Mengupas Konsekuensi Hukum dan Dosa di Balik Praktik Suap Hakim
Rabu, 30 Oktober 2024 | 07:00 WIB
Pencegahan praktik suap dalam dunia peradilan merupakan tantangan besar bagi negara. Dalam sistem hukum yang berlaku, tindakan menyuap hakim adalah tindak pidana yang diatur secara tegas dalam undang-undang, beserta sanksi bagi pemberi dan penerima suap.
Sejak dahulu, praktik suap telah menjadi masalah klasik yang sering ditemukan dalam dunia peradilan. Banyak kasus dalam sejarah yang menunjukkan bagaimana keadilan tergadaikan oleh oknum-oknum yang tidak jujur. Meskipun berbagai upaya pemberantasan suap terus dilakukan, praktik ini masih saja terjadi hingga kini.
Dalam praktiknya, upaya menyuap hakim memiliki dampak yang luas dan merusak. Tindakan ini tidak hanya merugikan pihak-pihak yang berperkara, tetapi juga merusak tatanan sosial dan ekonomi. Korupsi di bidang peradilan dapat memicu ketidakstabilan politik, melemahkan investasi, dan memperlebar kesenjangan sosial.
Di Indonesia, kasus suap hakim merupakan masalah serius yang terus menjadi perhatian publik. Praktik korupsi ini tidak hanya meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, tetapi juga menghambat penegakan hukum yang adil dan bermartabat.
Mengutip tulisan Muhammad Zainul Millah pada laman NU Online, dalam kajian fiqih, suap disebut dengan istilah risywah, yaitu harta yang diberikan kepada hakim dengan tujuan agar hakim menetapkan hukum yang tidak benar, atau agar membatalkan hukum yang benar. Hukum tindakan suap, baik bagi pemberi atau pun penerima, adalah diharamkan, karena telah jelas larangannya dalam Al-Qur’an, hadits, dan ijma’, serta termasuk dari bagian memakan harta orang lain dengan batil.
Sebagaimana dijelaskan oleh Abu Sa’id Muhammad Al-Khadimi dalam Kitab Buraiqah Al-Mahmudiyah (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2011) juz V, halaman 71. Dalam hadits disebutkan:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ
Artinya: “Allah melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap dalam hukum.” (HR. Ibnu Hibban) Syekh Zakariya Al-Anshari menjelaskan bahwa hukum haram dan dosa tersebut berlaku baik untuk hakim yang menerima suap, ataupun pihak yang memberi suap.
فَصْلٌ تَحْرُمُ عَلَيْهِ الرِّشْوَةُ : أَيْ قَبُولُهَا وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لَهُ لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوْ لِيَمْتَنِعَ مِنْ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ …( وَيَأْثَمُ مَنْ أَرْشَى ) الْقَاضِي لِلْخَبَرِ السَّابِقِ
Artinya: "Fasal: Diharamkan bagi hakim suap. Yaitu menerimanya. Suap yaitu sesuatu yang diberikan kepadanya untuk menetapkan hukum secara tidak benar atau untuk membatalkan hukum dengan benar... (dan orang yang menyuap hakim juga berdosa) karena hadits sebelumnya.” (Asnal Mathalib [Beirut: Darul Kutub Al-Imiyah, 2012] ju IX, halaman 203)
Keharaman suap atau risywah ini tidak hanya untuk menetapkan hukum yang yang salah. Suap juga diharamkan untuk sesuatu yang menjadi kewajiban hakim yaitu memutuskan kebenaran. hal ini disampaikan oleh Al Ghazali:
الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ أَوْ عَاجِلٍ ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ
Artinya: “Harta jika diserahkan untuk tujuan akhirat maka disebut shadaqah, atau untuk tujuan dunia dan itu berupa harta, maka disebut hibah bits tsawab, atau untuk hal yang diharamkan atau yang diwajibkan, maka disebut risywah." (Ihya’ Ulumiddin [Beirut: Darul Fikr, 2018] juz III, halaman 268)
Jadi, keharaman suap tidak hanya untuk menetapkan hukum yang salah. Bahkan untuk menetapkan hukum yang benar pun juga tergolong risywah yang diharamkan. Seperti ada seorang hakim yang tidak mau memutuskan hukum yang benar kecuali diberi suap, maka praktik ini juga diharamkan.
Selain itu, Ibnu Hajar Al-Haitami juga menjelaskan bahwa suap atau risywah termasuk dari dosa besar, karena terdapat ancaman keras dan laknat dari Allah swt bagi pelaku tindakan suap. sebagaimana disampaikan dalam kitab Az-Zawajir 'An Iqtiraf Al-Kabair (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013) juz II, halaman 263.
Penjelasan ini cukup jelas menyampaikan bahwa suap merupakan dosa besar dan tindakan yang diharamkan dalam Islam, baik bagi hakim yang menerima, maupun pihak yang memberikan. Semoga cacatan ini dapat meningkatkan kehati-hatian kita untuk menghindari dan mencegah praktik suap yang terjadi di sekitar kita.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menghidupkan Malam di Bulan Suci Ramadhan dengan Amal Saleh
2
Inilah Rincian Zakat Fitrah Tahun 2025 di Kota dan Kabupaten se-Jawa Barat
3
Libur Lebaran 2025 untuk Sekolah Madrasah Diperpanjang 20 Hari, Menag: Bisa Kurangi Kemacetan
4
Operasi Pasar Murah PCNU Kabupaten Cirebon: Upaya Kendalikan Harga Bahan Pokok Jelang Idulfitri
5
RMINU Jabar Gelar Safari Ramadhan Volume 4 Bersama LDNU dan LPBHNU
6
Al-Hiyam: Cinta yang Mengembara Tanpa Akhir
Terkini
Lihat Semua