Kaum "Salafi" selalu memaknai al Qur'an atau Hadits berdasarkan makna literalnya. Mereka anti logika, sastra dan sejarah sosial.
Al Qur'an mengkritik tajam cara pemahaman tekstualistik/literal itu:
افلا يتدبرون القرآن . أم على قلوب أقفالها
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka telah terkunci?”.
Al-Qur’an juga mengatakan :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”.
Baca Juga
Ruh dan Jiwa itu Hidup
Ibnu Mas'ud, sahabat Nabi Saw terkemuka mengatakan :
من أراد علم الأولين والآخرين فليتدبر القرآن. وذلك لا يحصل بمجرد تفسير الظاهر. (ابن مسعود رضى الله عنه)
"Siapa yang ingin memahami pengetahuan ulama generasi awal maka renungkan/pikirkan kata-kata al-Quran, dan itu tidak bisa hanya dengan memahami makna literal/luarnya saja".
Orang yang berpikir akan mencari makna, substansi dari sebuah huruf atau kata.
Abdurrahman Jami, penyair sufi Persia, penulis kisah “Layla-Majnun” dan “Yusuf-Zulaikha” mengatakan :
ان كنت عالما بالمعرفة فدع اللفظ واقصد المعنى
Jika kau berpengetahuan luas dan mendalam tinggalkan literalisme, carilah substansi.
Imam al Ghazali, sang argumentator Islam mengatakan :
خذ اللب والق القشر ان كنت من اولى الالباب
"Ambillah saripati, buanglah kulit, jika kau seorang bijakbestari".
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU