Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Opini

Fenomena Crazy Rich: Antara Keilmuan dan Nasib

Ilustrasi Crazy Rich (Sumber: Ahyan Hairu)

Frasa “Crazy Rich” terus mengiang di telinga. Fenomena global sepertinya. Terutama di era disrupsi. Termasuk di Indonesia. Banyak anak muda, usia belum matang, tapi berpenghasilan selangit. Hampir setiap hari kita menyaksikan para miliarder muda lalu lalang di depan mata. Lewat sahabat terdekat kita, gadget tentunya.


Sampai di sana belum ada masalah. Masalah itu datang ketika pamer kekayaan menjadi wabah. Mereka, anak-anak muda itu mempertontonkan kemewahan dengan bangganya. Aksesoris hidup dipamerkan. Harga bukan masalah. Kepuasan ada pada kemampuan menghadirkan mimpi. Kesenangan hidup menjadi solusi kehidupan mereka. Sementara, terhampar di hadapan jutaan mata anak negeri, gejolak harga, virus yang menyisir hingga ke ujung desa, antrian panjang mengantri bantuan, juga seabreg permasalahan lainnya masih jauh untuk bisa diatasi.


Ada yang unik dan menarik. Beberapa dari mereka ternyata bukan sarjana. Yang satu bahkan tamatan SD. Yang lainnya tak sempat ‘makan’ bangku kuliah. Sementara di belahan bumi sebelah sana, ada ribuan guru, dosen, bahkan guru besar yang hidupnya bagitu-begitu saja. Banyak kiai dengan selangit ilmu yang hidup prihatin. Adakah sesuatu yang salah? 


Tentu tidak. Kehidupan berlangsung sudah Lama. Fenomenanya nyaris bersambung. Rangkaian ceritanya banyak yang mengena. Terjadi pengulangan episode di sana sini. Seperti Abu Tamam (Habib bin Aus), penyair Bani Abbasiyah asal Suriah, dia menulis:


 يَنَالُ الْفَتَى مِنْ عَيْشِهِ وَهُوَ جَاهِلٌ 
ويُكْدِي الْفَتَى فِيْ دَهْرِهِ وِهُوَ عَالِمٌ
وَلَوْ كَانَتِ الْأرْزَاقُ تَجْرِيْ عَلَى الحِجَا 
هَلَكْنَ إذَنْ مِنْ جَهْلِهِنَّ الْبَهَائِمُ


“Seorang pemuda mendapatkan bagian besar dari hidupnya. Ia bukanlah orang pandai. Sementara, pemuda yang lain hidup dalam keprihatinan. Padahal otaknya cerdas. Seandainya rezeki itu ditentukan oleh kepandaian, maka hewan-hewan akan musnah, tak diberi rezeki karena kebodohannya.”   


Kata “pemuda” dalam bait di atas tidak sekadar diartikan secara denotatif. Maksudnya siapa saja, tak harus pemuda. Syi’ir itu, dengan bahar “thawil”-nya memang pas untuk diksi (الفتي). Seorang penyair lainnya menggambarkan rahasia kehidupan, khususnya rezeki dengan tukang pancing. Tak heran mereka yang puluhan tahun memancing, dengan pemahaman medan memancing dan jubelan teori alat dan umpan terbaik, tiap hari pulang ke rumah tanpa membawa seekor ikan pun. Sementara anak kecil yang baru belajar memancing, atau tanpa harus memancing, bisa saja dalam satu hari mampu mendapatkan banyak ikan. 


