Ngalogat

Ilmu Falak dan Tradisi Palintangan Sunda

Selasa, 12 November 2024 | 14:59 WIB

Ilmu Falak dan Tradisi Palintangan Sunda

Pembagian dan penamaan istilah wanci (waktu) dalam sehari semalamnya, yang juga dikenal dalam tradisi palintangan masyarakat Sunda. (Foto: NU Online Jabar)

Sebagai salah satu cabang ilmu yang mengkaji pergerakan dan posisi benda-benda langit, Ilmu Falak berperan penting dalam keseharian umat Islam. Merujuk pada konsep memahami orbit atau jalur perjalanan benda-benda langit, kajian Ilmu Falak dijadikan pegangan umat Islam dalam penentuan waktu dan pelaksanaan ibadah.


Pengamatan terhadap pergerakan benda-benda langit, terutama Bulan, Matahari, dan Bumi, menjadi sandaran penentuan waktu ibadah seperti salat, puasa, salat gerhana, arah Kiblat, rukyat hilal awal bulan Hijriyah, dan lainnya.


Ilmu Falak yang sering kali secara umum berpadanan dengan astronomi, ruang lingkupnya terdiri dari dua bagian utama, yakni falak ilmi (astronomi teoritis) dan falak amali (astronomi praktis). Ilmu Falak termasuk ilmu pengetahuan buhun dalam sejarah peradaban manusia.


Sejak ribuan tahun lalu, umat manusia di berbagai belahan dunia mengamati pergerakan objek-objek langit untuk kepentingan  penentuan waktu, ibadah, tradisi ritual, pelayaran, pertanian, dan sebagainya.


Nah, perjalanan falak atau astronomi itu bersentuhan erat dengan perkembangan peradaban manusia. Mewarnai kosmologi alam pikiran budaya masyarakat hingga kini, termasuk di Tatar Sunda.


Pada masyarakat Sunda dikenal adanya istilah palintangan (perbintangan), maknanya tak jauh beda dengan pengertian falak atau astronomi. Terdapat banyak kawih, permainan anak-anak, peribahasa, cerita, legenda atau mitologi, yang terkait palintangan, dengan hadirnya istilah-istilah benda langit.


Sejak dulu masyarakat Sunda akrab dengan dunia palintangan, seperti adanya pranata mangsa guna menentukan hitungan waktu aktivitas bercocok tanam. Secara tradisional, sebagai saka guru kekuatan lingkungannya, masyarakat Sunda memiliki tiga prinsip dasar, yakni harmonisasi alami, hayati, dan insani.


Berpadunya tiga prinsip itu juga memunculkan adanya keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos. Menjiwai hubungan manusia dengan Yang Kuasa, relasi sesama manusia, serta hubungannya dengan lingkungan alam.


Jauh sebelum ada arloji, masyarakat Sunda menggunakan ciri-ciri waktu atau wanci untuk menentukan-pembagian 24 jam dalam sehari semalamnya. Nama-nama waktu itu biasanya berdasar pada fenomena alam yang dialami diri dan lingkungan alam sekitarnya.


Hal itu menandakan orang Sunda yang akrab dengan kondisi lingkungan alamnya.


Sekadar contoh penamaan wanci itu di antaranya wanci tengah peuting yang menunjukkan jam 24.00, wanci janari gede (jam 02.00), wanci haliwawar (jam 03.00), wanci balebat (jam 05.00), wanci pecat sawed (jam 10.00). Siang hingga sore, ada wanci manceran (jam 12.00), wanci lingsir ngulon (jam 14.00), wanci sariak layung (jam 17.00-18.00), wanci harieum beungeut/sareupna (jam 18.00-18.30), serta wanci sareureuh budak (jam 21.00).


Pun demikian, nama musim terkait keadaan alam, dikenal istilah usum ngijih sebagai tanda waktu musim hujan. Lalu ada usum katiga yang bermakna musim kemarau, serta usum barat yang berarti angin kencang dari barat disertai hujan.


Selain itu, ada usum sasalad, waktu menyebarnya rupa-rupa penyakit menular. Sedangkan usum tigerat dan usum nguyang, semakna dengan usum paceklik, keadaan saat kekurangan makanan atau gagal panen.


