• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 20 April 2024

Indramayu

Nahdlatun Nisa, Garis Perjuangan yang Lahir dari Nilai Aswaja

Nahdlatun Nisa, Garis Perjuangan yang Lahir dari Nilai Aswaja
Nahdlatun Nisa, Garis Perjuangan yang Lahir dari Nilai-nilai Aswaja. (Foto: Rohman).
Nahdlatun Nisa, Garis Perjuangan yang Lahir dari Nilai-nilai Aswaja. (Foto: Rohman).

Indramayu, NU Online Jabar
Istilah Nahdlatun Nisa yang berarti kebangkitan perempuan turut masuk dalam materi pada Pelatihan Kader Dasar yang diselenggarakan Pengurus Komisariat (PK) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Wiralodra Indramayu yang dilaksanakan di KBIH Widasari pada pekan lalu. Hadir sebagai penyampai materi Nahdlatun Nisa, Wakil Bendahara Umum Pengurus Besar PMII, Mamay Muthmainnah.


Dalam kesempatan tersebut, Ia menjelaskan Nahdlatun Nisa yang baru 3 tahun terakhir istilah tersebut dipakai di PMII ini menggantikan istilah sebelumnya yaitu pergerakan perempuan.


"Secara literal Nahdlatun Nisa memang bermakna kebangkitan kaum perempuan, namun lebih mengarah kepada rasa persaudaraan atas dasar kesamaan jenis kelamin perempuan. Namun, apa yang dimaksud di sini adalah persaudaraan atas solidaritas terhadap nasib dan perjuangan perempuan, tidak terjebak pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan, untuk menemukan kembali hak-hak kemanusiaan yang telah lama tercabut oleh sistem sosial yang diciptakan manusia," jelas Mamay saat menyampaikan materi, Sabtu (25/6).


Ia pun menerangkan Nahdhotun Nisa merupakan istilah perjuangan kaum perempuan yang kembali kepada khittoh perjuangan perempuan Nahdlatul Ulama. Garis perjuangan ini lahir dari nilai-nilai Ahlussunnah Waljamaah atau Aswaja.


"Istilah Nahdlatun Nisa juga mengenalkan garis perjuangan yang menggantikan bahasa-bahasa liberal atau Barat seperti Feminisme yang masih tabu di kalangan NU, padahal secara substansi itu sama," tuturnya.


Mamay pun menyebutkan tiga asas kemandirian Nahdlatun Nisa yang menjadi nilai-nilai perjuangan yang ada di dalam tubuh Korps PMII Puteri (Kopri), yaitu Al-Huriyyah (kemerdekaan), Al-Musawwaah (kesetaraan) dan Al-Adalah (keadilan).


Menurutnya, Al-Huriyyah atau kemerdekaan, yaitu kader putri harus mempunyai dasar dan mental yang kuat untuk membebaskan dirinya sendiri terlebih dahulu, bebas dari kebodohan, kejumudan, dan taqlid terhadap teks-teks yang mengurung untuk berdzikir, berfikir, dan beramal shaleh lebih luas lagi. Setelah itu, kader putri harus memberikan dampak positif untuk menyumbangkan pikiran dan jiwanya lebih luas lagi, yaitu mengamalkan ilmu dan pengetahuannya untuk terbentuknya tatanan sosial yang adil makmur. Maka makna kemerdekaan berarti "bebas", bebas dalam berfikir, bebas dalam berinisiatif, bebas dalam berkiprah dan beraktifitas.


Kemudian, maksud dari Al-Musawwah atau kesetaraan, yaitu kesetaraan kesamaan hak untuk mendapatkan ruang dan akses publik untuk mengamalkan ilmu dan pengetahuan seluas-luasnya.


Sedangkan Al-'Adalah atau keadilan, berarti adil sejak dalam pikiran apalagi perbuatan. Prinsip Al-Adalah sesuai Aswaja dalam asas Nahdlatun Nisa yaitu tawasut (moderat), tawazun (keseimbangan), i’tidal (jalan tengah) dan tasamuh (toleransi)


Mamay mengatakan ketiga pilar kebangkitan perempuan tersebut merupakan sebuah misi besar pembebasan perempuan dari ketidakadilan dalam ruang-ruang sosial, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya. Menurutnya, misi pembebasan ini tentu berangkat dari ketidakadilan gender yang terjadi, seperti kekerasan, marginalisasi, stereotype, subordinasi, dan beban ganda yang masih sangat akrab dengan perempuan Indonesia.


"Nahdlatun Nisa juga bukan hanya hadir berdimensi dengan nuansa spiritual, akan tetapi harus mampu tampil sebagai narasi yang bisa memberikan solusi untuk bangsa. Seperti penyadaran budaya patriarki yakni penindasan yang dibungkus dengan dogma agama kemudian membentuk suatu budaya yang diyakini masyarakat, kemudian kapitalisme pasar, imperialisme atau penjajahan gaya baru, dan fasisme religius atau pemasungan hak-hak perempuan dengan dalil agama, sehingga muncul tafsir misoginis," pungkas Mamay.


Pewarta: Rohman
Editor: Muhammad Rizqy Fauzi


Indramayu Terbaru