كالصَّيْدِ يُحْرِمُهُ الرّامِي الْمُجِيْدُ وَقَدْ 
يَرْمِيْ فَيُرْزَقُهُ مَنْ لَيْسَ بِالرَّامِيْ


Kembali ke topik. Kehadiran para “crazy rich” menjadi fenomena yang membuat banyak orang, termasuk kita, mungkin, menjadi ‘ngiler’. Mungkin kita pernah atau sering menikmati saat-saat senggang untuk berkhayal menjadi orang kaya. Pikiran berenang di samudera ilusi. Andai punya uang banyak, ingin membeli segala, pergi ke semua arah, menghabiskan waktu untuk mendulang pengalaman. Nyatanya, nasib tetap tak berpihak. Kata ‘nasib’ menjadi kunci atas rahasia Ilahi yang menghendaki si A, si B, dan si C mendapat kemudahan dan kesulitan mendapatkan harta. Abul A’la al-Ma’arry, sejarawan, ulama, dan penyair asal Suriah (lahir 1058 M) pernah berkata:   


قَلَمُ الْبَلِيْغِ بِغَيْرِ حَظٍّ مِغْزَلُ


“Tanpa faktor nasib, pena seorang penyair keren pun tak ubahnya seperti alat pintal benang.”


Kehidupan menghendaki demikian. Allah Sang Khaliq, al-Mushawwir, Kreator kehidupan, telah merancang grand design sedemikian rupa sehingga kita dituntut untuk terus berusaha, mengkreasi, dan memaksimalkan diri. Ketika para ulama, para profesor, dan pemilik lautan ilmu lainnya hidup biasa saja, dengan fasilitas yang alakadarnya – jika dibandingkan dengan Sultan Andara – misalnya, maka, tidak mesti kita menganggap aneh. Banyak sosok terkaya di dunia yang tak bergelar. Itu lumrah. Penyair Bani Abbasiyah, berkata:


لَوْ يُرْزَقُوْنَ النَّاسُ حَسْبَ عُقُوْلِهِم 
ألْفَيْتَ أَكْثرَ مَنْ تَرَى يَتَصَدَّّقُ
لَكِنَّهُ فَضْلُ الْمَلِيْكِ عَلَيْهِمُ 
هذَا عَلَيْهِ مُوَسَّعٌ وَمُضَيَّق 


“Seandainya manusia diberi rezeki berdasarkan akal mereka, maka kamu akan menyaksikan kebanyakan orang yang kalian temui terbiasa mengeluarkan sedekah. Tetapi, atas karunia-Nya pula, Dia yang berkehendak akan nasib mereka. Yang ini diperluas rezekinya. Yang lainnya dipersempit.”


Imam Syafi’i pun memahami seriusnya ‘nasib’ sebagai di antara pintu dunia seseorang. Tapi ia enggan untuk membenarkan ungkapan إنَّ مَنْ رُزِقَ الحِجَا حُرِمَ الغِنَى “Orang yang dianugerahi akal (ilmu) akan sulit mendapat kekayaan”. Baginya, begitu banyak orang pandai kaya raya. Umum pula orang yang tak pandai disempitkan hidupnya. Sang Imam berkata: 


فَكَمْ مِنْ عَالِمٍ يَعِيْشُ فِيْ رَغَدٍ، وَكَمْ مِنْ "جَاهِلٍ" يَعِيْشُ مُمْلقًا.


Untuk menjadi kaya atau tidak, itu pilihan. Umumnya manusia diberi kecenderungan untuk meraih sebanyaknya. Sebagiannya menjauhi setelah mendapatkannya. Banyak cerita tentang itu. Al-Qur’an memuji harta sebagai “khair” (QS. Al-Baqarah: 180). Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahkan menggambarkan posisi ideal harta: نِعْمَ المالُ الصَّالحُ للمَرءِ الصَّال  “Sebaik-baik harta yang baik yang berada di tangan seseorang yang baik” (HR. Bukhari, Hakim, Baihaqi).


Lalu, menilik para “crazy rich” itu, apa yang mesti kita lakukan? Bekerja saja yang keras, yang halal, yang fokus, yang ikhlas, yang dikuatkan doa, yang dibarengi syukur, sabar, tawakal, dan yang peduli orang lain.


Wallâhu a’lam.


Asep M Tamam, budayawan, staf pengajar IAIC Tasikmalaya

Editor: M. Rizqy Fauzi

Artikel Terkait