Dalitnya palintangan dengan tradisi agraris masyarakat Sunda, juga dijadikan pedoman pada penentuan waktu musim (mangsa) dalam setahunnya. Ada pranata mangsa yang terdiri dari 12 mangsa, yakni Kasa (kahiji, 21 Juni-31 Juli), Karo (kadua, 1-23 Agustus), Katiga (katilu, 24 Agustus-16 September), Kapat (kaopat, 17 September-11 Oktober), Kalima (12 Oktober-7 November), Kenem (kagenep, 8 November-20 Desember), Kapitu (katujuh, 21 Desember-1 Februari), Kawalu (kadalapan, 2-28 Februari), Kasongo (kasalapan, 1-25 Maret), Kasadasa (kasapuluh, 26 Maret-17 April), Desta (kasawelas, 18 April-10 Mei), serta Sada (kaduawelas, 11-21 Juni).


Setiap pranata mangsa itu memiliki ciri tersendiri seperti arah angin, suhu udara, kondisi lingkungan, proses masa tanam, jenis tetumbuhan-palawija yang tumbuh, keadaan sumber air, gangguan hama, juga gambaran kehidupan hewan, baik hewan ternak ataupun bukan hewan ternak.


Adalah jasa besar budayawan Ali Sastramidjaja (Abah Ali) yang telah merintis lahirnya sistem kalender Sunda yang dikenal dengan sebutan Kala Sunda.


Abah Ali menggabungkan saptawara (Radite, Soma, Anggara, Buda, Respati, Sukra, Tumpek) dengan pancawara (Manis, Pahing, Pon, Wage, Kaliwon) yang disebut Pancawuku atau Selapan, menghasilkan 7 x 5 hari = 35 hari. Dari angka 35 itu disusunlah Kala Sunda yang menjadi almanak paling akurat.


Nama-nama bulan dalam Kala Candra Sunda yakni Kartika, Margasira, Posya, Maga, Palguna, Setra, Wesaka, Yesta, Asada, Srawana, Badra, dan Asuji. Sedangkan bulan dalam Kala Surya Sunda ada Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawalu, Kasanga, Kadasa, Hapitlemah, serta Hapitkayu. 


Keunggulan kalender Sunda, baik Kala Surya maupun Kala Candra, yaitu dalam hal keakuratannya yang tak akan salah atau dikoreksi selama 17.245 tahun untuk Kala Surya dan 17.664 tahun untuk Kala Candra.


Di sisi lain, dalam peribahasa, cerita, serta permainan anak-anak, terdapat banyak idiom yang bersumber dari palintangan, seperti caang bulan dadamaran yang berarti melakukan sesuatu hal yang tak perlu, caang bulan opat welas jalan gede sasapuan (ihlas), keur bentang surem (apes), kawas langit jeung bumi (berbeda jauh), sarta samagaha pikir (bingung). 


Di kalangan anak-anak, ada cerita Nini Anteh di Bulan, lagu Bulantok, serta tanda bintang dan Bulan pada permainan sonlah.


Adapun dalam doa peperenian terdapat istilah nu di langit, kucurkeun; nu di bumi, burialkeun. Di bidang lain juga ada penyebutan indung beurang (paraji), serta lalangit (plafon).


Guru Besar Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), Suhardja D Wiramihardja, pernah menyatakan, tradisi palintangan yang tumbuh dalam kosmologi budaya Sunda itu menunjukkan dalitnya manusia dengan keadaan lingkungan alam, termasuk dunia perbintangan.


Kesadaran kosmologi itu berkembang sesuai dengan pemahaman filosofi dari tiada menjadi ada, serta dari ada menjadi tiada. Konsep kelahiran, kehidupan, dan kematian, yang juga dialami oleh benda-benda langit, sedikit banyak memengaruhi alam pikiran dan jiwa-batin manusia, termasuk masyarakat Sunda.


Tradisi palintangan Sunda yang telah ada sejak dulu kala itu merupakan potensi budaya yang memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Fenomena palintangan menjadi inspirasi dan pedoman dalam melakoni kehidupan sebagai mahluk hidup yang dalit dengan lingkungan alam.


Kearifan budaya Sunda pada pengamatan alam semesta seperti pergerakan Matahari, Bulan, dan Bumi, mendalami rasi bintang, juga penentuan pranata mangsa, sungguh besar manfaatnya, dan telah mewarnai perkembangan ilmu perbintangan. 


Terkait