa Cangkuang, Kecamatan Leles-Garut.


Kuluwung Terbaru