Oleh KH Husein Muhammad
Ngomong-ngomong soal nyanyi, tiba-tiba aku teringat suatu moment indah bersama Gus Mus beberapa waktu lampau di sebuah pesantren terkenal di Jombang, Jawa Timur. Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras.
Gus Dur kecil banyak belajar di pesantren ini, di samping di Tebuireng, tempat kelahirannya.Â
Kebersamaan itu begitu mengesankan. Kami berdua diminta bicara soal pesantren hari ini. Gus Mus bicara lebih dulu. Aku senang.Â
Sebagaimana biasa orasi beliau selalu memukau dan membahagiakan publik. Audiens acap tegelak-gelak jika Gus Mus bercanda tetapi serius. Menyaksikan itu, aku begitu rendah diri. Aku harus bicara apa dan bagaimana?.
Bagaimana jika mereka kemudian satu persatu meninggalkan kursinya?, kata hatiku. Aku berpikir mencari cara agar mereka juga terkesan, terhibur dan tak bubar. Nah, ketemu. Aku akan menyanyi dulu sebelum memberikan pandangan. Kata teman-teman suaraku cukup bagus, merdu dan tidak false. Maka manakala Gus Mus selesai bicara dan MC mempersilakan aku bicara, aku segera memulai dengan menyenandungkan Nyanyian untuk Gus Dur, âGuru Bangsaâ, karya Krishna. Ada tepuk tangan hadirin yang meriah usai aku menyanyi. Alhamdulillah. Aku jadi mulai percaya diri dan melanjutkan bicara soal karakter pesantren.Â
Pada sesi terakhir, usai tanya jawab, panitia meminta kami berdua membaca puisi. Maka manakala kemudian panitia meminta Gus Mus membacakan puisi lebih dulu, beliau mengawali dengan bilang kira-kira begini: âSiapa bilang suaraku lebih jelek dari suara kiyai Husein?, he heâ. Aku dan hadirin tak mengerti maksud Gus Mus bicara begitu. Apa mau menyanyi seperti aku?. Hadirin menunggu apa yang akan terjadi. Lalu beliau membacakan puisi yang ditulisnya beberapa tahun lalu. Puisi itu berdjudul  âAku Masih Ingat Nyanyian ituâ. Di dalam puisi itu Gus Mus menyelipkan nyanyian : âIndonesia Pusakaâ, karya komponis legendaris Indonesia terkemuka, Ismail Marzuki. Gus Mus menyanyikannya :Â
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Slalu dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata
Lalu Gus Mus menambahkan syair kritikal :Â
Indonesia air mata kitaÂ
bahagia menjadi nestapaÂ
Indonesia kini tiba â tibaÂ
Slalu di hina â hina bangsaÂ
Disana banyak orang lupaÂ
Dibuai kepentingan duniaÂ
Tempat bertarung berebut kuasaÂ
Sampai entah kapan akhirnya
Aku bilang dalam hati: âwow, suara Gus Mus, boleh juga nih. Ini saingan beratâ. Puisi nya hebat. Tepuktanganpun membahana.Â
Aku ingat, lagu di atas sering dinyanyikan Gus Mus di sejumlah moment yang relevan. Rupanya begitu mengesankannya lagu itu di hatinya. Indonesia tanah air beta, yang indah, subur makmur, aman, damai, gemah ripah loh jinawi. Akan tetapi belakang situasi indah itu terganggu berat. Tanah air itu tengah dihancurkan oleh banyak penghuninya sendiri yang rakus dan dipermalukan di hadapan dunia oleh sebagian rakyatnya sendiri. Dan Gus Mus tampak geram. Beliau melancarkan kritiknya yang tajam melalui lirik yang diciptakannya sendiri dengan tetap dalam nada nyanyian itu. Â
Kata seorang teman, rupanya acara ini bukan sekedar bicara tentang pesantren dan masa depan bangsa, tetapi juga menjadi ajang âaudisiâ, sekaligus ruang menggugat konservatisme, kemapanan dan kerakusan manusia-manusia Indonesia. Â he he. Â Â
Sumber: FB Husein MuhammadÂ
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 1446 H: Menghidupkan Jiwa dalam Keikhlasan dan Kepedulian pada Sesama di Hari Raya
2
Prediksi Posisi Timnas Indonesia Jika Kalah, Seri Maupun Menang Lawan China di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia
3
Memahami Makna Hari Arafah, Hari Kedua Puncak Ibadah Haji
4
Khutbah Jumat Dzulhijjah: Makna Syukur dan Ketakwaan dalam Kurban
5
Menegakan Keadilan Anggaran Pendidikan di Jawa Barat
6
Memahami Makna Hari Tarwiyah, Hari Pertama Puncak Ibadah Haji
Terkini
Lihat Semua