• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 5 Mei 2024

Syariah

Metode Berpikir Ilmiah tentang Syariat Islam Melahirkan Mazhab Fiqih (Bagian II)

Metode Berpikir Ilmiah tentang Syariat Islam Melahirkan Mazhab Fiqih (Bagian II)
ilustrasi https://id.pinterest.com/
ilustrasi https://id.pinterest.com/

Oleh KH Imam Syamsuddin 
Para sahabat Nabi SAW yang sebagian besar berdiam di sekeliling Rasullullah, menetap di kota Madinah dan sekitarnya, -setelah wafat Rasulullah SAW- satu demi satu ada yang berpindah meninggalkan kota tempat tinggalnya. Karena panggilan tugas, sebagai melakukan tugas dakwah dan sebagian lagi menduduki tugas kepemimpinan didaerah-daerah yang telah menerima Islam. Mereka ditempatkan di Irak, Suriah, Yaman, Mesir dan daerah-daerah lainnya.
Sebagai pemimpin masyarakat, para sahabat menjadi tempat meminta fatwa atau pendapat mengenai sesuatu kasus dalam penerapannya dengan hukum-hukum Islam. Banyak dijumpai kasus-kasus baru yang selama ini tidak mereka jumpai ketika mereka masih ada di Madinah atau Makkah. Pertanyaan masyarakat itu sudah tentu harus ditanggapi dengan bijaksana disamping kewajiban memelihara tegaknya hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Baca: Metode Berpikir Ilmiah tentang Syariat Islam Melahirkan Mazhab Fiqih (Bagian I)

Jika ditemukan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maka itu tidak ada persoalan. Jika tidak ditemukan dalam sumber hukum Islam tersebut maka para sahabat menempuh suatu metode baru, yakni ijtihad. Metode ijtihad berarti suatu usaha menemukan bentuk hukum terhadap suatu kasus yang secara harfiah tidak dijumpai dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi hasil penemuannya harus merupakan suatu bentuk hukum yang sama sekali tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum itu sendiri ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Oleh karena demikian berat pekerjaan berijtihad, tentu tidak semua sahabat merasa mampu dan berani menempuhnya. Pasalnya setiap orang yang melakukan ijtihad harus mampu meneliti bahwa suatu kasus yang menjadi pokok persoalan memang secara harfiah tidak dijumpai dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada tingkat selanjutnya ia harus bisa memahami serta melihat suatu makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tidak bisa dipahami atau dilihat oleh orang awam. 

Selanjutnya ia harus mencari qiyas lain yang ada persamaannya dengan kasus yang telah jelas diketemukan dalilnya. Barulah selanjutnya ia menggali hukum “baru” yang terkandung dalam sumber hukum itu sendiri tanpa menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hasil penemuan penggalian hukum itulah mazhab namanya, dan itulah mula-mula sejarah lahirnya mazhab di kalangan sahabat.

Adapun lain-lain sahabat yang merasa tidak mampu melakukan ijtihad berhubung dengan tingkat kecakapannya di bidang hukum yang terbatas, lalu mengikuti saja hasil ijtihad dari salah satu sahabat yang dipercayainya. Mereka ini disebut muqallid, artinya orang ber-taqlid atau pengikut salah satu mujtahid (orang yang berijtihad) yang dipilihnya.

اَلتَّقْلِيْدُ هُوَ الْعَمَلُ بِقَوْلِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةِ دَلِيْلِهِ. (تنوير القلوب ص : ٣٩٦)

Taqlid ialah mengamalkan pendapat seorang mujtahid dengan tidak mengetahui dalilnya”. (Tanwirul Qulub, hal: 396)

Di kalangan para sahabat, ada yang jadi muqalid atau pengikut Sayyidina ‘Umar Ibnul Khatthab, ada yang menjadi pengikut Sayyidina Ali bin Abi Thalib, tetapi juga banyak yang ber-taqlid kepada Abdullah bin Umar.

Istilah ijtihad memang sudah ada di zaman Nabi Muhammad SAW masih hidup. Imam Tirmidzi menceritakan sebuah hadits:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنْ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِى...؟ فَقَالَ اَقْضِى بِمَا فِى كِتَابِ اللهِ – قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِىى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ اجْتَهِدُ رَأْيِى – قَالَ : اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْى وَ فَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (سنن الترمذى، جزء.٣ صحيفة ٦١٦)

“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengutus sahabat Muaz ke negeri Yaman. Nabi bertanya kepada Muaz: “Bagaimana caramu nanti jika harus memutus suatu perkara?” “Akan saya ambil keputusan menurut apa yang tersebut di dalam Al-Qur’an!” jawab Muaz. “Jika hal itu tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an?” bertanya Nabi. “Saya akan mengambil keputusan sesuai dengan Sunnah Rasulullah”, jawabnya. “Kalau di dalam Sunnah Rasulullah tidak diketemukan?”, Nabi bertanya. “Saya akan melakukan ijtihad sesuai dengan caraku!” jawab Muaz. “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah SAW,” jawab Nabi”. (Sunan Tirmidzi, juz.3 hal.616)

Demikianlah cara yang ditempuh oleh kalangan sahabat Nabi dalam berijtihad, mereka berijtihad karena hendak menggali suatu hukum terhadap suatu kasus atau perkara yang tidak secara jelas disebut di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak secara jelas disebut di dalam kedua sumber hukum itu disebabkan karena tidak terlihat menurut orang awam, tetapi sebenarnya ada dan bisa dilihat oleh orang yang telah memiliki syarat-syarat berijtihad. Oleh sebab itu tidaklah mungkin bahwa hasil ijtihadnya menyalahi Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Jelaslah kalau demikian, bahwa di dalam Islam terjamin prinsip kemerdekaan berpikir, berpendapat dan melahirkan suara. Sudah barang tentu dengan syarat selama tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Bersambung)
 

Penulis sampai akhir hayatnya adalah Wakil Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Sukabumi
 


Syariah Terbaru