• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Orang Sunda Menurut HHM

Orang Sunda Menurut HHM
Haji Hasan Mustapa. Dok. KITLV
Haji Hasan Mustapa. Dok. KITLV

Haji Hasan Mustapa atau popular dijuluki HHM adalah cendekiawan yang sangat terlambat dikenal oleh orang Sunda. Sejak wafat tahun 1930, baru 59 tahun kemudian kumpulan karya tulisnya –HHM jeung Karya-Karyana-- bisa dibaca publik atas usaha gigih Ajip Rosidi. Sejumlah peneliti telah coba mendekati karya dan pribadinya untuk keperluan skripsi, tesis, dan disertasi, sekalipun belum ada yang menelaahnya secara utuh. Belum muncul karya mandiri yang menyelami renungan HHM tentang filsafat, teologi, tasawuf, sastra, dan kebudayaan. Hikayat gaya hidup HHM yang dinilai kontroversial malah cenderung menjadi mitos daripada jadi bahan kajian ilmiah, misalnya dari disiplin psikologi.

Perilaku khariq al-adat (menyimpang dari kebiasaan), zadab (trance di luar kontrol diri), atau mahiwal, sebenarnya lazim dialami oleh ilmuwan dalam proses pencariannya. Penulis sendiri ber-husnuzhan bahwa HHM adalah perenung yang kesepian. Ia merasa tidak lagi menemukan sparing-partner yang setara sehingga larut mencari-cari “kuring” dalam dangding-dangding-nya. Ia jauh dari kalangan ulama pesantren karena sikapnya yang kritis. Ia tak menemukan kawan berdiskusi yang sepadan setelah Snouck Hurgronje kembali ke negerinya. Dugaan itu semakin diperkuat oleh komunitas HHM menjelang akhir masa hidupnya, yang bukan santri dan ilmuwan, yang lalu menempatkannya sebagai ‘orang suci’ dengan sejumlah mitos.

HHM tidak mempunyai santri dan komunitas yang mengitarinya tak pernah sungguh-sungguh menjadi santrinya. Sebagai penganut tarekat syatariah ia juga tidak ngamuridkeun. Karya-karya HHM akhirnya tetap terasa ekslusif. Satu saja penyebabnya: belum ada yang benar-benar menelaah lalu mempublikasikannya.

Seperti termaktub dalam Bab Adat-adat Urang Priangan jeung Liana ti eta, HHM mendefinisikan Sunda sebagai sundek (sempit) dan suda (kurang). Sundek dilihat dari berbagai sisi, antara lain: pertama, pangartina (pengetahuannya). Tara aya pikiran nu panjang, paribasana oge “jadi jelema kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan (Tidak pernah berpikir panjang, sebatas melihat sekitarnya saja). Kedua,  basana (bahasanya). Mahi ku saeutik, walatra ku pamakayana (cukup dengan yang sedikit, merata seadanya). Ketiga, kabisa (kemampuan). Ngan merlukeun sakur nu payu bae (Hanya merasa perlu dengan yang laku saja). Kemudian suda, karena lembek hatena (lemah hatinya), dan tara panjang pikiran ka anu langka pikasorangeunana (tidak pernah berpikir untuk hal-hal yang sulit diwujudkan).

Definisi umum itu ditulis tahun 1913, dan tujuh tahun berselang, dalam Adab Padikana Qur’an, HHM lebih menukik dan ‘menusuk’ realitas orang Sunda-Islam. Ia mengumpulkan 105 ayat dari 6666 ayat Al-Qur’an, sebab menurutnya hanya itulah yang akan kahontal (terjangkau) oleh kapasitas otak orang Sunda. Selebihnya, terutama ayat-ayat yang penuh metafora, HHM menyebutkan,  “Eta mah ku kaula henteu dipetik sabab jauh pisan katepina ku prawira sasmitana bangsa kaula, elmuna, amalna, tedakna pakakas bahasa Arab, hikmatna, surtina kana kajadian dunya karana bangsa kaula ngan tiap tepi kana sisindiran, kirata, wawangsalan.” (Bagian itu tidak saya petik sebab tidak akan terjangkau oleh pengetahuan masyarakat saya, ilmu, amal, aplikasi tata bahasa Arab, hikmah, dan kemampuannya memahami fenomena dunia sebab –kemampuan berbahasa, pen— masyarakat saya hanya sampai pada sisindiran, kirata, wawangsalan).

Pilihan HHM pada 105 ayat itu, bukan sesutu yang khas. Sejumlah ulama juga melakukan hal itu sesuai disiplin inti keilmuannya. Antara lain ada yang menamainya sebagai qalb al-qur’an (hati Al-Qur’an). Masing-masing ulama pun berbeda dalam menetukan ayat inti setiap surat dalam Al-Qur’an itu. Yang menarik dalam karya HHM adalah pandangan kritisnya atas kapasitas keberislaman orang Sunda. Ia sangat meragukan kemampuan orang Sunda untuk menyelami isi Al-Qur’an sepenuhnya. Inilah yang menjadi pertanyaan kita sekarang, masih relevankah keraguan HHM itu?

Sekarang sudah mucul sejumlah karya yang mendekati HHM dari berbagai sisi yang coba mengungkap sosoknya lebih komprehensif. Ada buku Hasan Mustapa: Ethnicity and Islam in Indonesia yang disunting oleh Julian Millie (2017),  Informan Sunda masa kolonial: surat-surat Haji Hasan Mustapa untuk C. Snouck Hurgronje dalam kurun 1894-1923 karya jajang A Rohmana (2018), ada Haji hasan Mustapa Sufi Besar Tanah Pasundan karya E. Rokajat Asura (2020), dan lain-lain.

