Opini

Menegakan Keadilan Anggaran Pendidikan di Jawa Barat

Rabu, 4 Juni 2025 | 10:02 WIB

Menegakan Keadilan Anggaran Pendidikan di Jawa Barat

Ilustrasi: NU Online/freepik

Oleh Saepuloh
Ketidakharmonisan perlakuan pemerintah terhadap sekolah negeri dan swasta dari sisi Pendidikan telah lama diproklamirkannya sebagai isu kebijakan klasik di daerah, terutama terkait pendanaan operasional sekolah. Fenomena ini terbukti dalam skema bantuan pendanaan yang berbeda yang diterima oleh sekolah negeri dan swasta.

 

Skema yang berbeda ini akibatnya menghasilkan karakteristik yang berbeda. Misalnya saja, sekolah negeri mendapatkan Bantuan Biaya Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) secara rutin. Sedangkan sekolah swasta menerima program Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) berbasis hibah dan fleksibel (bukan tetap atau rutin).

 

Dua Skema, Dua Nasib

Perbedaan ini menyebabkan perbedaan nasib antara negeri dan swasta. Ini berhubungan dengan strategi yang perlu diterapkan untuk keberlangsungan Pendidikan.

 

Contohnya, skema BOPD adalah rutin, terencana dan berkesinambungan, dan penggunaannya diselaraskan oleh regulasi dan teknis berkepanjangan, sekolah negeri tidak perlu khawatir tentang progam dan anggaran Pendidikan tahunan.

 

Padahal sekolah swastra harus berpikir lebih keras karena BPMU memiliki bentuk hibah. Kebijakan dan seleksi tahunan menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi sekolah swasta. Hal ini tentunya telah menciptakan ketidakpastian dan kesulitan dalam merencanakan layanan Pendidikan secara maksimal.

 

Kelemahan BPMU dan BOPD Skema: Mengapa Perlu Diganti BOSDA

Baik BPMU atau BOPD timbul dari niat baik pemerintah daerah untuk mendukung pembiayaan pendidikan. Keduanya memiliki kelemahan yang mendasar, jika tidak diatasi, justru memperdalam ketimpangan antarsatuan pendidikan.

 

Kekurangan BPMU (terhadap sekolah swasta):

1. Tidak berlaku rutin dan berkelanjutan. Berupa hibah tahunan yang perlu diajukan ulang, sehingga sekolah tidak bisa menyusun perencanaan jangka panjang secara stabil.

2. Prosedural kompleks dan birokratis. Sekolah perlu melalui berbagai tahapan administratif yang membosankan dan menghabiskan waktu.

3. Nilai bantuan jauh dari kebutuhan riil. Nominal BPMU kerap stagnan dan tidak menggambarkan kebutuhan operasional aktual sekolah.

4. Rawan intervensi politik. Sebagai hibah statusnya, BPMU ekstrem terhadap tarik menarik menyangkutkan.

 

Kekurangan BOPD (untuk sekolah negeri):

1. Berbasis formula statis. Tidak mempertimbangkan variasi kebutuhan riil satuan pendidikan.

2. Penggunaan dana tidak fleksibel. Banyak pembatasan teknis yang menghalangi kreativitas kepala sekolah dalam pengelolaan anggaran.

3. Minim transparansi. Mekanisme alokasi dan evaluasi belum sepenuhnya terbuka ke publik.

 

Dampak dari dualisme skema ini adalah:

1. Struktrul skema pendanaan yang tidak seimbang antara lembaga-lembaga pendidikan. Sekolah negeri dan swasta ditangani secara berbeda dalam hal biaya, meskipun keduanya melakukan fungsi negara dalam kegiatan pendidikan warga.

 

2. Efisiensi gagalnya kebijakan anggaran. Sederhanan kebijakan yang adil dan terintegrasi seharusnya dapat dilaksanakan oleh pemerintah, bukan harus mengelola dua sistem yang berbeda.

 

Transformasi ke BOSDA: Sebuah Langkah Keadilan

Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU)/Bantuan Operasional Pendidikan Daerah (BOPD) Program bantuan keuangan pendidikan tersebut perlu didefinisikan ulang istilah untuk meningkatkan efisiensi dan kesetaraan dalam pencairan dana antara lembaga pendidikan negeri dan swasta.

 

Pemerintah harus menggabungkan dua skema tersebut kedalam Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) sebagai bantuan rutin dalam anggaran belanja daerah tanpa diskriminasi berdasarkan status kelembagaan.

 

Langkah ini tidak hanya memenuhi rasa keadilan tetapi juga menghaous diskriminasi dalam pendidikan sebagaimana disyaratkan dalam:

 

- Pasal 11 Ayat (2) UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, yang menyatakan "Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk memastikan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi."

 

- Pasal 34 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Tata Administrasi Daerah: pendidikan dasar dan menengah merupakan amanat wajib diberikan secara merata dan berkeadilan.

 

- Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 99 Tahun 2019 memungkinkan bantuan pendidikan dirancang untuk dijadikan pengeluaran langsung melalui mekanisme bantuan keuangan rutin.

 

Dasar landasan hukum terhadap program bantuan keuangan di satuan pendidikan sudah ada jauh sebelum BOSDA dicetuskahkan. Masalah yang masih tersisa adalah bagaimana pemerintah provinsi Jawa Barat (terutama Gubernur) bisa membentuk political will untuk mengambil langkah yang adil.

