Nasional

Alasan NU Konsisten dengan Rukyatul Hilal, Tidak Terapkan Kalender Hijriah Global Tunggal

Selasa, 25 Februari 2025 | 07:00 WIB

Alasan NU Konsisten dengan Rukyatul Hilal, Tidak Terapkan Kalender Hijriah Global Tunggal

Ilustrasi perukyah NU sedang melakukan rukyatul hilal. (Foto: NU Online/Suwitno)

Bandung, NU Online Jabar
Nahdlatul Ulama (NU) menegaskan bahwa pihaknya tidak menggunakan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang kini ramai diperbincangkan di kalangan umat Islam. 


NU berpegang pada prinsip bahwa kesatuan hukum dan metode rukyatul hilal menjadi batasan yang tidak dapat disamakan secara global. Oleh sebab itu, NU tetap konsisten dalam menentukan awal bulan Hijriah berdasarkan rukyatul hilal.


Hal ini ditegaskan oleh Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), Kiai Salam, dalam Webinar Falakiyah LF PBNU yang diselenggarakan secara daring dan luring di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, pada Rabu (19/2/2025).


“Dari awal berdiri sampai sekarang, NU tidak pernah tertarik pada ittihadul mathali’ (penyatuan kesatuan wilayah hukum),” katanya dalam agenda yang mengusung topik Mengapa Nahdlatul Ulama tidak Menerapkan Kalender Hijriah Global? Seperti dikutip dari laman NU Online.


Kiai Salam juga menegaskan bahwa NU sejak lama telah menetapkan rukyatul hilal sebagai metode sah dalam menentukan awal bulan Hijriah.


“Yang pertama, dulu tahun 1954, itu NU langsung punya pendapat bahwa penetapan awal bulan, pengumuman awal Ramadhan dan Syawal berdasarkan hisab, mendahului penetapan atau siaran Departemen Agama, hukumnya tidak boleh,” ungkapnya.


“Jika berdasarkan rukyatul hilal atau istikmal (penggenapan), maka itu sah,” imbuh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya itu.


Ia menambahkan bahwa keputusan terkait keberlakuan penentuan awal bulan juga telah dibahas dalam Muktamar ke-30 di Lirboyo pada tahun 1999. Salah satu keputusan dalam muktamar tersebut adalah melarang umat Islam dan pemerintah Indonesia untuk mengikuti rukyat hilal internasional atau global, melainkan harus mengacu pada wilayah hukum nasional.


“Karena Indonesia tidak berada dalam kesatuan hukum dengan negeri-negeri yang mengalami rukyat,” terangnya.


Di sisi lain, Anggota LF PBNU, Khafid, menjelaskan bahwa wacana KHGT muncul dalam pertemuan sejumlah pakar fiqih, astronomi, dan pemerhati kalender Islam di Istanbul, Turki, pada tahun 2016. Salah satu hasilnya adalah gagasan penyelarasan sistem KHGT. Namun, menurutnya, konsep ini masih jauh dari kenyataan dan sulit untuk diterapkan.


“Iya, karena kalau kita bicara masalah mathla' global ini, pertanyaannya adalah siapa yang akan menjadi otoritas dalam hal ini. Negara mana yang akan mengkoordinir ini? Apakah masing-masingnya akan berjalan sendiri-sendiri?” ujarnya.


Menurutnya, sistem kalender global hanya mungkin diterapkan jika ada otoritas yang kuat untuk mengaturnya. Ia mengacu pada bagaimana penetapan kalender Hijriah di masa Umar bin Khattab yang memiliki otoritas sebagai khalifah.


“Artinya, untuk bisa memperlakukan suatu sistem, itu memerlukan otoritas,” tegas Direktur Pemetaan Wilayah dan Nama Rupabumi itu.