• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Nasional

Muktamar Lampung

Pandangan Fikih Terhadap ODGJ Jadi Pembahasan Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah di Muktamar

Pandangan Fikih Terhadap ODGJ Jadi Pembahasan Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah di Muktamar
Konferensi Pers Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah oleh Ketua Komisi KH Abdul Moqsith Ghazali, Sekretaris dan Anggota Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah Muktamar NU KH Mahbub Maafi dan KH Jadul Maula. (Foto: NUO).
Konferensi Pers Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah oleh Ketua Komisi KH Abdul Moqsith Ghazali, Sekretaris dan Anggota Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah Muktamar NU KH Mahbub Maafi dan KH Jadul Maula. (Foto: NUO).

Jakarta, NU Online Jabar
Ketua Komisi Bahtsul Masail Maudlhu'iyah, KH Abdul Moqsith Ghazali mengungkapkan, salah satu bahasan yang akan diangkat Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) mendatang adalah pandangan fikih terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Hal tersebut diungkapkan pada saat memberikan konferensi pers di Gedung PBNU Jakarta Pusat, Jumat (3/12).

 

“Ini bentuk tanggung jawab NU untuk memberikan advokasi teologis terhadap orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Memang ada yang disebut ODGJ, orang dengan gangguan jiwa, dan orang dengan masalah kejiwaan, itu dibedakan. Tetapi kali ini yang akan kita bahas adalah mengenai ODGJ,” ungkapnya.

 

Menurutnya, pandangan fikih itu juga berkaitan soal agama agama menagih tanggung jawab negara agar terlibat dalam mengadvokasi dan memberikan jaminan hifdzunnafs (perlindungan jiwa) terhadap ODGJ.

 

“Karena itu, NU merasa berkepentingan untuk membahas tema ini yang menyentuh kepada hak-hak dasar warga negara. Kita tahu tidak seluruh orang yang mengalami gangguan kejiwaan itu memiliki kemampuan secara material untuk membeli obat misalnya,” tutur Kiai Moqsith.

 

Ia juga menegaskan, negara harus turun untuk memberi garansi agar ODGJ di Indonesia dapat memiliki akses terhadap obat yang murah. Bahkan, negara harus bisa mengambil tanggung jawab lebih besar untuk menggratiskan obat-obatan yang dibutuhkan oleh ODGJ. “Karena (ODGJ) ini jumlahnya cukup besar. Orang dengan gangguan kejiwaan dengan segala variasinya, ada skizofrenia, bipolar. Itu masalah yang akan kita bahas nanti di muktamar,” tandas Kiai Moqsith.

 

Data Permasalahan Kesehatan Jiwa
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, terdapat 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan 12 juta orang mengalami depresi di usia yang sama.  

 

Berdasarkan Sistem Registrasi Sampel Badan Litbangkes 2016 diperoleh data bunuh diri per tahun sebanyak 1.800 orang atau setara dengan lima orang bunuh diri setiap harinya. Kemudian ada 47,7 persen korban bunuh diri berada pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif. Saat ini, Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar satu dari lima penduduk. Artinya sekitar 20 persen populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa.

 

Selain itu,hingga kini belum semua provinsi punya rumah sakit jiwa sehingga tidak semua ODGJ mendapatkan pengobatan yang seharusnya. Permasalahan lain berada pada terbatasnya sarana prasarana dan tingginya beban akibat masalah gangguan jiwa.  

 

Kemudian, sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang. Bahkan, sampai saat ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa hanya memiliki 1.053 orang. Hal tersebut memberikan arti bahwa satu psikiater bisa melayani sekitar 250 ribu penduduk. Masalah ODGJ di Indonesia juga terkait dengan stigma dan diskriminasi.  

 

Editor: Muhammad Rizqy Fauzi
 


Nasional Terbaru