JPPRA Kecam Dugaan Tindak Kekerasan terhadap Santri di Aceh Barat
Jumat, 4 Oktober 2024 | 15:34 WIB

Koordinator Sekretariat Nasional (JPPRA), Kiai Yoyon S. Amin, M. Hum, saat membuka acara Diskusi Kelompok Terarah (FGD) tentang Pencegahan Kekerasan Anak di Pesantren bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) di Pondok Pesantren Ketitang Cirebon, Jumat, 23 Agustus 2024. (Foto: ist)
Cirebon, NU Online Jabar
Jaringan Pondok Pesantren Ramah Anak (JPPRA) mengecam peristiwa dugaan tindak kekerasan yang terjadi di salah satu pondok pesantren di Aceh Barat. Seorang santri berinisial T (15) diduga menjadi korban kekerasan fisik yang dilakukan istri pimpinan pesantren NN (40), pada Senin (30/9/2024).
Pelaku menghukum korban karena kedapatan merokok, dengan menyiramkan air yang dicampur cabai ke tubuhnya, setelah sebelumnya menggunduli kepala korban. Aksi pelaku terekam dalam sebuah video yang kemudian viral di media sosial.
Akibat dari tindakan itu, korban mengalami luka fisik dan trauma, sehingga harus menerima perawatan intensif. Menanggapi peristiwa tersebut, JPPRA melalui Koordinator Nasional, Kiai Yoyon Syukron Amin, mengecam tindakan tersebut.
Baca Juga
Agama Menolak Kekerasan
“Kami sangat prihatin dengan kejadian ini dan mengecam keras segala bentuk kekerasan di lingkungan pesantren. Pesantren harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk belajar, bukan tempat di mana mereka menjadi korban kekerasan,” ujar Kiai Yoyon, Jumat (4/10/2024).
Ia menyebut bahwa tindakan kekerasan bukan hanya melanggar hak-hak anak yang dijamin oleh Undang-Undang, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan kasih sayang dan pendidikan berbasis akhlak.
"Kami mendesak para pemangku kebijakan, baik di tingkat pesantren maupun pemerintah, untuk segera melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang ada. Pendidikan harus lebih mengedepankan pendekatan humanis dan dialogis, sesuai dengan prinsip Islam yang mengajarkan rahmat bagi semesta alam," tegasnya.
Adapun berikut beberapa poin pernyataan sikap JPPRA atas kejadian tersebut:
1. Menolak segala bentuk kekerasan terhadap santri di lingkungan pesantren, baik fisik maupun psikis. Kekerasan tidak pernah dapat dibenarkan sebagai bentuk disiplin dalam lembaga pendidikan, terutama pesantren yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan mendidik.
2. Menghormati hak-hak anak sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan salah, eksploitasi, serta kekerasan fisik dan mental.
3. Mendorong proses hukum yang adil atas tindakan kekerasan ini. Kami mendukung penuh langkah-langkah aparat penegak hukum dalam menangani kasus ini dengan adil dan transparan, serta memastikan pelaku mendapatkan sanksi yang sesuai dengan hukum yang berlaku.
4. Mendesak evaluasi sistem pendidikan pesantren, khususnya terkait metode pendisiplinan santri. Diperlukan pendekatan yang lebih manusiawi dan berbasis pendidikan, yang dapat membangun karakter santri tanpa melibatkan kekerasan.
5. Mengajak seluruh pesantren di Indonesia untuk memperkuat komitmen mereka dalam menciptakan lingkungan yang ramah anak. Pendidikan berbasis kasih sayang dan dialog, harus menjadi prioritas utama dalam membentuk generasi yang berakhlak mulia dan berkualitas.
“Kami berharap kasus ini menjadi momentum untuk memperbaiki sistem di pesantren demi menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif bagi para santri,” tegasnya.
Terpopuler
1
Amalan 10 Hari Pertama dan 6 Hari Istimewa di Bulan Dzulhijjah
2
Kunjungi ITB, PWNU Jabar Bahas Penguatan Karakter dan Akses Pendidikan bagi Santri
3
Ansor Depok Dukung Camat Non-Muslim Pertama, Christine Desima: Simbol Toleransi Kota Depok
4
KH Amin Said Husni Ingatkan Pengurus NU Harus Betul-Betul Mengurus dan Bukan Sekadar Hadir di Rapat
5
PCNU Cianjur Terima Kunjungan BRI: Bahas Penguatan Ekonomi dan Program Sosial
6
Kemenag Umumkan 1.223 Peserta Lolos Seleksi Nasional ke Universitas Al-Azhar 2025, Download di Sini
Terkini
Lihat Semua