• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 28 Maret 2024

Syariah

Naik Haji Saat Iddah Karena Ditinggal Suami, Bagaimana Hukumnya?

Naik Haji Saat Iddah Karena Ditinggal Suami, Bagaimana Hukumnya?
Naik Haji Saat Iddah Karena Ditinggal Suami, Bagaimana Hukumnya? (Foto: NUO).
Naik Haji Saat Iddah Karena Ditinggal Suami, Bagaimana Hukumnya? (Foto: NUO).

Pergi haji merupakan ibadah yang di dambakan oleh setiap umat Muslim. Akan tetapi, untuk menunaikan ibadah tersebut, membutuhkan perjuangan dan kesabaran yang sangat luar biasa. Seperti terbatasnya kouta haji, yang mengharuskan calon jamaah haji Indonesia untuk menunggu lima sampai sepuluh tahun lamanya.


Mungkin kita tidak tahu bagaimana nasib kita lima sampai sepuluh tahun kedepan, apakah masih diberi kesehatan, atau masih diberi umur yang panjang. Bisa saja misalnya, tiba-tiba ketika akan berangkat haji, pasangan suami istri ditinggal mati oleh suaminya. Nah, jika seperti ini, bagaimana hukumnya? 


Seperti yang kita ketahui, bahwa masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana yang di tegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 234:


وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ -البقرة: 234


“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 234)


Mayoritas ulama menyatakan bahwa wanita yang sedang dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya, harus tinggal di rumahnya, dan tidak boleh keluar untuk pergi haji dan lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam salah satu keterangan:


وَجُمْلَتُهُ أَنَّ الْمُعْتَدَّةَ مِنَ الْوَفَاةِ لَيْسَ لَهَا أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْحَجِّ وَلَا إِلَى غَيْرِهِ رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَبِهِ قَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَالْقَاسِمُ وَمَالِكٌ وَالشَّافعي وَأَبُو عُبَيْدٍ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَالثَّوْرِيُّ


“Secara global perempuan yang sedang menjalani masa iddah karena ditinggal mati suaminya tidak boleh perg haji dan selainnya. Pandangan ini diriwayatkan dari sayyidina ‘Umar ra dan ‘Utsman ra. Pandangan ini kemudian dikemukakan oleh Sa’id bin al-Musayyab, al-Qasim, Malik, asy-Syafi’i, Abu ‘Ubaid, kalangan rasionalis (pengikut Madzhab Hanafi, pent) dan ats-Tsauri” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Bairut-Dar al-Fikr cet ke-1, 1405 H, juz, 9, h. 184)


Mereka berdalalil dengan perintah Rasulullah SAW kepada Furai'ah binti Malik bin Sinan yang ditinggal mati suaminya, agar tetap tinggal di rumahnya sampai selesai masa iddahnya. Kemudian ia pun menjalani masa iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. 


امْكُثِي فِي مَسْكَنِ زَوْجِكِ الَّذِي جَاءَكِ فِيهِ نَعْيُهُ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ قَالَتْ فَاعْتَدَدْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرً-رواه أحمد


“Tinggallah di rumah suamimu dimana datang di dalam rumah tersebut berita duka kematiannya kepadamu sampai selesai masa iddah. Maka aku pun menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari di rumah tersebut” (H.R. Ahmad).


Namun, menurut pandangan 'Atha' dan Al-Hasan Al-Basri, memperbolehkan seorang wanita yang sedang dalam masa iddah untuk menunaikan ibadah haji. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm. 


وَمِنْ طَرِيقِ إِسْمَاعِيلَ ابْنِ إِسْحَاقَ نَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ نَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ عَنْ حَبِيبِ الْمُعَلِّمِ سَأَلْتُ عَطَاءً عَنِ الْمُطَلَّقَةِ ثَلَاثًا أَوِ الْمُتَوَفَّى عَنْهَا أَيَحُجَّانِ فِى عِدَّتِهِمَا قَالَ نَعَمْ، وَكَانَ الْحَسَنُ يَقُولُ مِثْلَ ذَلِكَ


“Dari jalur Isma’il Ibn Ishaq telah mengkabarkan kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah telah mengkabarkan kepadku ‘Abd al-Wahhab ats-Tsaqafi dari Habib al-Mu’allim, saya pernah bertanya kepada ‘Atha` tentang perempuan yang ditalak tiga kali (talak bain) atau perempuan yang ditinggal mati suaminya, apakah keduanya boleh menunaikan ibadah haji ketika masih dalam masa iddahnya? ‘Atha` pun menjawab, ya (boleh). Dan al-Hasan al-Bashri juga berpandangan sama dengan ‘Atha’. (Ibnu Hazm, al-Muhalla, Mesir-Idarah ath-Thiba’ah al-Munirah, cet ke-1, 1352 H, juz, 10, h. 285).


Salah satu dalil yang dijadikan rujukan pandangan kedua adalah kasus Sayyidah 'Aisyah yang keluar bersama saudaranya yaitu Ummu Kultsum ketika suaminya (Ummu Kultsum) Thalhah bin Ubaid menuju Mekah untuk melakukan umrah.


وَذَكَرَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ قَالَ خَرَجَتْ عَائِشَةُ بِأُخْتِهَا أُمِّ كُلْثُومٍ حِيْنَ قُتِلَ عَنْهَا زَوْجُهَا طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ إِلَى مَكَّةَ فِي عُمْرَةٍ، وَكَانَتْ تُفْتِي الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا بِالْخُرُوجِ فِي عِدَّتِهَا


“’Abdurrazzak mengatakan, Ma’mar telah menceritkan kepada kami dari az-Zuhri dari ‘Urwah ia berkata, sayyidah ‘Aisyah ra pernah keluar dengan saudara perempuannya yaitu Ummi Kultsum ketika Thalhah bin ‘Ubaidillah suami Ummi Kultsum terbunuh, ke Makkah untuk melakukan umrah. Dan sayyidah ‘Aisyah telah memfatwakan kebolehan keluar rumah bagi seorang perempuan yang dalam masa iddah karena ditinggal mati suaminya.”. (Lihat al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Kairo-Dar al-Kutub al-Mishriyyah, cet ke-2, 1384 H/1963, juz, 3, h. 177)


Diantara kedua pandangan diatas, yang dianggap kuat adalah pandangan dari mayoritas ulama. Karena didukung oleh dalil yang shahil dan kuat. Namun, dalam salah satu kaidah fiqh dikatakan:


لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْتَمَعُ عَلَيْهِ


“Pandangan lain yang masih diperselisihkan tidak boleh serta merta diingkari, sementara pandangan yang telah disepakati ulama tidak boleh diingkari dengan yang sebaliknya”. (Jalaluddin as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-Dar al-Fikr, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 158).


Jika dilihat dari kasus di atas mengenai hukum boleh atau tidaknya seorang wanita yang sedang dalam masa iddah menunaikan ibadah haji, masih menjadi perselisihan diantara para ulama. Ada yang mengatakan boleh, dan ada yang mengatakan tidak boleh.


Akan tetapi, walaupun kedua pandangan tersebut dianggap lemah (marjuh), tidak serta merta dapat kita nafikan begitu saja. Karenanya, pandangan kedua bisa dijadikan rujukan dengan berbagai pertimbangan hajat, seperti sudah bayar ongkos berangkat haji dan biaya lain yang tidak sedikit.


Isna Fitriani, Mahasiswi KPI UIN Sunan Gunung Djati Bandung
(Tulisan ini disari dari Nu Online dengan sedikit perubahan pada tulisan).


Syariah Terbaru