KH Imam Jazuli Kritik Program Sekolah Rakyat: Lebih Baik Perbaiki yang Sudah Ada
Jumat, 11 Juli 2025 | 08:00 WIB
Cirebon, NU Online Jabar
Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH. Imam Jazuli, menilai program Sekolah Rakyat (SR) yang digagas pemerintah tidak relevan dengan kebutuhan nyata pendidikan di Indonesia. Ia menyebut kebijakan tersebut sebagai ironi terbaru yang menunjukkan kurangnya prioritas terhadap kondisi sekolah-sekolah yang sudah ada.
Menurutnya, anggaran sebesar Rp 1,19 triliun untuk program Sekolah Rakyat terlalu besar dan tidak proporsional jika dibandingkan dengan dampak yang dihasilkan. Ia menyarankan dana tersebut dialokasikan untuk meningkatkan kualitas sekolah yang sudah ada namun masih dalam kondisi memprihatinkan.
“Semestinya diperuntukkan untuk sekolah-sekolah yang sudah ada namun rendah kualitasnya,” ujar KH. Imam Jazuli, Kamis (10/7/2025).
Kiai Imam, yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) periode 2010–2015, juga menanggapi pernyataan Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono yang menyebut program ini sebagai bagian dari upaya menuju Indonesia Emas 2045. Menurutnya, niat tersebut layak diapresiasi, namun tidak sejalan dengan realitas saat ini.
Ia menyoroti banyaknya sekolah dasar negeri yang ditutup karena kekurangan murid, serta kondisi fisik sekolah yang rusak parah, seperti atap bocor dan dinding dari anyaman bambu. Bahkan, ia menyinggung kasus seorang guru yang nekat mengakhiri hidup karena terlilit utang.
“Persoalan konkret semacam ini mestinya diperhatikan terlebih dahulu sebelum memikirkan pekerjaan baru,” tegasnya.
Kiai Imam mengingatkan bahwa jika pemerintah serius ingin menyiapkan generasi masa depan, maka pekerjaan rumah yang ada harus dituntaskan terlebih dahulu. Menurutnya, program Sekolah Rakyat bisa saja dianggap niat baik, namun di saat yang sama menggambarkan ketidakpedulian terhadap sekolah-sekolah yang sudah berjalan.
"Seakan-akan pemerintah menormalisasi kualitas rendah sekolah-sekolah yang sudah ada selama ini,” ujarnya.
Ia menilai perbaikan sekolah-sekolah lama kurang mendapat perhatian karena tidak membawa efek viral atau citra politik yang menguntungkan. Sebaliknya, program seperti Sekolah Rakyat dianggap lebih menarik karena dinilai sesuai dengan tuntutan zaman digital dan lebih mudah mendulang pujian publik.
“Lebih baik makan singkong daripada bermimpi makan keju,” kata Kiai Imam, mengibaratkan bahwa memperbaiki sekolah-sekolah yang ada jauh lebih bermanfaat dibanding sekadar bermimpi dengan program baru yang tidak menyentuh akar persoalan.
Kiai Imam juga membandingkan efisiensi program Sekolah Rakyat dengan Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Bogor, yang mampu menyelenggarakan pendidikan gratis untuk 15.000 santri setiap hari tanpa bantuan pemerintah.
Lebih lanjut, ia menyoroti rencana pengadaan 9.700 unit laptop untuk siswa Sekolah Rakyat. Padahal, data Kemendikbudristek pada 2021 mencatat sekitar 77,7% atau 421.000 satuan pendidikan dari PAUD hingga SLB belum memiliki perangkat komputer.
“Jika laptop-laptop itu diberikan ke sekolah-sekolah yang benar-benar membutuhkan, dampaknya pun hanya mengurangi kekurangan sebesar 2,3%. Artinya, Sekolah Rakyat tidak memberi dampak besar secara nasional,” ujarnya.
Kiai Imam mempertanyakan, jika anggaran dan perangkat tersebut dialihkan ke sekolah-sekolah yang ada, apakah upaya mencetak generasi emas tidak akan tercapai?
“Kalau jawabannya tidak, artinya pemerintah meragukan kerja Kementerian Pendidikan. Itu sama saja dengan mengakui bahwa sistem pendidikan kita telah gagal,” tandasnya.
Ia menilai kebijakan pendidikan di Indonesia masih jauh dari ideal dan cenderung tidak menyentuh persoalan mendasar. Menurutnya, pemerintah seakan menutup mata atau berpura-pura tidak melihat berbagai persoalan yang terjadi.
“Tanpa menyelesaikan masalah lama, cita-cita baru hanyalah mimpi yang tidak berdasar,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mempertanyakan apakah masyarakat benar-benar bangga dengan program Sekolah Rakyat di tengah banyaknya sekolah yang rusak dan tidak layak.
“Sekolah Rakyat hanya akan relevan jika 421 ribu sekolah yang tidak punya komputer dibelikan komputer. Sekolah yang tidak punya atap diperbaiki atapnya, dan sekolah yang berdinding bambu dibangunkan gedung,” tegasnya.
Ia pun mengingatkan pemerintah untuk tidak terjebak dalam pencitraan semu dan jargon efisiensi anggaran.
“Uang APBN sebesar Rp 1,19 triliun itu terlalu besar jika output-nya kecil. Cukupkan pencitraan dengan program yang tepat sasaran, tepat guna, dan tepat anggaran,” pungkasnya.
“Jangan tunjukkan orkestrasi kulit luar tanpa kedalaman dan ketulusan. Seberapa pun uang rakyat adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat,” tutup Kiai Imam Jazuli.