A Deni Muharamdani
Kontributor
Upaya untuk memahami akan hadirnya kehidupan baru setelah kematian mudah untuk kita temukan. Kita tinggal tengok saja isi-isi teks kitab suci keagamaan masing-masing. Di sana akan ditemukan berbagai argumen atau kasus bagaimana kehidupan manusia di dunia ini hanya bersifat sementara, adapun kehidupan yang abadi hanya ada di akhirat kelak nanti.
Belum lagi penemuan atau riset-riset yang sifatnya ilmiah seolah menambah daftar keyakinan bahwa kehidupan akhirat merupakan tempat yang kekal nan abadi sebagai persinggahan terakhir umat manusia.
Baca Juga
Jangan Cemaskan Rezeki Esok
Namun, lain halnya dengan para penganut ateis. Dalam memandang realita kehidupan, mereka lebih condong memahami kehidupan sebagai sesuatu yang terjadi apa adanya. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, menurut mereka terjadi dengan sendirinya, terjadi begitu saja, tidak ada campur tangan siapapun.
Bagi penganut ateis, tidak begitu penting apakah ada lagi kehidupan setelah kematian atau tidak? Bagi mereka, hidup di dunia adalah hidup segala-galanya dan sekali-kalinya. Mereka hanya beramal sesuai dengan hasrat untuk memenuhi kebutuhan duniawi saja.
Fenomena yang demikian sebenarnya sudah lama diberitahukan sebelum semua agama di dunia diturunkan, termasuk Islam. Misalnya, banyak teks kitab suci (dalam hal ini misalnya Al-Qur'an) yang banyak menjelaskan keraguan manusia akan hadirnya kehidupan pasca kematian dan fesimistis manusia akan adanya hari kebangkitan dan kehidupan akhirat.
Misalnya pada QS al-Baqarah [2] ayat 259 yang menceritakan bagaimana seseorang dari Bani Israil (Uzair) yang awalnya menyangsikan hari kebangkitan, namun setelah ia dimatikan Tuhan selama 100 tahun sementara perbekalan-perbekalannya masih utuh dan kendaraan Unta miliknya masih hidup, maka ia baru sadar dan yakin akan adanya hari kebangkitan. Ia juga sadar bahwa Tuhanlah yang maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk kekuasaan dalam menghidupkan/membangkitkan kembali manusia setelah mati.
Dari ayat di atas dapat diambil hikmah bahwa di masa lampau, pada masa belum sempurnanya agama, kadang untuk membuktikan sesuatu yang di luar nalar manusia, Allah SWT memberikan satu peristiwa yang logis dan masuk akal agar manusia percaya akan adanya hari kebangkitan. Bahkan tidak jarang juga untuk menumbuhkan keyakinan manusia akan adanya hari kebangkitan, Allah SWT memberikan perumpamaan yang sulit dicerna oleh akal.
Begitu juga yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS ketika ia menyaksikan bagaimana Allah SWT memberi perumpamaan peristiwa akan adanya hari kebangkitan. Disebutkan dalam QS al-Baqarah [2] ayat 260, Nabi Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati." Allah berfirman: "Belum percayakah engkau?" Dia (Ibrahim) menjawab, "Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang (mantap). "Dia (Allah) berfirman, "Kalau begitu ambillah empat ekor burung , lalu cincanglah olehmu kemudian letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera. "Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (QS al-Baqarah [2]: 260).
Berbeda dengan kasus pada seorang Bani Israil, permintaan Nabi Ibrahim AS bukan atas ketidak yakinannya akan adanya hari kebangkitan, namun lebih kepada pertimbangan atas ketenangan jiwa yang ia inginkan. Sementara peristiwa yang dialami Bani Israil didasari pada keraguan akan adanya hari kebangkitan.
Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang menginformasikan keraguan bahkan ketidak yakinan manusia akan adanya hari kebangkitan. Redaksi ayat "Apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah benar kami akan dibangkitkan (kembali), menjadi diksi untuk menggambarkan para kaum ateis, kafir dan musyrikin yang ragu akan hari kebangkitan.
Alhasil, kemampuan seseorang dalam meyakini akan adanya hari kebangkitan dipengaruhi oleh sejauh mana ia mampu memahami teks-teks kitab suci dan fenomena alam yang terjadi di dunia ini. Jika dirasa tidak mampu, maka jalan keluarnya yakni dengan mengikuti pemahaman atau pendapat-pendapat yang telah digariskan oleh para ulama, ilmuwan, bijak bestari, maupun para intelektual. Itulah perlunya manusia hidup beragama.
Wallahu'alam.
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 1446 H: Menghidupkan Jiwa dalam Keikhlasan dan Kepedulian pada Sesama di Hari Raya
2
Resmi Dilantik, Lasqi Majalengka Siap Gairahkan Seni Qasidah dari Desa hingga Nasional
3
Khutbah Idul Adha Basa Sunda: Kurban Janten Wujud Kapatuhan sarta Tarekah Keur Ngadeketkeun Diri ka Alloh
4
Sebanyak 73 Peserta Berkumpul di Gedung SMP Ma'arif NU Nurul Hikmah Ikuti Makesta II IPNU-IPPNU Cipaku
5
Memahami Makna Hari Tarwiyah, Hari Pertama Puncak Ibadah Haji
6
Prediksi Posisi Timnas Indonesia Jika Kalah, Seri Maupun Menang Lawan China di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia
Terkini
Lihat Semua