• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Ubudiyah

3 Hal Penyelamat dan 3 Hal Perusak Diri Manusia

3 Hal Penyelamat dan 3 Hal Perusak Diri Manusia
3 Hal Penyelamat dan 3 Hal Perusak Diri Manusia
3 Hal Penyelamat dan 3 Hal Perusak Diri Manusia


Bandung, NU Online Jabar
Salah satu dari sekian banyak yang dapat menyelamatkan diri manusia baik di dunia maupun akhirat yaitu takwa, taat beribadah kepada Allah Swt. dan salah satu dari sekian banyak yang dapat merusak diri manusia baik di dunia maupun akhirat yaitu maksiat, menuruti hawa nafsu.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berpesan:

   ثَلاثٌ مُنَجِّيَاتٌ، وثَلاثٌ مُهْلِكَاتٌ، فَأَمَّا الْمُنَجِّيَاتُ : فَتَقْوَى اللهِ فِي السِّرِّ وَالْعَلانِيَةِ، وَالْقول بالحق فِي الرِّضَا والسخط، وَالْقَصْدُ فِي الْغِنَى وَالْفَقْرِ . وأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ : فَشُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ 

 

"Ada tiga hal yang bisa menyelamatkan dan tiga hal yang bisa merusak. Yang menyelamatkan antara lain (1) takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, (2) berkata benar (adil) dalam kondisi ridla maupun marah, dan (3) bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak antara lain (1) bakhil yang kelewatan, (2) nafsu yang diikuti, dan (3) ujub terhadap diri sendiri."   

 

Hadits yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi ini secara tegas menjelaskan sikap-sikap yang saling bertentangan. Tiga penyakit perilaku yang terakhir dapat merusak kemuliaan manusia sebagai hamba Allah, menjauhkan seseorang dari kebahagiaan akhirat, dan keluar dari kewajaran hidup sebagai makhluk di dunia. Sementara tiga hal yang pertama justru sebaliknya, menyelamatkan hamba dari kerusakan-kerusakan itu semua.

 

Pertama, takwa kepada Allah. Takwa bermakna melaksanakan seluruh perintah kepada Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana, karena menuntut seorang hamba secara total patuh dan pasrah hanya kepada Allah. Sebagaian kita kerap saling paham bahwa ketika disebut kata takwa maka yang terbayang sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, serta aqidah, syari’ah, dan akhlak.   

 

Dalam hadits di atas disebut taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah. Artinya, takwa dalam setiap keadaan. Takwa menuntut seseorang hanya takut dan malu kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan atau nafsunya sendiri. Dalam pesan Rasulullah itu, taqwallâh fis sirri wal ‘alâniyah bisa dikontraskan dengan perilaku merusak hawa muttaba’un atau hawa nafsu yang dituruti. 


Inilah yang membuat takwa terasa sangat berat karena musuh terbesarnya adalah nafsu alias diri sendiri. Pernahkah kita merasakan: kita terlihat begitu baik dan saleh saat bersama orang lain dan begitu binal dan durhaka saat sendirian? Di sinilah letak ujian takwa. Takwa tidak mengenal kata “sendirian” karena ia berangkat dari keyakinan bahwa seluruh gerak-gerik di dunia ini pasti tak terlepas dari pengamatan Allah.   


Dalam Surat At-Thalaq ayat 2, Allah berfirman:


   وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً 


“Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar.”

 

Kedua, berkata benar dalam kondisi ridla maupun marah. Dalam riwayat lain, “berlaku adil dalam kondisi ridla maupun marah” (al-‘adlu fir ridla wal ghadlab). Emosi kita yang pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Haram tetap haram meskipun kita sangat menginginkannya. Halal selalu halal kendatipun kita tak menyukainya. Hukum juga tak boleh membedakan perlakuan antara si A dan si B walaupun salah satunya adalah seorang pejabat atau orang kaya. Mencaci maki dan memfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran beda mazhab atau partai. Korupsi mesti disanksi meskipun itu dilakukan oleh kerabat atau anak sendiri.   

 

Memegang prinsip sangat tergantung kepada cara kita mengelola diri: bagaimana kita mampu senantiasa rendah hati kepada siapapun tanpa membeda-bedakan pandangan dan sikap terhadap mereka. Karena itu, karena itu berkata benar dalam segala kondisi ini merupakan lawan dari perilaku merusak i‘jâbul mar’i binafsih atau ujub terhadap diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada tindak menyepelekan orang lain, lalu berlaku secara tidak objektif. Merasa paling benar dan paling baik dapat membawa seseorang tak adil dalam menyikap segala hal. Ujub juga cenderung mengabaikan bahwa tiap nikmat datang dari Allah subhânahu wata’âlâ.   


Ketiga, sederhana saat kaya maupun miskin. Hal ini menjadi ciri dari kedewasaan seseorang dalam memaknai kekayaan. Kekayaan tidak diartikan sebagai tujuan (ghâyah) melainkan sebatas sarana (wasîlah), karenanya penggunaannya pun seyogianya disesuaikan dengan kebutuhan belaka. Sederhana bukan berarti kekurangan, apalagi berlebihan. Ia berada di antara sangat irit (pelit) dan mubazir (pemborosan dan hura-hura). Kesederhanaan juga merupakan cermin dari kepribadian yang sanggup membedakan antara “kebutuhan” dan “keinginan”. Apa yang diinginkan seseorang tak selalu identik dengan keperluannya. Karena kebutuhan senantiasa mempunyai porsi sementara keinginan luas tak terbatas.   


Anjuran hidup sederhana dalam kondisi apa pun sangat relevan bila dikaitkan dengan hakikat harta yang sejatinya karunia Allah. Di dalamnya ada hak untuk dirinya juga untuk orang lain. Bagi orang miskin, kesederhanaan adalah strategi untuk tetap bersyukur dan wajar dalam berekonomi. Bagi orang kaya, kesederhanaan adalah pertanda ia tak tenggelam dalam gemerlap duniawi sekaligus momen berbagi harta lebih yang ia miliki. Jangan sampai kita menjadi sangat kikir (syuhhun muthâ‘), yang menjadi salah satu perilaku merusak dalam hadits di atas. Bakhil pun tak mesti hanya dilakukan orang yang berharta melimpah. Karena bakhil selain berkaitan dengan kekayaan, juga perbuatan seseorang.   


Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:


   إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ الشُّحَّ 


“Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang sebelum kamu” (HR Abu Dawud).

 

Ketiga hal di atas berhubungan saling terkait antara satu dengan yang lain. Meski terklasifikasi masing-masing tiga sikap, namun sejatinya semua bermuara pada pilihan apakah kita memosisikan Allah sebagai tempat bergantung dan muara tujuan, ataukah selain-Nya, termasuk orang lain, kekayaan, dan ego diri sendiri.

 

Editor: Abdul Manap
Sumber: NU Online
 


Ubudiyah Terbaru