Pendapat HHM tentang orang Sunda dicetuskan HHM pada tahun 1338H/1920M. Bagaimana kondisi orang Sunda-Islam saat itu? Waktu itu adalah puncak pencapaian pendidikan pesantren sebelum adanya campur tangan kolonial dan huru-hara perang. Sebagaimana dituturkan Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (1999), sampai pada tahun 1920-an, separuh lebih pendatang di Makkah berasal dari Pulau Jawa. Mereka datang untuk berguru kepada sejumlah ulama yang mengajar di Masjid al-Haram. HHM termasuk seorang alumni ’perguruan tinggi’ Masjid al-Haram itu. Di antara tokoh Sunda lainnya adalah Ahmad Sanusi pendiri pesantren Gunung Puyuh Sukabumi dan Ahmad Dimyathi penerus pesantren Sukamiskin Bandung. Alumni-alumni Makkah itulah yang kemudian ‘merevolusi’ pendidikan pesantren.

Fenomene Mama Gedong
Kita ambil contoh prestasi Ajengan Ahmad Dimyathi atau Mama Gedong. Sepulangnya ke Bandung tahun 1910, ia merintis penggunaan bahasa Sunda di pesantren. Ia menciptakan sejumlah pupujian Sunda dalam bentuk pupuh. Ia menerima –hukum-- pemakaian dasi dan tanggapan tonil. Ia berkeahlian sebagai apoteker yang meracik obat-obatan dari beragam tumbuhan di tatar Sunda dan mendirikan percetakan. Ia melayani orang-orang Belanda yang membeli obat di apotiknya. Tak terlewatkan, ia menjadikan pesantren sebagai pusat kajian ilmiah. Santri-santri seniornya disebar ke berbagai pesantren di Jawa yang diasuh rekan-rekannya semasa di Makkah. Sepulangnya ke Sukamiskin, mereka saling tukar informasi dan pengalaman untuk perbaikan kurikulum. Perdebatan ilmiah diberikan seluas-luasnya dan sang ajengan hanya turun tangan jika para santri menemukan jalan buntu. Sambil mengawasi diskusi para santrinya, ajengan biasanya asyik membaca koran yang dilangganinya.

Saat itu adalah era ketika santri memperoleh kebebasan ilmiah dan keleluasaan mengakses kitab-kitab rujukan utama. Saat ajengan begitu egaliter, demokratis dan inklusif. Di antara mereka selalu ada pertemuan (ijtima’) untuk menyelesaikan sejumlah persoalan. Sikap demokratis itu misalnya ditunjukkan Mama Gedong melalui karyanya, Kitab Qurrat al-Ayn fi al-Shulh bain al-Fariqain. Sekalipun berjudul Arab, kitab ini ditulis dalam bahasa Sunda dengan hurup pegon. Isinya mencoba mempertemukan pertentangan tajam antara kelompok tarekat dan syariat. Dengan ‘dingin’ Mama Gedong membuka tulisannya dengan kalimat, “... Bet sing horeng duanana oge teu lepat-lepat teuing. Ajengan syariat ngalepatkeunana ka guru tarekat palebah anu lepatna. Leres atuh guru tarekat keuheulna gaduh raos leres palebah anu leresna, nya teu lepat. ...”(Ternyata keduanya itu tidak terlalu salah. Ajengan syariat menyalahkan guru tarekat letak kesalahannya. Guru tarekat merasa benar pada keyakinannya, tentu ini tidak salah).

Lama setelah HHM wafat, pendidikan pesantren Sunda masih terus mencari bentuk. Faktanya pesantren di tatar Sunda belum bisa mengulangi masa keemasan itu. Kurikulum pendidikan pesantren berhenti pada tingkat menengah dengan kajian terfokus pada hukum Islam dan ilmu alat. Lembaga pendidikan tinggi Islam (PTI) semacam UIN pun belum bisa mengembalikan suasana ilmiah seperti yang diciptakan Mama Gedong. Karena selain ada santri/mahasiswa yang berminat dan berbakat tinggi, juga harus ada ajengan/dosen yang benar-benar masagi.

Pendapat HHM itu telah melewati jarak 100 tahun. Rentang waktu itu, setidaknya dilewati dua-tiga generasi, adalah masa yang cukup bagi sebuah komunitas untuk belajar dan berubah. Selama itu jumlah pesantren terus bertambah. Sejak IAIN Sunan Gunung Djati didirikan tahun 1968, perguruan tinggi sejenis didirikan pula di berbagai kabupaten di Jawa Barat. Tetapi siapakah cendekiawan muslim-Sunda yang layak kita sebutkan? Siapakah ilmuwan yang selain menguasai ilmu keislamannya juga nyunda seperti HHM dan Mama Gedong? Kiranya tidak perlu malu untuk menyebutkan bahwa waktu 100 tahun itu ternyata belum cukup, tanpa harus merangkai apologia. HHM dan Mama Gedong baru belum lahir bahkan karya-karyanya pun belum kunjung terkaji seluruhnya.

Kiranya belum ada karya aplikatif bersumber Qu’ran-Hadits yang dirancang khusus untuk orang Sunda. Karya utuh yang sesuai dengan budaya, kondisi geografis dan alam Sunda. Karya kritis yang bisa mendorong orang Sunda untuk terlepas dari “kurung” sundek-suda-nya. Atau barangkali kita harus jujur kepada HHM, bahwa kritikannya tetap aktual dan tajam hingga hari ini. Bahwa kita memang belum mampu menerima konsekuensi berislam sepenuhnya itu.

Penulis: Iip D. Yahya

Editor: Abdullah Alawi


Editor:

Opini Terbaru