Sumedang

100 Tahun Al-Majidiyah: dari Kitab Kuning ke Kontra Narasi Digital

Selasa, 4 Maret 2025 | 09:07 WIB

100 Tahun Al-Majidiyah: dari Kitab Kuning ke Kontra Narasi Digital

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Majidiyah, KH Muslim. (Foto: NU Online Jabar/Fauzan)

Sumedang, NU Online Jabar
Pesantren Al-Majidiyah, Sukasari, Sumedang, telah genap berusia satu abad pada 10 Februari 2025. Dalam perjalanannya yang panjang, pesantren ini telah melalui berbagai dinamika zaman, mulai dari masa kolonial hingga era digital saat ini. Namun, memasuki abad kedua, tantangan yang dihadapi semakin kompleks dan beragam.


Pimpinan Pondok Pesantren Al-Majidiyah, KH Muslim, menyampaikan bahwa tantangan utama pesantren saat ini bukan hanya dalam aspek pendidikan keislaman, tetapi juga dalam menghadapi fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Salah satu tantangan terbesar adalah dunia digital, di mana banyak narasi negatif yang menyudutkan pesantren.


“Menghadapi tantangan ini, pesantren harus aktif membuat kontra narasi terhadap informasi-informasi negatif tersebut. Materi kepesantrenan atau kitab kuning tidak boleh hanya menjadi kajian di dalam pesantren, tetapi juga harus dipublikasikan lebih luas untuk mengedukasi masyarakat,” ujar KH Muslim Ahad (23/2/2025).
 

Ia juga menegaskan peran penting para alumni dalam menghadapi tantangan ini. Menurutnya, alumni pesantren tidak boleh justru mengamini narasi-narasi negatif, tetapi harus turut berperan dalam menyampaikan kontra narasi yang membela pesantren dan memperkenalkan nilai-nilai luhur yang diajarkan di dalamnya.


Di era digital ini, materi keagamaan memang dapat dengan mudah diakses melalui internet. Namun, KH Muslim menekankan bahwa pesantren memiliki keunikan tersendiri, salah satunya adalah adanya keteladanan dari para kiai yang tidak bisa digantikan oleh teknologi atau kecerdasan buatan (AI).


Hal ini selaras dengan motto Pondok Pesantren Al-Majidiyah, yaitu Wekel ngaji wekel berjamaah, ngaji ngarah pinter berjamaah ngarah bener. Kebersamaan dalam belajar dan menjalankan ibadah secara berjamaah menjadi ciri khas yang tidak dapat ditemukan di ruang digital.


Selain aspek keagamaan, pesantren juga mengajarkan kecerdasan intelektual, emosional, dan sosial sebagai bentuk persiapan bagi santri untuk menghadapi tantangan zaman. Dengan kombinasi pembelajaran tersebut, pesantren diyakini mampu tetap relevan dan berkontribusi bagi kemajuan umat.


Sebagai penutup, KH Muslim mengajak seluruh elemen pesantren, termasuk para santri dan alumni, untuk terus melanjutkan perjuangan ulama serta mengembangkan literasi pesantren.


“Perjuangan tidak hanya dalam kata-kata, tetapi harus diwujudkan dengan mengembangkan literasi pesantren untuk meng-counter narasi negatif terhadap pesantren,” pungkasnya.