 

Sekolah Swasta, Pilar Pendidikan yang Sering Terlupakan

Sayangnya, sekolah swasta (dengan nama SMA/SMK dan SLB) telah menjadi mitra strategis pemerintah selama bertahun-tahun dengan tugas mencerdaskan anak bangsa. Sekolah swasta di daerah-daerah terutama di jawa barat sudah membantu pemerintah untuk menampung jumlah peserta didik secara signifikan. Bahkan di daerah-daerah yang belum terjangkau oleh sekolah negeri. Oleh karena itu, keadilan perlakuan antar sekolah negeri dan swasta merupakan investasi cerdas bagi perbaikan kualitas Pendidikan daerah.

 

Studi Kasus: Sejarah Seputar Bantuan Dana untuk Sekolah Swasta di Jawa Barat

Pada anggaran tahun 2025, sekolah swasta di Jawa Barat mengalami masalah besar secara keseluruhan terkait dengan pencairan dana pengembangan sekolah. Ini menjadi kontroversi karena penyebaran Surat Edaran yang berlangsung berkenaan dengan percepatan proses penerbitan ijazah bagi sekolah menengah di Jawa Barat.

 

Surat Edaran nomor 3597/PK.03.04.04/SEKRE tanggal 23 Januari 2025, yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, memuat peraturan bahwa sekolah penerima bantuan dana harus memberikan layanan pendidikan gratis terkait dengan penerbitan ijazah. Persyaratan tersebut perlu dilaksanakan dalam rangka memperoleh pencairan dana.

 

Kebijakan tersebut telah menimbulkan kontroversi, terlebih lagi di sekolah swasta karena lembaga pendidikan swasta tersebut belum memiliki sumber dana yang jelas seperti sekolah milik negara.

 

Cuitan paling menonjol dalam program Dana Bantuan BPMU bagi sekolah swasta adalah bagaimana pemwrintah provinsi menentukan hibah dan peraturan yang rumit, dari proposal pengajuan, verifikasi tersendat, sampai berakhir dengan pencairan dana yang sering keterlambatan. Atas alasannya, dana tersebut kadang-kadang tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya di sekolah swasta.

 

"FKKSMKS mendorong BPMU harus jadi BOSDA, Pak Doktor. Negeri dan swasta nilainya sama. BOSDA tidak lagi jadi hibah, seperti BPMU." sebagaimana disampaikan olen Acep Sundjana Djakaria, ketua Forum Komunikasi Kepala SMK Swasta (FKKSMKS) Jabar Chairman via WhatsApp kepada penulis, 31 Mei 2025

 

Sementara itu, Ade Andriyana, Ketua Forum Komunikasi Kepala SMA Swaswa (FKSS) Jabar dikutip dari tintahijau.com, 14 April 2025

"Dekati 95 persen SMA swasta sudah menyerahkan ijazah. Tapi kami berharap ada penyesuaian nominal BPMU menjadi Rp1 juta hingga Rp2,5 juta per siswa untuk menutup biaya operasional sekolah."

 

lebih lanjut H.M. Syauqi, Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kabupaten Bekasi, dikutip dari detik.com, 23 Mei 2025

"Dasarnya, seluruh rakyat Indonesia memiliki hak Pendidikan seperti menerima Pendidikan secara gratis. Ini sepenuhnya adalah pekerjaan pemerintah, tetapi apakah pemerintah telah serta mampu melaksanakan kewajiban tanpa peran sekolah swasta, terutama pesantren? Saya yakin jawabannya tidak"

 

Catatan Kritis

Meskipun demikian, penerapan BOSDA harus diawasi dan dikelola secara adil dan akuntabel. Patutnya tidak terdapat perbedaan teknis, administratif, atau anggaran antara sekolah negeri dan swasta. Pemerintah daerah harus menjamin bahwa besaran bantuan tersebut harus adil, fleksibel dalam pemakaiannya, dan pelaporan tidak membebani lembaga pendidikan swasta maupun negeri.

 

Political Will adalah Kuncinya

Landasan hukum untuk anggaran yang adil dalam pendidikan telah ada. Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) adalah pilihan rasional dan konstitusional. Tantangannya sekarang berada pada political will Gubernur Jawa Barat: apakah mereka benar-benar mendukung sektor pendidikan secara keseluruhan, atau apakah mereka masih terjebak dalam dikotomi negeri-swasta yang ketinggalan zaman? Memberikan perlakuan yang sama kepada sekolah negeri dan swasta adalah indikator utama kepemimpinan progresif dalam pendidikan.

 

Sekolah negeri dan swasta merupakan dua sayap dari sistem pendidikan yang satu di Jawa Barat. Membayangkan mereka semuanya sama sifatnya itu adalah titik awal memiliki sistem pendidikan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. Namun, pelaksanaan BOSDA tersebut memerlukan pengawasan dan pengelolaan yang adil dan akuntabilitas.

 

Agar tidak ada diferensiasi baik secara teknis, administratif, maupun anggaran antara sekolah negeri dan swasta. Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa pendanaannya adil, penggunaannya fleksibel, dan pelaporan tidak membebani lembaga pendidikan swasta dan negeri.

 

Penulis adalah Ketua Pergunu Jabar